15

1672 Kata
Abid duduk dengan kedua tangan dilipat di d**a dan kepala miring lima belas derajat. Ia tengah memperhatikan Gentala yang melambung tinggi. Bocah itu jelas sedang berpikir keras. Tidak terlihat bahwa ia menikmati permainannya sama sekali. Pagi tadi saat ia bertanya apakah ponakannya itu serius menolak bantuannya, Abid mendapatkan Gentala berjalan dengan suka rela mendekatinya. Abid pikir, Gentala akan meminta di antarkan ke Animedia tapi ternyata mereka benar-benar berakhir di wahana trampolin. “Sudah?” “Kenapa aku harus ke sana padahal aku sudah punya alamat dan nomor telfon Bella?” “Karena kamu ingin tau kelanjutan ceritanya. Tapi karena kamu masih di bawah umur, kamu cuma boleh baca Shakka. Yang mana, sebetulnya kamu juga belum boleh baca sih.” Gentala menghentikan lompatannya dan mendekati Om Abid. “Jadi setelah Shakka, masih ada buku kedua?” “Bukan buku kedua. Shakka justru adalah buku kedua. Dan, Nak.. kenapa kamu menyebut nama Papamu tanpa embel-embel? Mau jadi anak durhaka?” “Judul bukunya, ‘kan, Shakka, Om. Gimana sih? Om juga nyebut-nyebut nama Papaku tanpa ada kata Abang di depannya.” “Kemana kamu?” “Ke Animedia. Jemput buku pertama sama buku keduanya Papa,” jawab Gentala tanpa menoleh ke belakang sementara di belakang sana Abid mulai panas dingin. Anak Abang bisa tercemar otaknya kalau membaca buku pertama. “Gentala.. sini dulu.” “Sini dulu, Nak..” “Gentala..” ucap Abid kehabisan kesabaran. Ia mengerti dengan rasa penasaran ponakannya itu juga harapan untuk bertemu wanita yang telah melahirkannya. Banyak yang ingin Gentala inginkan jawabannya seperti kenapa Mamanya tidak pernah bersamanya. Abid mengerti. “Kalau kamu ga mau nurut sama Om, barusan, Om niatnya mau ngasih tau Papamu aja sepulang kita dari sini,” aku Abid pada ponakannya yang akhirnya mendekat dengan ogah-ogahan. Pria yang sebentar lagi akan menjadi seorang suami itu langsung terkekeh melihat Gentala melotot dan menaikkan sebelah bibirnya. “Kamu tidak bisa baca buku pertama. Buku pertama itu bercerita tentang Shakka dan Bella setelah mereka berdua dewasa.” “Heh??” potong Gentala tidak paham. Kenapa justru buku pertama menceritakan sesuatu yang harusnya diceritakan setelah kisah Shakka yang sebagiannya sudah ia baca? Jadi, saat Om Abid menepuk tempat pertanda memintanya duduk, Gentala langsung melakukannya. Mata bulatnya mengerjap-ngerjap saat Om menjelaskan bahwa Shakka adalah prekuel dari Shakka yang lainnya. “Kamu tau kenapa kamu tidak belajar logaritma di SD? Karena kamu tidak akan mengerti sekalipun kamu adalah anaknya Shakka Orlando Padmaja si jenius sekalipun. Semua ada jenjangnya, Papamu saja yang mencuri-curi start untuk mengajarimu beberapa hal.” “Apa itu logaritma?” “Kamu akan tau apa itu logaritma nanti saat kamu sudah SMA. Apa kamu paham kenapa kamu belum boleh baca buku pertama?” “Tapi itu tentang Papaku.” “Oh ya? Om pikir kamu mau menemukan Mamamu.” Gentala Jayden Padmaja tidak pernah membahas Mama yang itu dengan siapapun. Ia bahkan belum memikirkan akan memanggil Mama itu dengan sebutan tertentu. Makanya saat Om Abid menyebut dia sebagai Mama, Gentala merasa jantungnya berdetak kencang. Ia juga bisa merasakan pipinya memanas. >>>  Gentala melingkarkan tangannya pada paha kanan bagian dalam Om ketika mereka berbicara dengan seorang kakek-kakek. Ia sedang berada di Animedia seperti yang Tavi sarankan dan kini, di balik punggung Kakek itu, Gentala bisa melihat Shakka. “Jadi kamu mau Shakka, Om yang terakhir?” Sesekali Feri menoleh pada bocah yang berdiri di sisi Abid dan melemparkan senyum. Ia sudah mengetahui pertemuan ini dari pagi tadi. Abid yang menemuinya setelah anak itu mengantarkan ponakannya ke sekolah. Kalau bukan karena yang mereka bahas adalah Shakka, kisahnya dan wanita yang melahirkan cucu pertama Padmaja ini, mana mungkin Feri berada di Animedia se-sore ini. Ia tidak lagi mengurusi Animedia secara langsung. Di umur senja nya, Feri ingin bermain dengan cucu-cucu kesayangannya. “Iya, Om. Kami mau membeli Shakka.” Feri tertawa kemudian berbalik, memandang Shakka yang sengaja ia pajang di rak yang ada di kantornya. Kantor yang sekarang sudah menjadi milik putrinya. “Ini satu-satunya Shakka yang kami punya. Aku tidak bisa menjualnya sekalipun pada anak ilustrator kesayanganku.” “Yaaah.. jangan gitu lah, Om. Kami akan beli dengan harga yang pantas.” “Bagaimana kalau kalian Om kasih buku best seller kami saat ini? Lebih baik membaca buku yang ditulis oleh anak muda zaman sekarang. Kamu pasti kagum dengan jalan pikiran mereka.” “Gimana, Nak?” tanya Abid pada ponakannya yang sejak pertama mendengar penolakan Om Feri selalu menggerak-gerakkan tangannya. Memberikan kode pada Abid untuk menunjukkan usaha terbaiknya dalam membantu bocah itu. Salah kamu, Nak.. Papa kamu tuh yang perlu di kode. “Kek.. Boleh aku pinjam Shakka? Aku rental deh. Aku janji Shakka ga akan kena minyak cabe, ga akan kena air minum dari tumblerku, juga ga akan dilipat-lipat halamannya apalagi sobek.” “Berapa hari kamu mau sewa Shakka?” Gentala panik. Ia harus memperkirakan berapa hari Tavi bisa menyelesaikan membaca dengan mempertimbangkan kegiatan membacanya tidak akan ketahuan oleh orang dewasa di sekitar mereka apalagi Tante Icin suka mengecek mereka berdua. Belum lagi akhir pekan yang tentu saja harus di abaikan karena Gentala tidak main ke rumah Tavi di hari libur. Papa juga ada di sini. Papa tidak pernah menitipkan Gentala di rumah Tavi kecuali beliau sibuk dan Mama Key tidak ada di rumah. “Nah..” kekeh Feri sambil mengulurkan kembali Shakka pada Gentala yang menatapnya bingung. “Kamu boleh pinjam buku ini, tapi ada syaratnya. Setuju?” “Good boy,” ujar Feri melihat anggukan cepat bocah tampan di depannya. >>>  “Ngapain lo di depan toilet cowok?” tanya Arif heran. Bella tidak menjawab dengan suara melainkan dengan dua lembar uang dua puluh ribuan yang dua hari yang lalu cowok itu berikan padanya. “Ambil aja.” “Shakka udah bayar utangnya.” “Kalian bener ada hubungan?” Ya bukannya kepo atau punya kecenderungan suka ikut campur hubungan orang lain. Shakka jelas tidak menyukai Bella dan cara gadis ini menunjukkan perasaannya. Lalu tidak ada angin, tidak ada hujan, Bella tiba-tiba berhenti mengejar-ngejar Shakka. Dan tiba-tiba Shakka ada hutang pada Bella. Tidak kah kalian yang mengetahui kejanggalan ini ingin mengetahui sesuatu seperti Arif? “Hubungan antara penghutang dan yang mengutangi? Iya. Ya udah lah, makasih untuk niat baik lo.” Bella marah pada dirinya sendiri. Marah pada semesta yang membiarkan ia bisa berada di dekat Shakka sehingga harapan itu kembali tumbuh tanpa ia sendiri sadari. Sekarang keadaan kembali seperti semula. Seperti seharusnya. Di mana Shakka sibuk dengan dunianya sendiri dan Bella yang juga harus menyibukkan diri sendiri. Dan menyibukkan diri sendiri tidak pernah semudah ini karena kelas tambahan untuk tim olimpiade juga tugas yang datang bak mati satu tumbuh seribu. Tugas bisa mati satu tumbuh seribu tapi cinta tidak. Okay, lupakan Bella yang menjadi begitu melankolis. Sedang di sisi Shakka, ia tidak tau apa yang terjadi pada Bella. Setiap hari, begitu bell pertanda sekolah berakhir, gadis itu akan berlari menuruni tangga zig zag gedung selatan Bina Bangsa hanya untuk duduk di mobil jemputannya. Shakka pernah meninggalkan mobilnya sekali lagi di sekolah hanya untuk menemukan bahwa ia sendirian di dalam busway. Di hari berikutnya lah ia mengetahui awal dari keanehan Belladiva Wicaksono. Setiap harinya, baik setelah kelas biasa atau kelas tambahan, mobil jemputan Bella pasti sudah menunggu nona mudanya itu. Dan Shakka tidak lagi bicara pada gadis itu sampai kapanpun.  