Terkadang ada baiknya kita berduka,
Agar terasa betapa gembira pada saatnya kita bersuka
Terkadang ada baiknya kita menangis,
Agar terasa betapa manis pada saatnya kita tertawa
Terkadang ada baiknya kita merana,
Agar terasa betapa bahagia pada saatnya kita bahagia
Dan jika sekarang kita berpisah
Itupun ada baiknya juga
Agar terasa betapa mesra
☻☻☻☻☻
Pras terdiam di kamar tiga kali empat tempatnya mengistirahatkan tubuh. Ponsel di tangannya ia putar-putar, masih menimbang apa yang harus dikatakannya pada Dzakia. Tekadnya sudah bulat untuk membuat jarak pada hubungan mereka. Sakit memang, tapi itulah yang terbaik untuk mencapai keberkahan pada hubungan mereka.
“Assalamu’alaikum Kia…”
“Wa’alaikum salam…” suara disebrang terdengar girang. “Lama banget nelponnya, katanya abis isya.” Tambahnya.
“Ya kan ini masih abis isya, belum abis subuh. Kamu udah isya?”
“Alhamdulillah udah.”
“Kia…..”
“Sayaa…”
Pras diam, bingung mau memulai dari mana.
“Hoy, kok diem?”
“Kia… ada yang mau Pras omongin ke kamu…” suara Pras mulai terdengar berat.
“Ya udah loh, ngomong aja. Tadi juga chat bilangnya gitu kan?”
“Kia, kamu tahu kan kalau Pras bener-bener serius ke kamu?”
“Iya, Kia tahu. Kenapa memangnya Pras?” nada suara Dzakia mulai berubah, mulai menyadari ada sesuatu yang amat krusial yang akan dibicarakan Pras.
“Kia, bagi Pras kamu itu kayak mutiara di dasar laut. Wanita yang Pras benar-benar pengen nikahi. Pengen Pras jadikan ratu dalam rumah tangga Pras. Segala cara Pras coba sampai akhirnya….” Pras menjeda kalimatnya, memberi sela agar Dzakia memahami arah pembicaraan mereka.
“Pras rasa… bukan ta’aruf lagi proses yang kita jalani. Kamu tahu Kia, semua kelembutan kamu, kebaikan kamu, kesederhanaan kamu, kepintaran kamu, kecekatan kamu, semuanya buat Pras benar-benar nggak mau kamu jatuh ditangan laki-laki lain. Jujur, Pras jatuh cinta ke kamu Kia…”
Dzakia diam mendengarkan, mulai merasa aneh. Samar-samar ia mendengar Pras yang berulangkali menghembuskan nafas berat.
“Kalau boleh memilih, rasanya Pras nggak pengen ini terjadi Kia. Tapi Pras juga nggak tahu harus gimana lagi. Ini yang terbaik, ini yang paling baik…”
“Pras… sebenarnya ada apa sih?” tanya Dzakia pelan. Suara Pras terdengar semakin berat.
“Kia… hubungan ini… Pras mau mengakhirinya…” terucap juga kalimat yang sedari tadi ia tak tahu bagaimana cara mengucapkannya.
“Maksud kamu?” suara Dzakia terdengar kaget.
“Rasanya ada yang salah dengan hubungan ini Kia.”
“Kamu mau ninggalin Kia? Kamu mau mutusin ta’aruf kita?”
“Bukan gitu Kia. Pras bukan mau ninggalin Dzakia, hanya saja lebih baik kalau kita kasih jarak pada hubungan kita. Pras ngerasa selama ini kita udah kelewat batas. Udah bukan ta’aruf lagi yang kita jalani. Semuanya karena keegoisan Pras sendiri.”
“Sama aja Pras!” bantah Dzakia. “Artinya tetap aja Pras mau ninggalin Dzakia kan? Setelah semua yang udah kita lewatin sama-sama, kamu mau ninggalin Kia? Kenapa Pras? Kia salah apa?” tanyanya tak terima.
“Enggak, Dzakia nggak salah apa-apa, Kia..”
