Wisnu : Send a picture
Beberapa detik setelah gambar di kirim para penghuni grup chat itu langsung mengirimkan pesan balasan.
Andre : Itu bukannya Leo?
Walau gambarnya di ambil dari samping tapi jelas menunjukkan kalau itu Leo.
Wisnu : Itu memang Leo.
Andre : Beneran? Gileee... Cipokan sama siapa tuh? Yang jelas bukan sama Gea. Haha...
Wisnu : Ya bukan lah.
Zidan : Dan yang lebih jelas lagi bukan sama Ana. Wkwkwk...
Andre : Setan!
Seto : Jadi itu pacarnya baru si Leo? b******k juga. Baru putus sama Gea langsung dapat yang baru.
Leo yang baru membuka chat itu terkejut melihat fotonya dengan Catherine sedang berciuman. Dia tidak menyangka jika teman-temanya mengambil fotonya diam-diam. Kalau bukan perbuatan Zidan, pastilah Wisnu.
Wisnu : Berarti si Leo normal. Gugur satu tumbuh sepuluh. Haha...
Seto : Cowok b******k, sih!
Leo tidak ada keinginan membalas obrolan di chat itu. Apalagi dia sadar Seto terlihat masih marah padanya sebab sudah mencampakkan adiknya.
Zidan : Leo mana nih? Kenapa nggak nongol. Butuh konfirmasi buat pasti'in itu ceweknya apa bukan.
Andre : Ya pasti pacarnya lah.
Zidan : Belum bisa di pastikan soalnya belum di kenalkan sama kita secara resmi.
Wisnu : Betul sekali.
Pikiran Leo langsung teringat tentang permintaan orang tuanya yang menyuruhnya membawa Catherine saat acara baby shower. Itu adalah saat yang tepat untuk memperkenalkan Catherine pada sahabat- sahabatnya.
Zidan : Leo... Keluar dong! Jangan di baca doang chatnya. Tulis sesuatu biar kita nggak penasaran.
Leo yang berada di ruang tamu meletakkan ponselnya di sisi kosong sofa yang ada di sebelahnya. Tidak berniat membalas atau membaca pesan yang masih masuk ke grup chat itu.
***
Setelah menerima kiriman baju yang diantarkan seorang kurir. Catherine berpamitan pulang pada sang pemilik rumah dan juga adiknya. Aira meminta Catherine untuk pulang agak siangan sedikit tapi ia tidak bisa.
Hari ini Catherine pulang ke rumahnya. Bukan ke rumah kakaknya yang kosong karena di tinggal pemiliknya. Bukan juga ke apartemen yang sudah dihuni Catherine sejak lulus kuliah. Tapi benar-benar pulang ke rumah yang sedari kecil ia tempati. Rumah tempat tinggal sang ayah dan segala kenangan tentang almarhumah ibunya berada disana.
Sudah cukup Catherine marah pada ayahnya dan pergi dari rumah. Dia sudah senang dengan keputusan sang ayah yang memutuskan hubungannya dengan perempuan yang pantas menjadi anaknya dan jelas-jelas hanya mengincar harta laki-laki paruh baya itu.
"Papi... " Panggil Catherine saat melihat ayahnya sedang duduk santai di kursi yang ada di tepi kolam. Tak lupa ia memeluk sang papi dan mendaratkan ciuman sayang di pipi ayahnya. Berpayungkan payung besar beserta cemilan dan minuman yang ada di atas meja yang berada disebelah kursi.
"Hallo... Sweetheart. " Harjito membalas pelukan sang putri. "Papi senang akhirnya kamu pulang. " Mereka melepaskan pelukan dan Catherine duduk di kursi kosong yang ada disana.
"Tentu saja aku akan pulang, pi."
"Papi takut kamu keterusan dan nggak mau pulang. " Laki-laki bertubuh tambun dan agak botak itu sangat takut kehilangan putrinya.
"Ngambeknya juga tergantung sama papi. " Catherine mengambil sebiji anggur lalu di masukkan kedalam mulutnya.
"I am sorry, sweetheart. Papi tahu papi salah. Seharusnya papi tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi. Seharusnya papi menikmati masa tua papi. Melihat kamu dan Tere menikah kemudian memberikan papi cucu yang banyak. "
"Ayolah papi... Jangan terlalu serius. Kak Tere saja belum menikah. Kenapa aku juga harus di bawa-bawa untuk menikah. "
"Memangnya kamu tidak ada kepikiran untuk menikah? "
Jujur saja Catherine belum kepikiran kearah sana.
"Jangan pikir papi tidak tahu hubungan kamu dengan dosen muda itu. Anak Andika Widyatama. "
Catherine terbelalak mendengarnya. Darimana ayahnya tahu? Satu hal yang Catherine lupa. Ayahnya bisa melakukan apapun.
"Jangan terlalu sering mempermainkan hati laki-laki Catherine. " Papi menginginkan. Laki-laki itu tahu tingkah anak bungsunya yang senang mempermainkan laki-laki. "Tidak semua laki-laki seperti Evan. "
Catherine membuang pandangannya kearah lain. Tidak mau membahas laki-laki bernama Evan.
"Kalau kamu serius dengan dosen muda itu papi akan setuju. Dia berasal dari keluarga yang jelas bibit, bebet, bobotnya. "
Dalam hati Catherine ngedumel. Kenapa juga papinya seperti ini. Menyuruhnya untuk lebih dekat dan serius dengan Leo. Dia hanya ingin bermain-main dengan dosen muda itu tanpa hati.
"Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa, pi. " Jelas Catherine. "Apalagi untuk menikah. Nggak ada pemikiran kesana. "
Laki-laki paruh baya itu menganggukkan kepala mengerti. Tapi juga berharap semoga putrinya berhenti mempermainkan laki-laki.
" Sebenarnya papi boleh aja nikah lagi. " Catherine mengalihkan pembicaraan. "Asal nggak sama yang lebih muda aja."
Papi terkekeh.
"Memangnya kenapa kalau sama yang muda? "
"Ya ampun, pi. Ingat umur. Si Jona itu lebih pantes jadi anak papi. Dia aja lebih muda dari aku. Jona itu cuma ngincer harta papi aja. "
"Iya, papi tau. "
"Papi udah tau? "
"Maaf, waktu itu papi tidak percaya sama kamu. "
Catherine lega akhirnya papinya sadar cuma di permainkan oleh wanita ular betina itu.
"Syukur kalau papi udah tau. "
Anak dan ayah itu saling tersenyum.
"Aku sama kak Tere nggak masalah kalau papi menikah lagi. Tapi kami ingin papi bersama orang yang tepat. Wanita yang benar-benar mencintai papi, sayang sama papi. Bukan karena apa yang papi punya. Kami ingin papi bahagia. "
Harjito tersentuh dengan ucapan sang putri. Ternyata putri kecilnya sudah dewasa.
"Kamu sudah dewasa sayang. "
"Papi anggap aku masih kecil? Astaga... Papi. Aku ini sudah dua puluh lima tahun. Umurku sudah seperempat abad. Masa di anggap anak kecil terus. " Catherine cemberut.
"Kamu akan selalu menjadi putri kecil papi. Mau kamu sudah menikah ataupun sudah punya anak. "
"Bahas pernikahan lagi. Aku belum mau menikah, pi. "
"Seharusnya kamu sudah memikirkan hal itu. Dosen muda itu cocok sama kamu. "
"Kenapa bahas Leo terus, sih. "
"Ah, jadi namanya Leo. Papi lupa kalau namanya Leo."
"Aku sama dia nggak ada hubungan apa-apa, pi! "
"Kamu yakin tidak tertarik sama dia? Dia itu tampan, mempesona. Mengingatkan papi waktu masih muda. "
Yang di tanggapi Catherine dengan memutar bola matanya.
"Papi lebih tampan dari dia. " Tegas Catherine. Tidak ada yang lebih tampan dari ayahnya walaupun sekarang tubuhnya gemuk, perutnya buncit, kepalanya agak botak dan sisa rambutnya kebanyakan sudah berwarna putih.
"Tentu, sweetheart. Kalau tidak seperti itu mana mungkin mami kamu mau sama papi. Dan kami mempunyai anak-anak yang cantik seperti kalian. "
"Kami yang beruntung menjadi anak papi sama mami. "
Sudah lama Catherine tidak mengobrol dengan ayahnya seperti itu. Kebanyakan kemarin mereka sering bertengkar dan Catherine minggat dari rumah karena hubungan sang ayah dengan Jona.