Bab 2

869 Kata
"Bang ... mari kita berpisah." Sontak saja pelukan ini aku lepas. Kubalikkan tubuh Hana hingga kini posisi kami berhadapan. Hatiku mencelos ketika melihat wajahnya sudah bersimbah air mata. Sikapku yang memang sudah sangat keterlaluan, telah melukai hati Farhana begitu dalam. "Jangan katakan itu. Abang minta maaf jika selama ini terlalu sering mengabaikan kalian. Abang janji mulai hari ini akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kamu dan anak-anak." Kali ini aku bersungguh-sungguh. Kejadian yang menimpa Kia menjadi tamparan keras untukku yang lebih condong kepada Rani. Akan tetapi, sampai saat ini aku belum bisa berkata jujur kepada Hana tentang keberadaan Rani yang hadir di antara kami. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikan bangkai ini dari istri pertamaku. "Abang tidak perlu berjanji. Keputusan Hana sudah bulat, kita akan tetap berpisah." Dia tetap pada pendirian. Kucoba meraih tubuhnya untuk didekap, tetapi Hana beringsut mundur menjauhiku membuat diri ini gusar dibuatnya. "Kamu ini kenapa, sih? Tiba-tiba saja meminta berpisah karena Abang tidak datang ke acara ulang tahun Kia. Kamu tahu sendiri akhir-akhir ini Abang disibukkan oleh pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Abang mengaku salah karena terlalu sering meninggalkan kalian, tapi Abang mohon kamu mengerti. Abang ini bekerja untuk kamu dan anak-anak." Berusaha meyakinkan Hana terus aku lakukan meskipun dengan penuh kebohongan. Diri ini tidak sanggup jika harus kehilangan Hana. Dia sosok wanita yang selalu menjadi penenang. Rasa cinta ini pun tetap tidak berubah walau Rani kini hadir di antara kami dan mengisi sebagian sisi hatiku yang lain. "Abang yakin karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggal?" Pertanyaan Hana membuatku mengerutkan kening. "Apa maksud kamu? Tentu saja karena pekerjaan. Memangnya kamu pikir karena apa?" Senyum sinis terukir dari bibirnya yang tipis. Selarik senyum yang tidak pernah diperlihatkan Hana padaku selama kami hidup berumah tangga. Diri ini mulai cemas. Jangan-jangan--- "Hana sudah tahu semuanya." "M-maksud kamu?" Aku semakin gelisah. "Abang selama ini bukan disibukkan karena pekerjaan, melainkan istri Abang yang saat ini tengah hamil muda." Wajahku terasa panas. Tangan ini pun gemetar. Ternyata Hana sudah mengetahui semuanya bahkan ketika aku belum siap menghadapi kemungkinan terburuk sekali pun. "Hana, Abang bisa jelaskan." "Tidak perlu, Bang. Apa yang Hana saksikan sudah menjelaskan semuanya. Maaf, Hana tidak bisa bertahan dalam rumah tangga ini lagi. Bukan Hana menentang poligami, tetapi Hana tidak suka dengan cara yang Abang lakukan. Diam-diam menikah tanpa sepengetahuan Hana, itu yang membuat Hana kecewa," ungkapnya. "Kamu sudah lama mengetahuinya?" tanyaku gugup. "Ya. Sejak enam bulan yang lalu. Sikap Abang yang makin berubah membuat Hana mencari tahu penyebabnya. Insting seorang istri itu kuat, Bang. Tadinya Hana ingin memberi kesempatan pada Abang untuk berubah. Tapi ternyata Abang malah semakin menjadi, bahkan sampai melupakan ulang tahun Kia." "Hana--" "Mari kita berpisah saja, Bang. Hana sudah tidak kuat menjalani pernikahan seperti ini. Hana mencoba menerima dengan ikhlas ketika tahu Abang telah membagi hati. Namun, jika sudah menyangkut anak-anak yang Abang abaikan, Hana tidak bisa memberi kesempatan lagi." Hana beringsut turun dari ranjang. Ia berjalan menuju lemari dan mengeluarkan sebagian pakaiannya. "Kamu mau apa?" tanyaku panik. Tangan ini mencoba menahan gerakannya, tetapi lagi-lagi Hana menepis. "Hana akan pergi bersama anak-anak. Abang silahkan jatuhkan talak untuk Hana sekarang juga." "Jangan gila kamu, Hana!" teriakku yang mulai terpancing emosi. "Aku memang sudah gila semenjak tahu Abang mendua!" Sergahnya tak kalah sengit. Aku terpaku. Hana-ku kini berani berkata dengan nada tinggi, hal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan di depanku. "Hana mohon, Bang. Lepaskan Hana dari semua rasa sakit ini. Hana juga berhak bahagia, bukan? Jika tetap bersama Abang, Hana yakin kebahagiaan itu hanya akan menjadi angan semata. Jika perlu Hana akan bersujud di kaki Abang agar Abang mau melepaskan Hana." Tubuhnya mulai luruh, tetapi dengan cepat aku menahannya dengan memegang bahu rapuhnya. "Jangan seperti ini, Hana. Abang janji akan bersikap lebih adil kepada kalian. Pikirkan lah anak-anak kalau kita sampai berpisah." Kucoba membujuknya, berharap ia bisa luluh dan memberiku kesempatan sekali lagi. "Kenapa baru sekarang Abang ingat anak-anak? Bukankah selama ini Abang sering mengabaikan mereka?" Tak ada lagi jawaban yang keluar dari mulutku. Semua yang Hana katakan memang benar. Justru aku yang selama ini tidak memikirkan perasaan anak-anak. "Lalu ke mana kamu akan pergi? Tetaplah tinggal di sini. Biar Abang yang keluar dari rumah ini." Hana menggelengkan kepalanya perlahan. "Terlalu banyak kenangan di rumah ini. Hana tidak ingin terus bergelut dengan masa lalu yang menyakitkan. Hana memilih pergi mencari kebahagiaan di luar sana. Ayok, Bang, talak Hana sekarang." "Hana--" "Ayok, Bang!" ujarnya setengah berteriak. Rupanya sudah sedalam itu luka yang aku torehkan hingga dia tidak ingin lagi hidup bersama pria sepertiku. "Baiklah jika itu mau kamu. Akan Abang kabulkan." Kupejamkan mata sebelum kata sakral kuucapkan. Tak mampu diri ini melihat wajah itu semakin terluka setelah mendengarnya. Maafkan aku, Hana .... "Farhana khairunnisa, detik ini kujatuhkan talak padamu. Mulai saat ini engkau haram untukku." Kubuka mata ini, senyum Hana yang aku lihat pertama kali. Tidak ada lagi air mata yang keluar dari netra teduhnya. Hana sudah ikhlas menerimanya, tidak sepertiku yang berkubang dengan rasa penyesalan. "Abang bisa keluar dari kamar ini?" "Kenapa? Ini kamar Abang juga." "Kalau begitu biar Hana yang tidur di kamar anak-anak." Ia beranjak meninggalkan aku yang masih bergeming di tempat. Suara pintu yang tertutup menyadarkan diri ini dari keterpakuan. Aku lupa ... Hana sekarang bukan istriku lagi. * * Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN