Edgar kembali di Indonesia, kali ini dia ingin serius menjalani perannya sebagai penjaga Asmara dan anaknya. Jika memang nantinya Asmara akan menjadi Nyonya Ar Madin, bukankah dia harus disiapkan mulai dari sekarang.
Edgar memilih menyewa rumah yang dekat dengan Asmara dan bisa memantau kesehariannya langsung secara maksimal. Edgar mempelajari profil perusahaan tempatnya bekerja dan memutuskan untuk menjalin hubungan professional sehingga dia bisa 24 jam tahu kegiatan Asmara.
Konsep Edgar ini dia diskusikan dengan Dika dan Rasyid. Jika Dika terkejut dengan cara Edgar namun berbeda dengan Rasyid yang merasa puas dengan apa yang Edgar lakukan.
“Tapi ini tidak mungkin instan Bos, membutuhkan dana yang tak sedikit pula,” ucap Edgar dan Rasyid berdecak mendengarnya.
“Dirikan saja satu perusahaan terserah apa namanya dan buat perusahaan itu bekerja sama dengan kita, anggap aja perusahaan itu sebagai hadiah dariku atas kerja kerasmu selama ini,” ucap Rasyid.
Edgar menggeleng tapi dia menyadari jika bosnya tak bisa melihatnya. “Tidak perlu seperti itu Bos, cukup berikan saja ijinmu untuk kondisi ini,” kata Edgar tapi Rasyid tetap tak masalah dan mengatakan hal yang masuk akal.
“Jika dia tahu perusahaan itu milikku maka dia tak akan mau bekerja sama dengannya,” kata Rasyid yang membuat Edgar akhirnya setuju dengan pemberian Rasyid.
Edgar bekerja keras untuk mewujudkan apa yang sudah dia rencakan. Tiga bulan kemudian dia sudah menyiapkan proposal dan mengajukan kepada perusahaan tempat Asmara bekerja untuk ditinjau.
Di luar itu, Edgar sudah melakukan pengamatan dan dia menyadari jika Dev kembali pada Asmara. Edgar menyelidiki semua itu melalui anak buahnya yang ada di Semarang. Karena terakhir kali sebelum dia kembali ke Indnesia, Rasyid berpesan jika Asmara sudah tahu jika suaminya selingkuh, tapi sekarang dia melihat keduanya kembali tinggal dalam satu rumah.
“Apa dia memaafkan suaminya? Karena selingkuhannya di Semarang pun sudah lama tak dia kunjungi lagi,” gumam Edgar. Keesokan paginya Edgar memutuskan untuk olahraga di dekat rumah Asmara untuk tahu apa yang terjadi tapi sayangnya dia tak menemukan hal yang berarti.
“Sepertinya dia tipe orang yang menjaga aib rumah tangganya, tak ada satupun hal buruk terdengar di luar,” lirih Edgar dengan napas ngos ngosan.
“Kesempatanku tinggal masalah proyek itu,” kata Edgar yang akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana.
Beberapa hari setelah itu, dia mendapatkan kabar soal proyeknya dan dari perusahaan mencantumkan pic yang mewakili mereka. Edgar membaca nama itu dan nama Asmara muncul di sana. Edgar bersorak karena hal itu, akhirnya usahanya selama ini tak sia-sia.
Edgar melakukan kontak melalui email dengan Asmara untuk membahas masalah pekerjaan. Sampai akhirnya Edgar memberanikan diri untuk meminta nomor ponsel Asmara dan Asmara memberinya tanpa ragu karena dia berpikir ini urusan bisnis.
Edgar. [Malam Ibu Asmara, saya Edgar dari Altrac Company. Jika tidak keberatan Ibu bisa save nomor saya.]
Beberapa menit Edgar menunggu tak ada balasan dan dia hanya bisa menghela napas menunggunya. Dan pesan itu baru dibalas keesokan harinya di jam kerja.
Asmara [Baik Pak Edgar, terima kasih informasinya.]
Edgar menjambak rambutnya, “Astaga dia professional sekali sampai aku mengirim pesan malam hari saja baru dibalas tepat saat jam kerja,” gerutu Edgar yang selama ini tak pernah dia lakukan.
Semakin hari Edgar makin kagum dengan sosok Asmara. Dia benar-benar tak menyangka ada wanita secekatan Asmara. Dengan keyakinan penuh Edgar mengajak Asmara makan siang bersama untuk mulai ke langkah selanjutnya yaitu terlibat dalam urusan pribadinya.
Edgar [Apa besok siang Ibu bisa meluangkan jadwal ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan langsung dengan Ibu dan kita bisa makan siang bersama setelahnya.]
Beberapa menit menunggu akhirnya jawaban Asmara muncul di ponselnya.
Asmara [Sure, dimana tempatnya Pak?]
Edgar membalasnya dan menyebutkan satu nama restoran yang menurutnya cocok untuk pertemuan kali ini dan Asmara menyetujuinya.
Hari pertemuan itu tiba, Edgar datang tiga puluh menit lebih cepet dan entah apa yang dia rasakan kali ini. Ada satu detak tak biasa yang muncul dalam dirinya, bahkan selama 30 menit menunggu Asmara dia sampai menghabiskan dua gelas minum untuk meredakan ketegangannya.
“Selamat siang Pak Edgar, maaf jika saya terlambat,” suara merdu itu masuk ke pendengaran Edgar membuatnya menoleh dan langsung berdiri.
“Ah, Ibu Asmara, selamat datang,” reflek dia menunduk menunduk hormat membuat Asmara bingung sampai memundurkan langkahnya.
“Tidak perlu seperti ini Pak,” balas Asmara membuat kesadaran Edgar kembali dan dia mengangguk untuk meredakan rasa malu dan ketegangannya.
Edgar mempersilahkan Asmara untuk duduk dan menyodorkan menu untuk pesan makanan. “Sepertinya saya perlu merubah panggilan saya kepada Ibu jika tahu aslinya Anda seperti ini,” ucap Edgar dengan debaran jantung yang membuatnya kesal tapi harus tetap senyum di hadapan Asmara.
Asmara tergelak pelan membuat mata Edgar mengunci tawa itu dan merekamnya dalam memorinya. ‘Astaga, aku paham kenapa Bos Rasyid jadi gila karena wanita ini, dia memiliki pesona yang tak biasa dan senyuman yang membuat kita kaum lelaki lupa segalanya,’ batin Edgar dengan jantung makin berdebar.
“Saya sudah biasa dipanggil Ibu, Pak. Lagipula saya memang seorang ibu kok,” jawab Asmara dengan nada bercanda. “Benarkah? Tapi Anda terlihat masih muda dan lebih cocok dipanggil Nona bagi saya,” balas Edgar.
Asmara tersenyum simpul membuat Edgar menahan napas. “Bebas deh, Bapak mau panggil saya apa yang penting sopan,” kata Asmara ceria.
Tak lama pesanan makanan mereka datang membuat pembicaraan mereka terhenti seketika. Edgar masih berusaha untuk menggali informasi lebih jauh soal Asmara. Baginya ini pekerjaan yang tidak mudah karena selama bertugas baru kali ini dia terlibat obrolan dengan seorang wanita secara personal.
“So, Nona seorang ibu dari anak lelaki atau perempuan?” tanya Edgar memecah keheningan mereka. “Anak saya lelaki Pak baru berumur 6 bulan,” sahut Asmara dan Edgar mengangguk paham.
“Masa itu, masa lucu-lucunya ya, pasti berat meninggalkan dia seorang diri hanya dengan pengasuh,” kata Edgar berusaha memahami perasaan itu.
Asmara mengangguk dan dia nambah antusias menceritakan anak lelakinya. Poin ini membuat Edgar paham topik apa yang disenangi oleh Asmara selain soal pekerjaan.
Setelah mereka menyelesaikan makan siang, barulah mereka membicarakan soal pekerjaan. Dari pandangan Edgar, Asmara memang wanita yang pintar dan memiliki komunikasi yang baik. Cepat tanggap, terus terang, efektif dan efisien dalam bekerja. Sejauh ini dia bekerja sama dengan beberapa rekan wanita, baginya Asmara yang patut diacungi jempol dalam hal ini.
Mereka berpisah setelah hampir dua jam membahas urusan pekerjaan, saat Edgar keluar ke parkiran dia melihat Asmara masih ada di sana.
“Nona Asmara, mari saya antar,” ajak Edgar ramah. Asmara diam sebentar dan dia melihat jam tangannya.
“Apa tidak merepotkan Pak? Kan kita tidak searah,” tanya Asmara dan Edgar menggeleng. “Setelah ini saya sudah free jadi saya bisa mengantar Nona dulu, daripada Nona menunggu lama di sini,” usul Edgar.
Akhirnya Asmara mengikuti saran Edgar dan naik ke mobil. “Maaf ya Pak jadi ngerepotin,” kata Asmara sungkan. Edgar tersenyum simpul, “No problem, meninggalkan Nona sendirian malah membuat saya merasa bersalah,” kata Edgar santai membuat Asmara tertawa.
“Suami Nona pasti lelaki yang beruntung ya memiliki Anda sebagai istrinya,” ucap Edgar tiba-tiba membuat Asmara menghentikan tawanya dan menatap Edgar.
“Kenapa Bapak mengatakan hal itu?” tanya Asmara tak mengerti. Edgar hanya mengangkat bahu dan tak lama tersenyum.
“Ada banyak tipe wanita di dunia ini, sebagian besar mereka berusaha untuk tampil cantik di hadapan orang lain bahkan tak jarang sampai menutupi aib dan keburukannya sendiri demi mendapatkan pujian sempurna dari orang lain,” kata Edgar.
Asmara masih diam mendengarkan.
“Tapi mereka tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan itu membuat orang lain enggan berteman atau menjalin hubungan dengan tulus. Numpang popular, numpang tenar juga atau mungkin hanya batu loncatan untuk mendapatkan yang lebih,” lanjut Edgar.
“Sebenarnya apa yang ingin Anda sampaikan?” tanya Asmara yang memang tak mengerti.
Edgar terkekeh, “Saya tidak berhak mengatakan apapun kepada Anda Nona, tapi ada orang lain yang sudah membuktikan bagaimana kepribadian Anda yang sebenarnya dan kali ini saya percaya hal itu,” ucapnya.
“Orang lain? Siapa? Apa aku mengenalnya?” tanya Asmara penasaran.
Asmara nampak diam dan Edgar hanya menunggu apa yang ingin Asmara ucapkan.
“Nona Asmara, kita sudah sampai,” ucap Edgar membuat Asmara kaget dan merasa tak enak. “Maaf Pak saya tidak tahu,” katanya pelan.
Edgar mengerutkan dahinya, “Apa yang tidak tahu?” tanya Edgar ga mengerti.
Asmara menggigit bibiirnya pelan sambil menatap Edgar membuat jantung pria itu berdebar dan ada sesuatu yang tak pernah dia pikirkan akan berontak dalam dirinya.
‘Astaga kenapa dia malah berpose seperti itu. Dia benar-benar membuat imanku goyah,’ batin Edgar sembari mengusap wajahnya kasar dan berkali-kali menghirup napas untuk meredakan gejolak dalam dirinya.
“Saya ga tahu siapa orang yang Bapak maksud, mudah-mudahan yang orang itu bilang mengenai diri saya itu yang baik ya bukan yang buruk,” cicitnya pelan.
“Terima kasih tumpangannya Pak Edgar, senang bertemu dengan Anda,” ucap Asmara sambil melepaskan seat beltnya dan membuka pintu.
Edgar menurunkan kaca jendela dan Asmara tersenyum ramah. “Hati-hati di jalan Pak, sampai bertemu kembali di lain kesempatan,” kata Asmara dan dia meninggalkan Edgar begitu saja.
“Edgar, Edgar sadarlah, kamu tidak akan bisa memilikinya sampai kapanpun. Ingat dia milik Bosmu, Bosmu orang yang sudah memberimu kehidupan baru,” kata Edgar memukul-mukul kepalanya keras.
Dia melajukan mobilnya dengan cepat dan beberapa menit kemudian dia melihat ada mini market membuatnya ingin berhenti dan membeli minuman dingin.
Dia membawa tiga macam minuman dingin dan berharap isi otak dan hatinya yang panas bisa diminimalisir. Dia duduk di belakang kemudi sambil menegak minumannya dengan bayang-bayang harinya beberapa jam lalu bersama Asmara.
Dering ponselnya membuyarkan lamunannya dan melihat nama Dika di sana. “Yes Bang, ada apa?” sapa Edgar dan dia mendengar Dika menanyakan beberapa hal mengenai Rasyid yang dia belum tahu. Edgar menjawabnya dengan yakin dan cepat.
“Kamu beneran kerja sama Asmara?” tanya Dika kemudian yang mendadak membuat Edgar sedikit panik. “Iya kenapa memangnya?” tanya Edgar balik.
Dika menghela napas, “Cuma penasaran aja sih, apa bener wanita itu sehebat itu seperti yang Rasyid ceritakan. Ga tau kenapa aku kok masih ga yakin dengan apa yang Rasyid katakan,” keluh Dika.
Ada gelitik rasa kesal bagi Edgar mendengar ucapan Dika itu. “Sejauh ini aku bersama Asmara dan mengawasi apa yang dia lakukan, hampir semuanya itu benar. Dia pekerja keras, cepat tanggap, mampu beradaptasi dengan baik, kapan dia waktu bekerja dan bercanda dan bisa menempatkan dirinya dimana saja,” jelas Edgar panjang lebar.
“Selain itu yang lebih penting, dia bukan tipe wanita yang mudah tergoda dengan kalangan pria manapun bahkan pria yang dekat dengannya. Benar-benar wanita yang menjaga kehormatannya,” lanjut Edgar dengan napas memburu.
Dika yang mendengar itu mengerutkan dahinya dan memberikan komentar yang menusuk.
“Kenapa nada bicaramu seakan kamu orang terdekatnya.”
******