“Kalau gitu kenapa? Pras udah ketemu perempuan lain yang siap untuk nikah dengan Pras? Iya? Kalau itu masalahnya, ya udah Pras, Kia siap kok, Dzakia siap…” teriak Dzakia dalam sela tangisnya.
Pras menutup wajahnya, “Kia, tenang dulu Kia. Istigfar! Pras juga nggak sanggup ngomongin ini, Kia. tapi ini yang terbaik buat kita…”
Dzakia terisak, “Berarti bener kan? Udah ada perempuan lain kan Pras? Siapa Pras, siapa perempuan itu Pras?”
“Bukan Kia, bukan gitu! Gak ada perempuan lain diantara kita. Cuma kamu. Perempuan yang Pras sayang itu ya cuma kamu, Dzakia Ananda Putri...."
Pras menjeda lagi kalimatnya, ingin Dzakia lebih meresapi lagi apa yang ingin ia katakan, "Tapi rasa ini belum pantas Kia. Pras cuma pengen hubungan kita lebih berkah lagi. Pras berharap, mudah-mudahan jarak ini buat hubungan kita lebih berkah.”
“Kamu jahat…” ujar Dzakia lirih.
“Maafin Pras kalau Pras jahat, Kia. Tapi ini yang terbaik buat kita Kia. Satu hal yang kamu harus ingat Kia. Andaipun Allah mempertemukan kita satu abad lagi, Pras janji, Pras bakal datang buat ngelamar Dzakia!”
“Kamu jahat. Kamu tega buat Dzakia kayak gini.”
“Kia, Pras mohon. Kamu bisa pegang janji ini. Allah dan Rasul yang jadi saksinya, Kia!”
“Pras b******k!” desis Dzakia.
“Kia!!” bentak Pras refleks. Terkejut dengan kata-kata yang dilontarkan Dzakia.
“Iya, Kamu b******k. Kamu tega ninggalin Kia.”
“Enggak Kia! Kan Pras udah bilang, ini sementara Kia. Kamu bisa pegang janji ini.”
“Buktiin kalau kamu nggak breksek baru Kia percaya!” tantang Dzakia dengan suara parau.
“Oke! Pras buktiin!”
“Apa? Pakai apa?”
“Pras buktiin kalau Pras pasti nikahin Dzakia!”
“Oke! Buktiin kalimatmu itu, Pras! Buktiin kalau kamu nggak b******k!”
“Kia, yang Pras mau cuma hubungan kita lebih berkah lagi. Diridhoi Allah.” Pras mencoba melembut.
“Pras siap?” tanya Dzakia ragu.
“Kesiapan itu dimulai dari ketidak siapan, Kia. Suka nggak suka, mau nggak mau, demi ridho Allah, kita harus bisa. Pras yakin Kia juga bisa kok.”
“Tapi kita masih bisa sekedar nanya kabar kan? Kalau ketemu di kampus masih bisa saling sapa kan?” isaknya terdengar lagi.
Pras terdiam sesaat, berfikir.
“Insya Allah bisa, Kia. Kan buat jarak nggak bisa instan, Kia. Biar waktu yang bantu.”
“Janji kan Pras bakal datang?”
“Insya Allah. Pras buktiin ke kamu kalau Pras nggak b******k kayak yang kamu bilang.”
“Jangan bohong ya.”
“Iya Kia, insya Allah. Ya udah, kalau gitu Pras tutup telponnya ya. Kamu jaga kesehatan.”
“Iya Pras…”
“Kia, ini untuk yang terakhir kalinya sebelum Pras datang untuk melamarmu nanti, kamu harus ingat, Pras sayang kamu. Pedih adalah obat yang harus kita telan, sakit adalah tebusan untuk bahagia. Ini semua untuk kebaikan kita. Pras janji bakal datang. Pras tutup ya, Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam, Kia juga sayang Pras…” ujar Dzakia sebelum menutup teleponnya. Tangisnya masih terdengar.
Pras menutup teleponnya. Meraup wajahnya, mendesah lega. Berharap agar semua berjalan lancar dan ridho Allah menyertainya. Semua demi kebaikan mereka, demi kesucian perasaan yang telah Allah titipkan pada mereka.
☻☻☻☻☻