Pagi ini semua orang kecuali Shakka dan putranya sudah berkumpul di meja makan. Abid, Keysha dan kedua orang tuanya memulai sarapan tanpa dua orang tersebut. Gentala tidak pernah mau diurusi jika Papa tercintanya ada di rumah. Mereka berdua punya dunia sendiri dan tenggelam di dalamnya tanpa benar-benar ada seseorang yang bisa masuk. Dunia yang kalau boleh Naya beri nama, dunia carut marut. Lihat saja jam berapa sekarang, Gentala pasti belum bangun sedangkan ia harus berangkat ke sekolah. Dan cucunya itu akan semakin terlambar gara-gara papanya.
“Hari ini Abang ga kemana-mana, ‘kan, Ma?” tanya Abid yang minggu depan akan melangsungkan pernikahannya. Di rumah ini Abid adalah anak bungsu tapi siapa yang menyangka bahwa si bungsu lah yang akan menikah lebih dulu? Pernikahan, sejatinya memang bukan tentang umur.
“Kakak yang akan seret Abangmu untuk fitting bajunya nanti,” ucap Keysha. Persiapan pernikahan Abid sudah bisa disebut rampung tapi sekalipun Shakka belum melakukan fitting baju padahal Gentala sudah melakukannya. Sedang bagi Abid, ia tidak terlalu peduli bagaimana cara Abangnya datang di resepsi nanti. Abang mau pakai baju kerjanya seperti biasa atau piyama, hal itu tidak akan berefek pada acara itu sendiri. Ini tentang Fira, calon istrinya yang sejak bulan lalu sudah dibuat kesal oleh Bang Shakka karena beliau mengatakan tidak akan datang ke pesta resepsi. Abang dan Fira benar-benar terlihat seperti anjing dan kucing.
“Pagi, Mama..”
Semua orang di meja makan menoleh ke arah datangnya suara dan mereka mendapati Gentala yang jauh lebih ceria dari biasanya. Bocah itu berdiri bersisian dengan Papanya namun semua orang lebih memilih untuk menatap Gentala dari pada Shakka yang rambutnya mencuat kemana-mana. Sejak bocah itu lahir ke dunia, Shakka memang langsung kehilangan pesonanya.
“Pagi, Mama,” tiru Shakka. Ia menarik salah satu kursi dan mendudukkan putranya di sana. Ia sudah meninggalkan Gentala selama hampir tiga minggu dan waktunya untuk melayani tuan muda ini. Apapun yang keluar dari mulut putranya adalah perintah baginya.
Gentala mendengus karena saat tangan pendeknya berusaha menyambar roti, tangan panjang Papa mencuri pekerjaan tersebut darinya. Papa bahkan tidak perlu bertanya selai apa yang ia inginkan. “Aku bisa sendiri Papa,” keluhnya saat Papa juga ingin menyuapinya.
“Papa tau, ayo buka mulut.”
Menghela napas malas, Gentala kemudian menoleh pada Mama yang ternyata sudah mengulum bibirnya. Semua orang senang sekali memperlakukannya seperti bayi. Namun begitu, demi Papa, Gentala membuka mulutnya dan mengambil satu gigitan besar. “Paaa…” rengeknya karena begitu menyelesaikan satu gigitan tersebut, Papa langsung menyeka mulutnya.
“Mulut kamu kotor, Nak..”
Abid menyerngit mendengar kalimat Abangnya barusan. Bukannya mulut yang paling kotor disini adalah mulut abangnya?
“Papa pikir kenapa Tavi bilang aku anak manja?”
“Karena kamu memang anak manja. Kalau kamu sama sekali belum merasa sebagai anak manja, Papa bisa-”
“-Ngga, Pa. Aku udah cukup manja,” ucap Gentala kesal tapi setelahnya ia membuka mulutnya karena Papa sudah membawa mulut gelas tepat ke depan mulutnya.
Shakka tersenyum puas karena berhasil membuat putanya tidak bisa menggunakan kedua tangannya pagi ini. “Jadi gimana kabarnya calon istri Papa?” tanya Shakka setelah Gentala mendapatkan gigitan keduanya. Yang tidak ia sadari adalah saat kata itu keluar dari mulutnya dengan begitu alami, semua orang dewasa yang mendengarnya menahan napas mereka.
“Bodoh seperti biasa.”
“Gentala,” tegur Shakka.
“Sayang, siapa yang Papa kamu sebut sebagai calon istrinya?” tanya Naya pada cucunya.
“Tavi, Nek.”
“Tavi?” tanya Abid. Bukannya Tavi adalah putri dari temannya Abang? Atau ada lagi Tavi yang tidak mereka tau?
