"Kok sudah pulang, Bang? Farel sama siapa?"
"Abang pulang dulu sebentar, cuma mau mandi. Abang titipkan dia sama Suster di sana. Kamu gak keberatan, kan kalau Abang tinggal lagi?"
"Aku gak papa kok, Bang. Farel, kan sedang butuh Abang." Rani tersenyum. Bisa kurasakan ketulusan dari setiap kata yang ia ucapkan. Aku terharu. Ternyata istriku mau memaklumi keadaan yang mengharuskan diri ini mengutamakan putraku.
"Maaf ya, Bang. Rani tidak bisa menjadi ibu sambung yang baik buat Farel. Andai dia tidak keberatan, Rani ingin menemani dia di rumah sakit. Tapi Rani tahu pasti Farel tidak mengharapkan kehadiran Rani," keluhnya.
"Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kamu sudah berusaha menjadi ibu yang baik untuk Farel. Hanya saja dia masih belum bisa menerima keadaan Abang yang sudah berpisah dengan bundanya. Kamu yang sabar, ya." kataku seraya mengelus pipinya. Rani berusaha tersenyum dan mengangguk meskipun sangat kentara ia paksakan.
"Abang mandi dulu, ya. Harus cepat ke sana lagi. Kasian Farel kalau nanti bangun tapi Abang tidak ada di sisinya," terangku.
Rani kembali mengangguk dan aku pun meninggalkannya yang masih berdiri di depan pintu. Menyegarkan tubuh di bawah guyuran shower sedikit mengurangi rasa pening di kepala akibat terlalu banyak mengeluarkan air mata. Teringat kejadian semalam ketika melihat seseorang yang mirip dengan Hana hingga diri ini mengejar, mencarinya di seluruh penjuru rumah sakit, tetapi hasilnya nihil. Entah itu memang Hana atau hanya bayanganku saja karena terlalu merindukan dirinya. Yang pasti, setelah mendengar penuturan Farel tentang bundanya yang menyaksikan langsung pengkhianatan yang aku lakukan, tekadku untuk segera menemukannya semakin bulat.
Aku akan meminta maaf, jika perlu bersimpuh di kakinya asal Hana bersedia memaafkan kedzoliman yang terlalu sering aku lakukan terhadapnya.
Usai membersihkan diri dan berpakaian, aku pun bersiap untuk kembali ke rumah sakit. Namun, Rani memintaku untuk makan terlebih dahulu sebelum berangkat, dan aku pun terpaksa menurutinya.
"Baik-baik di rumah, ya. Abang berangkat dulu," ucapku seraya mengecup kening Rani. "Nana jangan nakal, jangan bikin Bunda repot ya, Sayang." Hal yang sama aku lakukan pada putri kecilku.
Lambaian tangan Rani mengiringi kepergianku. Sebelum tiba di rumah sakit, kusempatkan mampir ke sebuah toko olahraga. Meskipun terlambat, aku ingin memberi hadiah ulang tahun untuknya. Farel sangat suka berolahraga terutama sepak bola, maka kuputuskan untuk membelikannya sepatu bola yang paling bagus dan mahal.
Tiba di rumah sakit, aku langsung menuju ruang rawat Farel. Namun, alisku bertaut saat melihat Farel tengah menatap sesuatu yang ia pegang sambil tersenyum.
"Apa itu, Nak?"
Farel yang baru menyadari kehadiranku langsung menyembunyikan benda tersebut ke bawah bantal.
"Kok disembunyikan? Apa Ayah tidak boleh tahu?"
"Ckk, bukan apa-apa, kok. Cuma hadiah dari teman."
"Teman?" Alisku bertaut. Apa mungkin putraku mulai dekat dengan seseorang?
"Teman atau pacar?" godaku. Farel malah mendengus sambil mengambil ponsel dan memainkannya dengan sebelah tangan.
"Ayah punya sesuatu buat kamu. Mungkin terlambat, tapi semoga saja kamu suka."
Kuulurkan hadiah yang tadi aku beli. Farel menatapnya sejenak, kemudian menerimanya dengan setengah malas.
"Terima kasih."
Tidak ada senyuman, apa lagi ciuman di pipi yang ia beri seperti yang kuharapkan. Namun tak apa. Aku mencoba memaklumi sikapnya yang masih kecewa padaku.
Farel menyimpan hadiah itu begitu saja tanpa membukanya terlebih dahulu. Seketika perih menjalari hati. Dia sama sekali tidak menghargai usahaku yang ingin menyenangkannya.
"Kok gak dibuka? Kamu gak suka?"
"Nanti saja," jawabnya cuek. Matanya masih fokus pada ponsel yang sedang ia mainkan.
"Tadi Bunda Rani titip salam buat kamu. Kalau diizinkan, dia ingin sekali menjenguk dan menemani kamu di sini."
Raut muka Farel berubah masam ketika mendengar nama Rani. Ponsel di tangannya pun ia simpan dengan sedikit kasar.
"Bisa gak, Ayah jangan sebut-sebut terus istri kesayangan Ayah itu? Aku lebih baik sendiri dari pada ditemani sama dia. Ayah juga kalau keberatan tidak perlu ke sini. Aku masih bisa melakukan apa pun sendiri," ketusnya. Aku salah lagi rupanya. Nama Rani memang sangat sensitif di indera pendengaran Farel.
