“Perubahan itu menyakitkan, Ia menyebabkan orang merasa tidak aman, bingung, dan marah.
Orang menginginkan hal seperti sediakala, karena mereka ingin hidup yang mudah”
- Richard Marcinko.
☻☻☻☻☻
Angga mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar cerita Dzakia.
“Lalu apa lagi yang jadi masalahnya, Kia?” tanya Angga kemudian.
“Jujur Mas, keberadaannya dengan segala janjinya itu masih membuat Dzakia trauma untuk menghadapi pria lain.
Tapi begitupun Dzakia nggak nutup kemungkinan kalau seandainya ada pria yang akan melamar Dzakia. Hanya saja untuk menjalin hubungan seperti ta’aruf atau yang lain-lain itu Dzakia belum sanggup. Yang Dzakia inginkan kalaupun harus menikah ya menikah saja.”
“Tapi kan pengenalan itu dibutuhkan Kia…”
Dzakia menggeleng lagi.
“Kalau memang harus ada perkenalan, lebih baik itu diurus sama pihak lelaki saja, Mas. Dzakia, siapapun yang datang, ketika memang dia telah siap untuk menikahi Dzakia, maka Dzakia pun akan siap untuk menikah dengannya.
Untuk perkenalan dan yang lain-lain lebih baik dilakukan setelah menikah saja. Toh kalau memang jodoh tidak kemana.”
“Bukannya itu bakal ngerugiin kamu, Kia?”
Angga menghawatirkan keputusan adiknya itu. Ia takut kalau Dzakia terjebak dalam keputusannya sendiri.
“Tidak akan ada yang dirugikan Mas. Yakinlah. Kan tadi Dzakia sudah bilang, kalau memang ingin mengenal, lebih baik hanya pihak prianya saja yang melakukannya.
Terserah dia mau mencari informasi tentang Dzakia dari mana. Yang jelas ketika berhadapan dengan Dzakia tandanya dia sudah siap untuk menikahi Dzakia. Itu saja.”
Dzakia mengangkat pot bunga di depannya. Kembali menggantungkan bunga yang sudah terlihat indah dan berseri itu.
“Dzakia terlalu takut Mas untuk jatuh ditempat yang sama dikali ketiga. Dzakia nggak berani Mas. Iman Dzakia nggak sekuat itu Mas.” Ucapnya lirih.
Desahan nafasnya terdengar lebih berat.
Angga menatap sendu adik kesayangannya itu. Ia bisa merasakan pedih yang diderita Dzakia walau hanya dari cerita Satria. Diusapnya lembut puncak kepala gadis yang semenjak kepulangannya beberapa bulan lalu selalu tertutup jilbab, rapi. Tak pernah sekalipun ia membukanya, walau itu dihadapan mereka, mahramnya.
“Lalu kalau misalnya ada yang melamar kamu sekarang, apa kamu mau menerimanya?”
Dzakia melirik Angga lagi, “Siapa Mas?” tanyanya langsung.
Angga kembali menarik nafas. “Ada seseorang yang menginginkan kamu untuk menjadi istrinya, Kia.”
Dzakia menaikkan alis matanya, merespon ucapan Angga.
“Hanya saja kekurangannya terlalu banyak.” Sambung Angga.
“Tak ada manusia yang sempurna, Mas. Kalau memang menurut Mas pria itu pantas untuk Dzakia, insyaa Allah Dzakia siap, Mas. Dzakia juga bukan perempuan yang sempurna, Mas. Dosa Dzakia masih lagi berlimpah.”
Angga menatap Dzakia takzim. Kagum atas jawaban diplomatisnya.
“Kalau Dzakia boleh tahu, memang apa kekurangannya, Mas?”
Ragu Angga menjawab pertanyaan adiknya itu. Sampai Dzakia harus mengulang kembali pertanyaannya. Tidak suka dibuat penasaran.
“Ia seorang duda dengan seorang anak Kia…”
Dzakia mengernyitkan dahinya. Sejenak terkejut.
Allah, apakah memang lelaki seperti itu yang pantas untuknya yang bergelimang dosa? Tidakkah Engkau menerima taubat ku? Tidakkah Engkau menerima setiap tangis dalam sujud ku? Allah, jalan ini kah yang harus Hamba lewati?
Angga menatap ragu adiknya itu. Menyentuh pelan bahunya.
“Maukah kamu menerimanya untuk menjadi suami mu, Kia?”
Dzakia tersentak. Masih dengan dahi yang mengernyit.
“Apa Mas rasa lelaki itu pantas untuk Dzakia?”
“Sebenarnya berat buat Mas ngomongin ini ke kamu, Kia. Mas ngerasa kamu layak mendapatkan yang lebih baik dari dia.
Tapi Mas juga tahu betul siapa lelaki ini. Kondisi ini pun nggak pernah terfikirkan dia sebelumnya…” ucapan Angga terhenti. Bingung hendak berkata apa lagi.
Dzakia tersenyum sesaat. Ia tahu abangnya itu takkan pernah mengusulkan sesuatu padanya kalau sesuatu itu tak layak untuknya. Tidak ada seorang abangpun yang sanggup melihat adik perempuan satu-satunya yang dimilikinya tidak bahagia.
“Kalau Dzakia boleh tahu, siapa dia Mas?”