“Anaknya Ilham, Ma..” kekeh Shakka yang kembali membersihkan sudut bibir putranya dari remahan roti.
Naya berdecak kesal karena untuk beberapa saat sebelum putranya menjelaskan siapa calon istri yang sepasang Ayah dan anak itu sebut, ia pikir segera setelah Abid menikah, Shakka juga akan membina rumah tangga.
“Abid menikah supaya punya anak, ‘kan, Ma? Anakku sudah sebesar ini, kenapa aku masih harus menikah?” Setelahnya Shakka menoleh pada putranya. “Kamu mau Papa menikah?”
“Engga.”
“Nah..” ucap Shakka dengan tampang puasnya. Shakka puas dengan hidupnya bersama Gentala. Dan putranya pun bahagia walau hanya ada mereka berdua saja di dunia ini. Hal itu selalu Shakka manfaatkan untuk menangkis jurus andalan Mama. Kapan nikah.
“Ayo, Nak.. kita udah telat.”
Abid menggeleng pelan melihat Abang dan ponakannya yang meninggalkan mereka begitu saja. Keduanya menjauh sambil membicarakan kegiatan sehabis sekolah hari ini. Kemudian Abid menatap Mamanya yang kecewa. “Kalau Mama mau Abang menikah, tunggu sampai Gentala jatuh cinta sama wanita manapun di dunia ini dulu.” Karena hanya jika Gentala menyukai seorang wanita dan menginginkan wanita itu untuk menjadi Mamanya, barulah pernikahan untuk Abang menjadi sesuatu yang mungkin.
Gentala mengangguk pelan mengikuti lagu yang sedang diputar. Gentala suka paginya ramai seperti ini. Dan pagi kesukannya hanya ada saat Papa bersamanya. Mama, Om Abid bahkan Kakek dan Neneknya tidak pernah bisa membuat suasana terasa menyenangkan seperti bersama Papa.
Saat ia sampai di sekolah, Gentala mengintip keadaan yang mulai sepi. Tentu saja karena ia telah melewatkan bell masuk. Tapi tidak apa, ia hanya perlu meminta izin dengan sopan kemudian tersenyum lebar dan berjalan menuju bangkunya setelah diizinkan masuk. Dan yang paling penting, Gentala harus mengangkat tangannya begitu gurunya mengajukan pertanyaan. Gentala tersenyum senang dengan rencananya yang sempurna.
“Selamat bersenang-senang, Sayang.” Shakka mengacak-acak rambut putranya. Dulu kata-kata ini adalah kata yang selalu ia ucapkan pada dirinya sendiri ketika mengurus bayinya seorang diri. Bayinya yang dulu hanya bisa menangis baik saat lapar, kedinginan, mengantuk bahkan saat bangun. Shakka tidak pernah sehari pun merasa Gentala adalah beban dalam hidupnya.
Gentala memeluk Papanya lama, menghirup wangi kesukaannya sebanyak yang ia inginkan sebelum turun dari mobil dan bersenang-senang sesuai keinginan Papa. Hari ini ia akan memulai misinya untuk menemukan Shakka.
>>>
Papa tampak tenggelam dengan bacaannya. Saat ini Gentala dan Papanya berada di perpusatakaan terbesar di kota ini setelah makan siang di restoran Papanya Tavi. Untuk beberapa jam ke depan ia akan mencoba mencari Shakka di perpustakaan ini.
Di sekolah, Gentala mengenal kakak-kakak yang baik sekali padanya. Kakak itu adalah penjaga kantin yang seharian tadi ia pinjam ponselnya. Ia tidak bisa menggunakan ponselnya sendiri untuk mencari Shakka karena Papa akan mengetahuinya dengan mudah. Gentala cukup teliti untuk tidak membiarkan Papanya mengetahui rencananya yang belum mendapatkan eksekusi. Gentala sudah mencoba untuk mendapatkan preloved buku Shakka tapi tidak membuahkan hasil. Tidak ada yang mau menjual buku tersebut setinggi apapun Gentala memberikan penawaran. Mencari e-book nya sama saja. Shakka seolah-olah sengaja dihapus dari dunia. Begitu sulitnya Gentala menemukan Shakka padahal yang sedang ia cari, orangnya adalah Papanya sendiri.
“Ngga ada, Dek..”
“Makasih, Kak,” ucap Gentala pada kakak-kakak yang membantunya untuk mencari Shakka di komputer yang tidak cukup rendah untuk ia gapai. Kenapa buku itu tidak ada di mana-mana? Raungnya membatin. Air muka bocah tampan itu sudah tidak sedap di pandang karena rencananya tidak berjalan sesuai dengan yang ia inginkan.