"Ya sudah, maaf. Ayah cuma menyampaikan pesan," ucapku akhirnya. Mengalah adalah satu-satunya cara menghadapi Farel saat ini. Aku tidak ingin ia kembali tertekan apa lagi kalau sampai pergi meninggalkanku.
Kuhempaskan bobot tubuh ini ke atas sofa. Membuka laptop yang sengaja aku bawa dari rumah dan menyelesaikan pekerjaan yang sudah dikirimkan sekretarisku lewat email, menjadi aktifitas sambil menemani putraku.
Kami memang berada dalam satu ruangan yang sama. Akan tetapi, tidak ada keakraban layaknya ayah dan anak yang tercipta.
???
Dua hari Farel dirawat, keadannya sudah mulai pulih. Hanya saja tangan sebelah kiri masih belum bisa dipakai beraktifitas dengan normal seperti biasanya.
Semenjak kepulangannya dari rumah sakit, sikap Farel masih sama. Ia tetap bersikap ketus pada Rani, pun padaku yang selalu berusaha mengakrabkan diri.
Beberapa minggu menjalani pengobatan rutin, akhirnya tangan Farel bisa sembuh seperti sedia kala. Ia mulai kembali bersekolah karena masa hukumannya pun telah selesai.
Sebenarnya aku takut ia akan membuat ulah lagi di sekolah. Namun, hal mencengangkan aku terima dari laporan wali kelas yang mengatakan sikap Farel jauh lebih baik, bahkan ia tidak pernah absen di setiap mata pelajaran.
Aku senang mendengarnya. Akan tetapi ada yang aneh ketika sering kudapati dia menelepon seseorang dengan raut wajah bahagia. Apa mungkin itu pacarnya?
Sepertinya aku harus mencari tahu jawabannya.
"Yah, besok kan libur. Aku mau minta izin," katanya ketika aku tengah fokus pada laptop di ruang kerja.
"Izin ke mana?"
"Menginap di rumah teman. Nanti minggu sore sudah pulang lagi, kok."
"Menginap?" Alisku bertaut. "Siapa nama temanmu itu?"
"Rasya. Aku menginap di rumah dia. Kalau Ayah tidak percaya tanyakan saja padanya langsung," ujarnya tak suka. Sepertinya ia tahu aku masih belum percaya akan ucapannya.
"Baiklah, Ayah izinkan. Tapi ingat, baik-baik di sana, jangan buat ulah. Apa lagi itu di rumah orang," tegasku. Tidak ada pilihan lain selain mengizinkannya. Aku tidak ingin Farel merasa tertekan jika aku terus mengekangnya.
"Aku tahu kok, Yah. Tidak mungkin aku berbuat onar di rumah orang."
"Bukan begitu maksud Ayah, Nak--"
"Sudah. Aku harua siap-siap. Besok pagi aku berangkat," selanya.
"Kok pagi? Bukannya rumah temanmu itu tidak terlalu jauh?"
"Kan di sana mau ada kegiatan, Yah. Harus siap-siap dulu lah," kilahnya.
Aku pun mengangguk tanda mengerti. Tak ingin membuatnya kembali tersulut emosi karena terlalu banyak memberikan pertanyaan, akhirnya mengalah saja. Biarlah nanti kutanyakan langsung pada orang tuanya Rasya.
Benar saja, Sabtu pagi Farel sudah bersiap untuk pergi. Ia menolak ketika aku menawarkan diri untuk mengantarnya langsung ke rumah Rasya.
Setelah berpamitan padaku, Farel menghampiri temannya yang sudah menunggu di depan rumah. Mereka menaiki sepeda motor menuju rumah Rasya.
"Hallo. Dia sudah berangkat. Cepat ikuti!"
Ya, aku sengaja menyuruh seseorang untuk membuntuti Farel. Entah mengapa aku masih belum percaya dia akan menginap di rumah Rasya. Feelingku mengatakan ada sesuatu yang sedang disembunyikan anak itu.
Sudah setengah jam aku menunggu laporan dari orang suruhan. Hati ini dilanda rasa gelisah takut terjadi hal buruk pada putraku. Ini baru pertama kali Farel meminta izin untuk menginap di rumah orang.
Ponsel yang aku simpan di meja bergetar. Gegas tangan ini mengambilnya karena aku yakin pasti dari orang suruhan yang memberi informasi tentang putraku.
"Hallo, bagaimana?"
[Pak, Farel tidak menuju ke rumah temannya yang bernama Rasya.]
"Apa? Kamu yakin?"
[Sangat yakin.]
"Lalu dia ke mana?" Aku semakin cemas.
[Saat ini Farel menuju ke Terminal. Sepertinya dia akan pergi ke luar Jakarta.]
"Ikuti dia terus. Jangan sampai kehilangan jejak!"
[Baik.]
Ternyata benar dugaanku, Farel sudah berbohong. Pantas saja ia membawa tas ransel cukup besar, tidak masuk akal jika hanya akan menginap satu malam. Lantas ke mana tujuannya?
Mungkinkah ia pergi mencari Hana?
*
*
Bersambung.