Jika bertemu denganmu adalah takdir Tuhan,
Dan berteman denganmu adalah pilihan,
Maka jatuh cinta padamu bukanlah sesuatu yang aku rencanakan
☻☻☻☻☻
“Gimana skripsi kamu, Kia?” tanya papa ketika mereka menikmati sarapan pagi di kebun belakang rumah.
“Ya begitu lah Pa. Kia kena peraturan baru, tiga bulan lagi baru bisa sidang.”
“Matakuliah kamu yang tertinggal kemarin itu gimana?” tanya Satria.
“Alhamdulillah nggak ada masalah. Bukan tertinggal ternyata, karena seingat Kia mata kuliah itu udah pernah Kia ambil, tapi pihak kampus yang khilaf nggak masukin nilainya ke lembar hasil studi Kia.”
“Jadi gimana?”
“Ya itu tadi, Alhamdulillah dosennya punya pertinggal daftar nilai, jadi ya tinggal urus ke pusat komputer. Beres deh…”
“Alhamdulillah. Penelitian juga udah beres kan sayang?” tanya istri Angga.
“Alhamdulillah udah mbak. Ya ini tinggal nunggu masa penelitiannya selesai. Tata usaha kampus bilang masih prematur.”
“Lah kok bisa?”
“Panjang banget ceritanya mbak. Bisa-bisa nambah kuah di sayur mama kalau Kia certain sekarang,” canda Dzakia menjawab pertanyaan wanita yang tengah mengandung dua bulan itu.
“Kamu ini memanglah. Ditanyain serius malah dibecandain mbaknya.”
Dzakia tertawa geli. “Jadi kamu batal wisuda dong Kia?” tanya Satria penasaran.
“Insyaa Allah jadi, cuma mundur bulan aja, Mas. Tetap tahun ini, tapi bulan sepuluh,” jawab Dzakia dengan nada sedikit kecewa bercampur kesal.
“Yang sabar sayang,” hibur Mama. “Pasti ada hikmahnya,” lanjutnya.
Dzakia mengangguk. “Eh, kemarin kamu penelitian dimana Kia?” tanya Angga.
“Di sekolahnya Mas Satria. Nepotisme dikit kan nggak apa. Ya kan Mas?” lirik Dzakia pada Satria yang tengah memindahkan sayur ke piringnya.
“Ya begitulah pak dokter, alhamdulillahnya kualitas saudari Dzakia memadai, jadi saya bisa saja menerimanya untuk melakukan penelitian di sekolah kami,” canda Satria.
“Ehm Bapak Satria Darmawan, bapak tidak perlu meragukan kualitas saya. Kualitas saya telah dibuktikan dengan nilai A dari hasil praktek pengalaman lapangan saya kok.”
“Yee, itu mah semuanya kali Kia dapat nilai A,” ejek Angga.
“Mas Angga ini ih. Anggap aja lah cuma Kia yang dapat A. Biar bangga gitu ceritanya ada indeks prestasi yang empat walau cuma satu semester,” gerutu Dzakia yang disambut tawa keluarganya.
“Iya deh, iya. Yang lain pura-pura nggak denger ya yang Mas bilang tadi. Anggap Mas nggak pernah ngomong yaaaa…..” Angga masih melanjutkan ejekannya.
“Jadi Mbak ecek-eceknya tanya lah ya Kia. Wah jadi dapat IP berapa Kia semester kemarin?” tambah Citra menimpali ejekan suaminya.
“Kia dapat IP empat loh Mbak. Hebat kaaaannnn…” Jawab Dzakia dengan muka yang dibuat berseri-seri.
“Aduh, luar biasa banget adik Mbak yang satu ini. Ih, Mbak aja nggak pernah loh Kia dapat IP sempurna kayak gitu,” tambah wanita cantik itu.
“Iiihhh, kasihan Mbak yaaaaaa…..” balas Dzakia mengejeknya.
“Kurang asem kamu Kia,” celetuk Angga mendengar jawaban Dzakia.
“Abisnya kalian puas banget ngeledeknya. Mbak lagi, Mas Angga ngeledek Kia malah ditambah ngeledek juga.” Cecar Dzakia dengan muncungnya yang memanyun.
“Itu namanya istri yang berbakti Kia, nurut suami. Suaminya baik, istrinya baik juga, suami ngeledekin kamu, ya istrinya ikutan ngeledekin kamu,” canda Citra dengan wajah serius.
“Aduh sayang, kamu bener-bener istri yang shalehah deh. Ngegemesin banget. Lain kali diulangi ya, biar makin cinta Mas mu ini,” puji Angga pada istrinya yang membuat tawa keluarga kembali pecah.
“Udah-udah, kalian ini memang lah. Nggak pernah bosen kalau ngerjain Dzakia. Ayo makan dulu, selepas ini kita ngerumput bareng,” rerai mama.
“Lah bukannya ini kita lagi ngerumput ya ma?” ledek papa sambil menunjuk tumis kangkung sambal hijau yang tersedia di meja makan mereka.
Seluruh keluargapun langsung bertukar pandang sesaat, lalu tertawa melihat tingkah Papa yang mencoba untuk bercanda itu.
☻☻☻☻☻
“Kia, apa jawaban kamu soal pertanyaan Mas kemarin?” tanya Angga sambil menyeruput tehnya.
“Pertanyaan yang mana Mas??” tanya Dzakia yang asyik menyemprot daun-daun bunga kesayangan mama.
“Tentang kesiapan kamu untuk menikah itu. Kamu memang belum kefikiran untuk menikah?” ulang Angga.
Dzakia menarik nafas dalam-dalam. “Bukan Kia belum kefikiran Mas. Bahkan niatan untuk nikah udah ada dari dulu. Mas tahu itu kan.”
Angga menganggukkan kepalanya. Memahami maksud kata adiknya.
“Tapi untuk sekarang ini, entah kenapa Kia seakan menomor duakan hal itu Mas. Kuliah juga belum kelar, entaran aja deh kayaknya,”
“Lha, kok gitu sih Kia?” tanya Angga sambil mengerutkan keningnya.
Dzakia menaikkan bahunya, “Gak tahu sih Mas, rasanya kabur aja. Belum lagi tentang Rasyid. Mas udah tahu kan tentang Rasyid? Mas Satria pasti udah cerita kan?”
Angga mengangguk lagi. “Dia laki-laki yang buat kamu kacau itu kan?”
Dzakia balas mengangguk. “Tidak sepenuhnya salah dia, Mas. Kia juga yang terlalu bodoh sehingga mengorbankan hidup Kia sendiri.”
Lagi-lagi, ingatan itu menerobos keluar dari tempatnya…
☻☻☻☻☻
Malam itu, Rasyid dan Dzakia keluar untuk mencari makan berdua. Hanya mereka berdua, tanpa ekor-ekor yang selalu ingin tahu. Rika, Meisya dan Anya paham dan sengaja membiarkan mereka berdua pergi dan melarang Jodi dan Vino yang biasanya usil ingin menguntit.
“Hobby banget makan sate,” ujar Dzakia ketika melihat Rasyid memesan sepiring sate saat mereka sudah memilih tempat dan duduk disebuah warung makan lesehan.
“Emang makanan favorit sih.” Jawab Rasyid.
“Enggak baik loh sering-sering makan sate.”
“Iya tahu. Karena nguras dompet kan?” ujarnya mencoba bercanda.
“Ih, bukan loh. Ada alasan ilmiahnya juga kok.” Sergah Dzakia. Berbicara dengan Rasyid memang selalu butuh penjelasan ilmiah dan logis agar ia mau menerima apa yang dibicarakan.
Rasyid menaikkan alisnya. “Apa?”
“Ehm….” Dzakia berdeham sesaat.
“Daging buat sate itu kan langsung dimasak pakai api. Maksudnya kena api langsung tuh. Nah, ini bakal ngubah protein secara kimia. Masa anak kimia nggak tahu.”
Rasyid mengangguk-angguk, meraba beberapa helai rambut yang ada didagunya. Dzakia melanjutkan perkataannya lagi.
“Nah diproses ini, bakal terbentuk zat penyebab kanker. Kalau nggak salah ingat namanya benzopren,” Dzakia mencoba mengingat-ingat.
“Benzopiren Kia…” Rasyid mengoreksi.
“Ah iya, benzopiren. Zat ini kalau nggak salah ada dibeberapa makanan, terutama yang gosong karena kena api langsung. Ya kayak sate gitu.”
Rasyid kembali mengangguk-angguk.
“Eh, Rasyid kok tau namanya benzopiren?” tanya Dzakia sedikit curiga melihat Rasyid yang hanya mengangguk menanggapi perkataannya sedari tadi.
Rasyid tersenyum, rasanya sebentar lagi akan ada sesuatu yang melayang kearahnya. “Benzopiren itu kan ada di tubuh kita, berikatan sama DNA, bisa ngubah sifat DNA sampe akhirnya fungsi sama pertumbuhan DNA nggak terkendali, itu yang jadi penyebab kanker. Kalau soal makanan yang dibakar, sebenarnya … udah tahu juga sih,” Rasyid terkekeh pelan.
“RASYIIIIDDDD!!!” teriak Dzakia sambil melemparkan selada dipiring nasi gorengnya kearah Rasyid. Untung dapat ditangkap Rasyid dengan sempurna.
“Hush, hush. Suara, suara..”
“Abis kamu sih. Udah tahu tapi Kia dimainin kayak gitu. Jadi berasa sok pintar awak lah.” Sungut Dzakia.
“Kia emang pinter kok. Itu buktinya tahu.” Rasyid mencoba menghibur Dzakia. “Rasyid cuma ngetes Kia aja kok. Ternyata emang beneran pinter. Saya nggak salah pilih,” sambungnya bercanda.
“Udah tahu nggak baik tapi masih juga dikonsumsi sering-sering.” Ujar Dzakia masih dengan sungut dibibirnya.
“Namanya suka. Tapi nggak apa loh, Kia. Asal makannya diselingi sama sayur, apa lagi sama selada yang kamu lemparkan, pasti makin nggak apa,” ledek Rasyid sambil mengibaskan selada yang dilempar Dzakia kearahnya tadi.
“Huh, memanglah si kakek ke-pe-de-an. Sok kecakepan,”
“Emang cakep, buktinya banyak yang naksir,”
“Siapa juga yang naksir kakek-kakek botak kayak Rasyid,” ejek Dzakia.
“Lah, kamu!” celetuk Rasyid.
“Yee, saya mah terpaksa Pak! Daripada si bapak nangis karna lamarannya saya tolak,” ejek Dzakia lagi.
“Nah loh, ngungkit masa silam dianya kaaaann. Padahal sekarang dia yang sering banget ngerep kalo Rasyid telat ngasih kabar..” keluh Rasyid.
Dzakia tekekeh geli. Sadar akan kebenaran dari ucapan Rasyid.
☻☻☻☻☻