Oke. Sampai kapanpun terdengar terlalu hiperbola. “Duduk,” ucap Shakka dengan tenang sambil mendekati Bella yang panik. Kelas tambahan matematika berada tepat di samping kelas kimia dan ketika Bella berlari tiba-tiba dari kelasnya, Shakka yang sudah begitu lama hanya memperhatikannya dari jauh saja menjadi terlalu penasaran. Bahkan toilet cewek bukan halangan baginya untuk mengobati rasa penasaran. Dan berkat Belladiva Wicaksono, Shakka mengetahui kondisi toilet cewek Bina Bangsa. Bella tidak bisa mendengarkan apapun yang ingin Shakka katakan sekarang meski cowok itu ternyata masih lah cowok yang memiliki hatinya. Tidak ketika darah menuruni hidungnya dan tidak mau berhenti. Bella panik dan juga ngeri melihat cairan merah itu di wajahnya. Itulah kenapa ia membasahi telapak tangan dan membawa telapak tangan basah tersebut ke hidungnya. Bella yakin dia akan pingsan bukan karena efek mimisan ini tapi karena ia melihat darahnya sendiri. Saat itu lah ia merasa tubuhnya melayang dan dalam sekejap mata, Shakka berada tepat di depannya. Kini Bella duduk di wastafel, dengan air keran yang masih menyala. Bella tau bahwa mereka harus hemat energi tapi dengan Shakka berada terlalu dekat dengannya, di antara kedua kakinya, Bella terpaksa mengabaikan keran yang terbuka tersebut. “Duduk, gue bilang,” ucap Shakka sambil menahan bahu gadis tersebut saat Bella hendak turun beberapa saat setelah terpaku melihatnya. “Duduk bisa mengurangi tekanan pembuluh darah di hidung lo.” Tanpa merasa perlu minta ijin karena ia akan menyentuhnya, Shakka langsung memencet hidung bangirnya. “Lo mau mati? Bernapas melalui mulut, Bodoh,” ucap Shakka pada Bella yang menahan napasnya. “Kepalanya dimajuin dikit, nanti kalo darahnya masuk ke tenggorokan, lo bisa muntah.” Tapi begitu selesai dengan ucapannya, Shakka yang terdiam karena Bella terlalu maju. Putra Rama itu tidak pernah menyangka bisa sedekat ini dengan seseorang yang dulu setiap hari membuatnya kesal tapi belakangan ia justru ingin Bella kembali berada di sekitarnya. “Gini?” tanya Bella yang suaranya terdengar lucu karena kedua hidungnya tengah dipencet. Lucunya itu beda, Shakka tidak tertawa keras karenanya tapi tersenyum sehingga kedua lesung pipinya terlihat dengan sangat jelas. Bencana bagi Bella karena gadis itu sudah benar-benar tidak tertolong sekarang. Bella meleleh. Gadis itu mencengkeram tembok wastafel yang ia duduki untuk mencegah dirinya sendiri menyentuh lubang kecil pada pipi Shakka. You just got all of me with a single smile. “Apa yang lo lakuin sampai kelelahan begini?” tanya Shakka mencuci tangannya di keran air yang terus mengeluarkan air sejak tadi. Sudah sepuluh menit sejak ia memencet hidung Bella dan Shakka benar-benar kewalahan selama sepuluh menit itu. Kewalahan karena wajah Bella dan mata bulat besarnya yang mengerjap-ngerjap berada terlalu dekat dengannya. “Maaf,” ucap Bella sambil menoleh pada Shakka yang sekarang tengah mencuci tangannya. Gara-gara Bella, tangan cowok itu jadi kotor. “Ambil tas, lo gue antar pulang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN