Chapter 2

940 Kata
Namun itu belum cukup. Jauh dari cukup. Ratih menginginkan lebih. Dia tahu dia tidak bisa melakukannya, tetapi tubuhnya dengan patuh melekat pada lelaki itu. Pria itu menarik napas dalam-dalam, mengangkat tubuhnya yang terbakar, dan berjalan keluar pintu. Tak lama kemudian, ia berjalan menuju hotel bintang lima di seberang jalan. “Tengku Ammar.” Resepsionis dan petugas keamanan hotel membungkuk ketika mereka melihatnya. Pria itu tidak mengatakan sepatah kata pun dan membawanya ke dalam lift lagi. Di kamar presidensial hotel, lampu redup dan bayangan saling bertautan. Ratih tersentak. Pria itu menekannya ke pintu. Begitu pintu tertutup, dia tahu apa yang akan terjadi. Dia seharusnya menolak dan segera melarikan diri, tetapi tubuhnya tidak mau mendengarkannya. Tanpa menunggu laki-laki itu melakukan sesuatu, dia mencondongkan tubuh ke depan, berjinjit dan mencium bibir indah pria itu. Pria itu tercengang. Dia tidak menyangka wanita itu akan bersikap begitu proaktif. Matanya menjadi gelap. Dia memegang pinggangnya dengan satu tangan dan mengangkatnya sedikit, hampir menelannya dengan ciuman penuh gairah. Tangannya yang besar tak kuasa menahan diri untuk meluncur naik turun di pinggang rampingnya. Ratih merasa seakan-akan seluruh tubuhnya terbakar. Telapak tangannya memiliki sifat iblis. Ke mana pun telapak tangannya bergerak, seolah-olah dia sedang dibakar oleh api yang berkobar, membakar kulitnya. Namun itu belum cukup. Jauh dari cukup. Tanpa sadar ia mengusap-usap tubuh lelaki itu dan merengek karena rasa tidak nyaman itu. Pria itu mundur selangkah dan menjauhkan diri darinya. Ia menatap matanya dan bertanya, "Aku akan memberimu satu kesempatan terakhir. Tahukah kau apa yang akan terjadi selanjutnya? Belum terlambat untuk menyesalinya." Tanpa pria yang bisa diandalkan, Ratih merasa makin tidak nyaman. Tubuhnya terasa seperti digigit semut. Dia tidak sabar untuk menemukan sesuatu yang bisa membuatnya merasa nyaman. Sekali lagi ia berpegangan erat pada tubuh pria itu, Ratih berinisiatif memegang pinggang rampingnya dan mengusap dagunya seperti anak kucing yang malas. "Tolong selamatkan saya." Mata pria itu menjadi gelap dan dia tidak ragu lagi. Dia membantingnya dengan keras ke pintu dan membungkam bibir merahnya, menelan semua erangan lembutnya ke dalam mulutnya. Ciuman penuh gairah itu menerjangnya bagai badai, membuatnya tak dapat memikirkan apa pun lagi. Suasana ambigu di dalam kamar menjadi semakin intens. Ketika mereka terjerat di tempat tidur, pakaian Ratih sudah terlepas semua. d**a panas pria itu menekannya, membuatnya akhirnya merasakan sedikit bahaya. Dia mulai menggeliat gelisah. Ratih mencoba membuka matanya, mencoba melihat segalanya dengan jelas. Namun detik berikutnya, rasa sakit yang menusuk datang, membuatnya menggigit bahu pria itu. "Sakit …" Lelaki itu mengernyit pelan, dan rona merah di wajah tampannya makin lama makin pekat. Ia menatap wanita kecil yang menangis di pelukannya dengan heran. Ia tidak menyangka akan seperti ini. Namun, hatinya dipenuhi dengan kegembiraan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Ia tahu bahwa wanita ini akan kesakitan, tetapi ia tidak dapat mengendalikan dirinya. Malam masih panjang, dan suasana ambigu berlanjut. Pagi hari, Ratih membuka matanya dengan berat. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengangkat lengannya untuk menghalangi silau sejenak sebelum perlahan-lahan mulai sadar. Ada langit-langit yang tidak dikenalnya di atas kepalanya dan ruangan itu dipenuhi aroma yang tidak dikenalnya. Otak Ratih membeku sesaat. Dia bergerak sedikit, dan tubuh bagian bawahnya terasa seperti dirobek dan di remukkan. Dia tertegun saat kejadian semalam terlintas dalam pikirannya. Majikannya memberinya alkohol, mendorongnya ke pelukan seorang pria yang tidak dikenalnya, lalu dia berlari keluar, lalu... lalu terjadilah kekacauan yang tak terkendali. d**a pria itu terasa sangat panas. Suara percikan air datang dari kamar mandi, dan Ratih segera tersadar dari keterkejutannya. Dia segera membalikkan tubuhnya untuk melihat ke kamar mandi. Memang, melalui pintu kaca mengilap, dia samar-samar dapat melihat sosok ramping. Pria itu … ternyata masih di sini. Hati Ratih kacau. Dia buru-buru mengangkat selimut dan menggertakkan giginya untuk bangun dari tempat tidur. Ketika dia melihat pakaian berserakan di lantai, dia merasa kesal lagi. Mengabaikan rasa sakitnya, dia mengambil pakaian itu satu demi satu dan menggertakkan giginya untuk mengenakannya. Dengan suara keras, pintu kamar mandi terbuka dan lelaki itu keluar sambil berlumuran air. Tangan Ratih membeku, dan dia segera menarik selimut menutupi tubuhnya. "Kamu sudah bangun. Kamu mau mandi?" tanya pria itu dengan suara berat yang dingin. Suaranya sangat menyenangkan, agak dalam dan memikat. Seperti bunyi selo yang memetik hati nurani seseorang. Namun, Ratih tidak berani menoleh untuk menatapnya. Dengan punggung menghadapnya, dia sangat gugup hingga telapak tangannya berkeringat. Apa yang harus dia lakukan? Dia tidak tahu siapa pria ini. Dalam situasi kemarin. selain dari potongan ingatan berantakan itu, dia bahkan tidak ingat seperti apa rupa pria itu. Dia tidak berani berbalik, dan pria itu berjalan di depannya. Tubuhnya yang tinggi dan ramping terbungkus jubah mandi putih yang diikat longgar di pinggangnya, memperlihatkan otot-otot dadanya yang kuat. Sungguh menggoda. Dia duduk di sofa di seberang Ratih, menyilangkan kakinya dengan elegan, dan meletakkan lengannya di kedua sisi sofa. Dia menatapnya dengan mata gelapnya, dan tidak ada emosi di wajahnya yang dingin. Namun, dia berkata dengan acuh tak acuh, "Mari kita bicara!" “Bicara… tentang apa?” ​​Ratih bertanya dengan rasa bersalah. Meski dialah yang dimanfaatkan, bukan berarti dia tidak ingat kalau dialah yang mengganggu lelaki itu duluan kemarin malam. Melirik sekilas ke arah pria itu, Ratih merasa semakin bersalah. Pria ini benar-benar tampan. Wajahnya sangat tampan, dan matanya yang sebening air itu seperti pedang, dalam dan tajam. Dengan pengalaman kerjanya selama dua tahun di negeri orang sebagai TKW, sekilas dia bisa tahu bahwa pria ini bukanlah orang biasa. Adapun apa yang terjadi kemarin … dari sudut pandang mana pun, sepertinya dia telah memanfaatkannya. Kalau tidak, orang ini tidak akan tinggal diam. Setelah diperlakukan sebagai penawar racun gratis, dia tentu saja harus tinggal untuk meminta penjelasan. Dia hanya tidak tahu bagaimana cara melunasi hutangnya. "Apakah ini pertama kalinya bagimu?" tanya pria itu perlahan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN