"Ayah ... ayahnya Kia sama Arka, kan?" Hatiku mencelos mendengar pertanyaan bernada penuh harap dari putriku. Tanpa sadar tungkai ini gemetar, hingga luruh dan berlutut di depannya. "Iya, Sayang. Ayah ini ayahnya Kia sama Arka. Sini peluk Ayah, Nak." Tubuh mungil itu perlahan mendekat. Segera kurengkuh dan kudekap dengan erat. Tangis kami sama-sama pecah. "Maafkan Ayah ... maaf," gumamku. Kami semua hening. Hanya isak tangis yang terdengar memenuhi indera pendengaran ini. Cukup lama kami berada dalam posisi ini sampai Hana memecah keheningan dengan mempersilahkan aku masuk. "Masuk dulu, Bang. Abang sama Farel pasti cape," ucapnya. Kami pun masuk beriringan. Kia masih sesenggukan dalam gendonganku, sedangkan Arka, putra kecilku dituntun oleh Farel. "Duduk, Bang. Hana ambilkan minum