“Maksudku.. dunia sudah canggih. Kenapa susah sekali untuk menemukan buku itu?” omelnya sambil menendang-nendang udara, berjalan menuju sang papa. Ia hanya tidak tau bahwa dunia memang canggih tapi ada beberapa orang yang bisa mengendalikan kecanggihan itu. Begitu berada dalam jarak lima meter dari sang papa, Gentala baru menyadari bahwa Papa bersama seorang wanita dan mereka bicara. Bocah itu semakin kesal saja dan berbalik. Ia akan tunggu sampai Papa selesai dengan wanita itu.
“Gentala,” panggil Shakka melihat putranya berbalik.
Gentala berbalik, “Hm..” gumamnya dengan cemberut.
“Sudah ketemu apa yang kamu cari?”
Mengendikkan bahunya, Gentala berujar, “Kelihatannya Papa yang menemukan sesuatu padahal tidak mencari.”
“Permisi,” ucap Shakka meninggalkan wanita yang menghampirinya beberapa menit yang lalu. Entah apa yang membuat Gentala sekesal ini. Yang pasti bukan karena dia tiba-tiba tersandung kakinya sendiri atau tertimpa buku di rak yang lebih tinggi. Pertama, Gentala bukan bocah ceroboh dan kedua, ia tidak akan memanjat rak buku karena Gentala tau bagaimana caranya minta tolong pada orang-orang sekitar.
“Kita ke Tavi?” tawar Shakka pada putranya. Tavi adalah teman terdekat Gentala dan tiap kali putranya datang pada putrinya Icin, suasana hatinya selalu membaik.
“Ayo, Pa..” ucap Gentala setelah berpikir beberapa detik.
“Good boy.”
>>>
Tavisha Chareeze Elaine menurut saja saat Jeje menarik tangannya menjauhi orang tua mereka. Begitu Tavi melihat Jeje di rumahnya, senyumnya langsung mengembang karena Jeje pasti membawa buku itu bersamanya sehingga mereka bisa membaca kelanjutan ceritanya.
“Ini ruangan Ibuku, Je..” ucap Tavi saat Jeje mambawanya masuk ke ruangan milik Ibu. Ayah saja tidak suka berada di sini. Selain karena Ibu melarang Ayah masuk, Ayah juga tidak menyukai bau buku-buku Ibu.
“Kamu bantu aku nyari buku itu, mau?”
“Kamu yang harus cari buku itu, ‘kan? Tugasku baca buku sejarah, biologi, dan lain-lain.” Tavi ingat sekali obrolan mereka kemaren. Kenapa tiba-tiba tugasnya berubah?
Gentala menjelaskan bahwa sisa buku itu pasti berada di sini karena Tavi menemukan sebagian yang sudah mereka baca di rumah ini. Ia juga mengatakan bahwa barusan ia dan Papa kembali dari perpustakaan. Gentala mengaku bahwa perpustakaan itu punya semua buku-buku penting tapi tidak dengan buku yang mereka berdua inginkan. “Kamu cari buku itu di sini tanpa ketahuan, ya? Aku juga akan nyari informasi dari Papaku, nanti.”
Tavi melipat kedua tangannya di d**a. “Aku dapat apa?”
Gentala butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan Tavi yang satu ini. Ia tau apa yang paling Tavi sukai. Apa lagi kalau bukan Papanya. Tapi menjanjikan Papa untuk Tavi bukan lah hal yang benar karena kalau sempat Tavi menemukan buku itu dan anak perempuan ini mengetahui bahwa ia tidak bisa menikah dengan Papa, dia pasti akan membeberkan semuanya.
“Aku..” ucap Gentala ragu dengan kalimat yang ingin ia tawarkan pada Tavi.
“Kamu mau naik busway sama aku dan minjem duit aku?” tanya Tavisha yang tanpa bocah itu sadari, ia sudah menjadi korban dari roman picisan.
“Tavi..” ucap Gentala menghela napas panjang. “Aku naik mobil pribadi. Busway is just not my thing. Bukannya kamu mau tau banget cerita selanjutnya? Kenapa susah sekali minta tolong sama kamu?” tambahnya.
“Aku ‘kan bercanda aja, Jeje.. Kenapa kamu ga datang ke tempat buku itu dibuat aja?”
“Maksud kamu?”
“Dari pada kamu pergi ke semua toko buku atau perpustakaan yang ada di dunia ini, kenapa kamu ga pergi ke tempat buku itu dibuat aja?” ulang Tavi yang membuat senyum lebar tercetak di wajah Gentala Jayden Padmaja.