Angga menatap sayu adiknya. “Ibra. Ibrahim Rahman.”
Dzakia kembali mengernyitkan dahinya. Dia tak asing dengan nama itu. Ingatannya kembali pada masa ia masih berusia remaja. Pada seorang lelaki yang selalu datang kerumahnya untuk menghafal qur’an bersama.
Sahabat kental Angga sedari SMA. Lelaki yang diam-diam padanya Dzakia mencuri pandang. Takut sahabat abangnya itu tahu bahwa ia, gadis kecil yang masih duduk dibangku sekolah dasar, menaruh hati padanya.
Lelaki tempat Dzakia menjatuhkan cinta monyetnya. Lelaki yang tak pernah lagi terdengar kabarnya semenjak pernikahan sederhananya berlangsung. Yang bahkan Dzakia tak datang untuk menghadirinya. Ia masih teramat berduka kala itu. Kala ia ditinggal tanpa kabar oleh lelaki yang telah dengan jelas melamarnya pada Satria.
“Maksud Mas, Bang Ibra teman SMA Mas itu?”
Angga menganggukkan kepalanya.
“Bukannya dia sudah menikah Mas? Mas bilang duda? Dia bercerai? Lalu anaknya? Sudah sebesar apa? Apa mereka tidak kasihan dengan anaknya?” cecar Dzakia.
Kali ini Angga menggeleng.
“Jangan su’udzon gitu, Kia.” pinta Angga.
“Jadi?” tanya Dzakia tak mengerti.
“Istrinya meninggal, Kia…”
Dzakia mendekap mulutnya. Berbisik pelan. Mengucap kalimat duka.
“Istrinya kecelakaan dan meninggal dua minggu lalu. Mereka punya satu putra yang bahkan belum genap satu bulan usianya, Kia.
Ibra betul-betul kelimpungan kemarin waktu Mas dan mbak kesana. Mas sarankan dia untuk menikah. Sebenarnya dia berat, teramat berat mengingat Anita bahkan belum ada empat puluh hari meninggalkan mereka. Tapi Rayan nggak mungkin bisa nunggu lama. Bayi itu perlu perawatan dari seorang ibu.”
“Lalu Mas anggap Dzakia sanggup untuk menjadi ibu dari bayi yang Mas bilang bahkan belum genap berusia satu bulan? Itu berat Mas. Berat…”
“Tadinya Mas juga bilang gitu waktu Ibra memintamu untuk jadi istrinya, Kia. Tapi entah kenapa Ibra bilang kamu pasti bisa. Entah lah…”
Dzakia menggeleng. “Dzakia nggak berani Mas. Ini berat buat Dzakia. Dzakia nggak punya pengalaman apapun tentang rumahtangga. Tiba-tiba disodorkan pria dengan satu bayi.” Dzakia menggeleng semakin kuat. “Nggak Mas, nggak…”
“Kia cobalah pertimbangakan, dek. Ibra punya penilaian tersendiri untuk kamu. Kamu tahu itu kan Kia? Bahkan dulu sebelum dia memutuskan untuk pergi, dia sempat menyatakannya ke kamu kan? Kamu nggak lupa saat itu kan?”
Dzakia menggeleng lagi. “Lalu Mas setuju gitu aja? Bukannya dulu Mas begitu menentang Bang Ibra untuk dekat dengan Dzakia?”
“Itu dulu Kia. Sebelum Mas paham bahwa memang Ibra tulus sayang ke kamu. Tapi sekarang kamu pun udah dewasa, dek. Mas berharap yang terbaik buat kamu, juga buat Ibra. Hanya saja Mas takut kamu keberatan dengan status yang disandang Ibra sekarang.”
“Tunggu. Bukannya mereka punya keluarga Mas? Kan bisa saja anaknya diasuh kakek-neneknya?”
Kali ini Angga menggeleng. “Rumit Kia. Mereka bahkan tidak pernah mengakui pernikahan Ibra dengan Anita. Gimana bisa mereka mau ngasuh Rayan. Kasihan Ibra, lebih kasihan lagi Rayan.”
Dzakia terdiam.
“Anita itu muallaf. Keluarga Ibra nggak pernah setuju. Mereka juga nggak mau ngasuh Rayan, Kia. Ngeliat Rayan yang baru lahir aja mereka emmoh, Kia.”
Dzakia menatap Angga tepat dimanik mata. Menggigit bibir. Mengerutkan kening. Menggelengkan kepalanya.
“Kia, Mas mohon kamu fikirkan lamaran Ibra ini, Kia. Kamu sudah cukup dewasa untuk memahami kondisi ini.” Bujuk Angga frustasi.
Dzakia menggigit bibirnya. “Mas, kasihanilah Dzakia, Dzakia benar-benar nggak punya nyali. Nggak punya keberanian.”
“Kamu harus fikirkan tentang Rayan, Kia. Dia butuh seorang ibu dan Ibra yakin kamu yang terbaik.”
Dzakia menundukkan kepalanya. Menghela nafas. “Baiklah Mas, izinkan Dzakia untuk berfikir dulu.”
Angga mengangguk. “Kamu fikirkan lah matang-matang dek.” Pintanya.
Dzakia mengangguk, mencoba paham.
☻☻☻☻☻