Arini menatap sendu ke arah ibunya yang sedang terbaring sakit di atas pembaringan, di kontrakan mereka yang sempit. Di hadapan ibunya, Arini 20 tahun, berusaha menahan air matanya agar tidak menetes. Ranti, 56 tahun ibu Arini, meraih jemari Arini dan meminta nya untuk mendekat.
Arini menundukkan wajahnya, hingga sejajar dengan wajah ibunya. Dengan suara lirih dan terbata Ranti mengucapkan pesan terakhirnya untuk sang putri yang telah mengorbankan masa mudanya untuk merawat dirinya yang sakit-sakitan dan menyekolahkan adik satu-satunya, Andi yang berjongkok di samping Ranti dan menggenggam jemari kiri ibunya.
"Ibu mau kalian, kelak bertemu dengan ayah kalian mau memaafkan semua kesalahannya. Karena, biar bagaimanapun dia ayah kalian. Andi, Kamu harus rajin sekolah jadi anak yang pintar, jangan Kau sia-siakan pengorbanan kakak Mu, yang sudah bekerja membanting tulang agar Kau dapat sekolah."
"Arini, Ibu minta maaf, hanya membebani Mu saja dengan sakit yang Ibu derita. Maaf, Ibu sudah menyusahkan Mu dan terima kasih sudah menjadi anak yang berbakti dengan merawat Ibu. Ibu doakan agar Kau dan adik Mu kelak memperoleh kebahagiaan dan menjadi orang yang sukses."
Dengan terisak Arini, mencium kening ibunya, "Ibu jangan pergi, hanya Ibu dan Andi yang Arini punya. Arini akan bekerja lebih keras, biar bisa membawa Ibu untuk berobat ke rumah sakit. Arini sayang Ibu, jangan tinggalkan Arini dan adik, Bu!"
Akan tetapi, Ranti sudah tidak mampu berkata-kata lagi, hanya bibirnya saja yang bergerak-gerak. Andi membimbing ibunya untuk mengucapkan syahadat dan diikuti oleh Arini. Mereka berdua membimbing ibu mereka mengucapkan syahadat menuju sakratul maut dengan suara yang bergetar.
Ranti menghembuskan napas terakhirnya dengan didampingi dua orang buah hatinya yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya. Namun, akhirnya tubuhnya lelah berjuang melawan sakit kanker yang dideritanya semenjak tiga tahun yang lalu.
Arini dan Andi menangis tanpa suara, hanya air mata mereka yang mengalir tanpa henti mengiringi kepergian Ibu yang sudah melahirkan keduanya ke dunia ini. Air mata keduanya tak mau berhenti, meski mereka mencoba menahannya agar tidak menetes.
"Dik, Kamu pergi lah ke pak RT dan katakan kalau ibu sudah meninggal dunia." Perintah Arini dengan suara lirih kepada adiknya, Andi, 18 tahun.
"Baik, Mbak. Andi pergi dulu ke rumah pak RT untuk mengabarkan berita meninggalnya ibu." Pamit Andi kepada kakaknya.
Arini mengambil buku Yasin dan membacanya di samping jenazah ibunya. Saat Arini sedang membacakan Yasin untuk almarhumah. Terdengar suara pintu rumah nya diketuk dan suara salam. Tetangganya berdatangan untuk mengucapkan bela sungkawa dan membantu Arini mengurus jenazah ibunya.
Siang hari, sebelum sholat zuhur, jenazah ibunya disolatkan. saat ditanyakan oleh pak Rt, apakah ada yang ditunggu sebelum jenazah dikebumikan. Keduanya kompak menjawab tidak ada. Mereka tidak mengharap ayah kandung mereka datang melihat jenazah istrinya. Ibu mereka memang tidak pernah bercerai dengan sang suami, tetapi Ia dan kedua anaknya terusir dari rumah mewah mereka.
Jenazah Ranti pun dikebumikan di pemukiman umum yang tidak jauh dari rumah mereka. Saat para peziarah sudah meninggalkan pemakaman dan tertinggal Arini dan Andi adiknya di depan tanah merah makam ibu mereka. Dengan khusyu mereka berdoa dan membacakan Surah Yasin. Andi mengelus batu nisan ibu mereka dan berucap, "Semoga Ibu berbahagia di alam senang dan ibu sudah terbebas dari rasa sakit fisik dan batin ibu. Maaf, Bu. Andi tidak tau apakah Andi dapat memaafkan ayah kalau bertemu nanti. Andi hanya mengingat penderitaan yang diberikannya untuk kita Bu. Berat bagi Andi untuk memaafkan ayah." Andi berusaha keras menahan agar air matanya tidak jatuh di atas makam ibu nya.
Mendengar ucapan adiknya, Arini menggigit bibirnya, agar tidak ke luar sedu sedan di atas makam ibunya. Arini mengusap pelan kepala adik yang disayanginya, demi ibu dan adiknya, Arini rela putus sekolah semenjak dirinya duduk di bangku kelas X di sebuah SMA Negeri. Dirinya memilih bekerja, agar adiknya yang saat itu duduk di kelas VIII dapat bersekolah dan makan.
"Kakak juga tidak tahu, apakah Kakak dapat mengabulkan permintaan terakhir Ibu untuk memaafkan ayah. Pria yang tidak perduli dengan anak kandungnya. Namun, kita doakan saja Ibu, agar ibu tenang di alam sana. biarkan saja ayah, tidak usah kita pikirkan lagi."
Arini bangkit dari duduknya di depan makam ibu mereka dan diajaknya adiknya untuk pulang. Berdua, kakak beradik itu berjalan dari pemakaman menuju ke rumah mereka yang jaraknya lumayan jauh. Tak mereka hiraukan teriknya matahari membakar kulit mereka.
Arini beruntung, majikan tempat Ia bekerja sebagai buruh cuci memberikan ijin kepadanya untuk tidak bekerja selama beberapa hari. Begitu juga, rumah makan tempatnya bekerja sebagai pelayan. Ya, Arini menjalani dua pekerjaan sekaligus untuk kelangsungan hidup mereka bertiga dan biaya berobat ibunya, juga biaya sekolah adiknya.
Berulangkali adiknya memohon kepadanya agar diijinkan bekerja. Dengan tegas Arini menolak permintaan adiknya itu. Baginya, melihat adiknya tetap bersekolah dan fokus dengan belajarnya merupakan hal yang sangat membahagiakannya.
Lima bulan berlalu semenjak kematian ibunya Arini dan adiknya masih sering terkenang sosok ibu mereka. Di sudut kamarnya yang sempit, Arini mengusap air matanya yang terus menetes teringat ibunya. Arini duduk di atas semen kamarnya, sambil memeluk erat potret ibunya Arini berucap, "Bu, mengapa hati ini terasa berat untuk melepaskan kepergian Mu. Maafkan anak Mu ini yang tidak dapat memberikan pengobatan yang terbaik untuk Mu." Lirih suara Arini diiringi isak tangis.
"Maafkan Arini, yang berat untuk memaafkan ayah yang sudah menelantarkan kita. Maafkan juga Arini yang tidak mengatakan kepada ibu, kalau Arini pernah mendatangi ayah dan meminta uang kepada ayah, agar ibu bisa memperoleh pengobatan yang lebih baik." lirih Arini di kamarnya yang sempit.
Arini tidak menyadari, kalau adiknya Andi mendengarkan setiap ucapannya dari pintu kamarnya yang terbuka. Andi mematung di tempatnya berdiri, didengarnya setiap patah kata kakaknya dengan tangan yang terkepal.
Andi tidak bermaksud untuk menguping curahan hati kakaknya, Ia mau mengajak kakaknya untuk makan bersama, sejak pagi kakaknya hanya mengurung diri di dalam kamarnya.
Arini bermonolog kembali dengan diiringi air mata, "Ibu, tahukah engkau, ayah menolak kedatangan Ku. Rasanya sakit, Bu mendengar penolakan ayah untuk membantu biaya perawatan ibu. Padahal ibu masih berstatus sebagai istri sah ayah. Yang lebih menyakitkan Bu, ayah mengusir ku dari rumah yang pernah menjadi tempat tinggal kita. Bagaimana mungkin, Aku bisa memaafkan ayah Bu?" Isakan Arini semakin kencang terdengar.
"Maafkan, anakmu ini, Bu yang tidak mempunyai hati seluas samudra seperti hati ibu, yang dapat memaafkan dengan mudah semua kesalahan ayah yang sangat banyak." Air mata Arini semakin deras mengalir. Arini memukul-mukul dadanya, menegaskan rasa sakit di hatinya atas perlakuan ayah kandungnya, ayah yang telah melupakan perannya sebagai seorang ayah.
Andi bergerak menghampiri kakaknya, "Mbak Arini!" Lirih suara Andi memanggil nama kakak nya. Arini mendongakkan wajahnya menatap adiknya yang menatap balik ke arahnya. Cepat-cepat Arini menghapus air matanya. Arini menyesal adiknya melihat air matanya.
Andi menghampiri Arini dan berjongkok dihadapan kakaknya dan diambilnya punggung tangan kakaknya dan di ciumnya punggung tangan kakaknya sebagai rasa hormat. "Andi berterima kasih dengan semua pengorbanan Mbak Arini selama ini. Andi janji akan membalas semua kebaikan mbak Arini. Kita tidak perlu ayah, mbak tidak perlu menemui ayah lagi. Ayah sudah melupakan kita, kita juga bisa melupakan ayah. Andi sayang mbak Arini, Mbak adalah kakak terbaik untuk Andi."
"Mbak sudah banyak berkorban, ijinkan Andi bekerja Mbak. Andi anak laki-laki, Andi lah yang harus mencari nafkah untuk mbak. Biarkan Andi menghilangkan beban di pundak mbak Arini."
Arini menggelengkan kepalanya, "Nggak, Mbak nggak ijin kan Kamu berhenti sekolah dan bekerja. Cukup Mbak yang tidak sekolah. Kamu harus menjadi anak pintar dan menjadi dokter seperti cita-cita Mu. Jangan pernah berhenti sekolah. Mbak masih sanggup bekerja biar Kamu tetap bisa sekolah. Jangan Kamu sia-siakan semua usaha Mba. Buatlah ibu dan Mbak bangga," Tegas Arini kepada adiknya.
Andi menganggukkan kepalanya, Insya Allah, Mbak, Andi akan membuat almarhumah ibu dan Mbak Arini bangga. Andi janji, tidak akan mengecewakan mbak dan menyia-nyiakan semua pengorbanan Mbak."
Kedua kakak adik itu pun duduk bersebelahan dengan tangan mereka yang terpaut dan air mata membasahi pipi. Tatapan keduanya menerawang jauh. Badan mereka mungkin ada di kamar ini, tetapi pikiran keduanya jauh mengembara.
Sementara itu, di sebuah rumah mewah tampak seorang pria paruh baya bernama Affandi Sasongko, 56 tahun. Ayah kandung Arini dan Andi sedang duduk di dalam ruang kerjanya yang dibiarkannya gelap tanpa cahaya. Dia baru saja mengetahui kalau istri pertamanya istri yang dengan kasar telah diusirnya bersama kedua anaknya untuk ke luar dari rumah yang pernah menjadi tempat tinggal mereka.
Affandi meneteskan air matanya, sambil mengelus foto istrinya yang masih tersimpan di dalam laci meja kerja miliknya yang selalu terkunci. "Maafkan Aku, yang sudah jahat kepada Mu dan anak kita. Maafkan Aku sudah menjadi suami yang b******k untuk Mu dan mengkhianati pernikahan kita." Lirih Affandi sambil terus mengelus potret sang istri, Ranti yang kini tubuhnya telah berkalang tanah.
Satu tahun kemudian
Arini merasa senang, dirinya berhasil diterima bekerja di sebuah perusahaan konveksi yang besar di kota Bandung. Setelah sebelumnya, Arini dibingungkan dengan majikan tempatnya selama ini menjadi buruh cuci pindah ke Jakarta. Selama beberapa bulan, Arini menyembunyikan fakta kalau dirinya hanya bekerja sebagai pelayan di rumah makan dengan upah yang pas-pasan untuk makan dan biaya hidup satu bulan. Sementara Andi, sekarang duduk di kelas XII dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Arini tidak mau uang yang telah dipersiapkannya agar sang adik dapat melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah terpakai untuk biaya hidup sehari-hati mereka.
Dengan wajah sumringah dan senyum yang terbit di wajah cantiknya Arini menghampiri adiknya yang sedang melepas sepatu sekolahnya. "Mbak punya kabar gembira untuk mu." ucap Arini dengan bersemangat.
"Saking semangatnya, sampai lupa mengucapkan salam Mbak." Tegur Andi.
Arini tersenyum malu, " Iya, Mbak lupa. Assalamu'alaikum, adik Mbak yang pintar."
"Wa'alaikum salam, Mbak Ku yang baik hati. Nah, sekarang Mbak ceritakan kabar bahagianya."
"Mbak diterima bekerja di pabrik konveksi yang besar. Gajinya juga banyak, Mbak bisa menabung biar Kamu bisa kuliah di kedokteran, seperti cita-cita Kamu."
"Alhamdulillah, ya, Mbak. Andi senang mendengarnya. Nanti, sambil kuliah Andi bekerja, Mbak. Andi gak mau terus-terusan menyusahkan Mbak. Andi juga mau membantu, meski hanya sedikit."
Arini menganggukkan kepalanya "Boleh saja, asal tidak mengganggu kuliah Mu nanti."
Andi tersenyum mendengar ucapan Arini, "Mbak memang kakak yang terbaik, Andi gak mau menukar kakak sebaik Mbak dengan kakak yang lain. Cukup Mbak yang menjadi kakak Ku." Andi berdiri dan merangkul pundak Arini. "Jangan pernah lelah, ya Mbak berdoa untuk kebaikan Ku. Mba bagi Ku sudah seperti pengganti Ibu."
Mata Arini berkaca-kaca mendengar ucapan sang adik menyebut Ibu mereka. "Mbak gak akan berhenti untuk mendoakan Mu. Kamu juga jangan jangan kasih kendor belajarnya. Ingat almarhumah ibu dan Mbak yang selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu, biar Kamu menjadi orang yang sukses. Itulah bayaran dari kamu untuk Mbak, yang Mbak pinta, tidak yang lain.
Hari ini adalah hari pertama Arini berangkat bekerja ke perusahaan konveksi, yang jaraknya lumayan jauh. Arini, sudah membeli sepeda, yang dapat digunakannya untuk berangkat dan pulang bekerja setiap harinya. Arini. mengayuh sepeda tua miliknya, yang dibelinya di pasar loak dan dapat membawanya ke tempat Ia bekerja.
Begitu sampai di perusahaan konveksi, Arini memarkir sepeda butut miliknya diantara sepeda motor yang bagus milik karyawan lainnya. Arini tidak merasa malu dengan kesederhanaan keadaannya. Ia merasa bersyukur meski hanya memiliki sepeda butut, dalam benaknya yang sederhana hanyalah mewujudkan keinginan ibunya agar adiknya, Andi dapat melanjutkan kuliah ke fakultas kedokteran, seperti cita-cita Ibu mereka.
Karena takut terlambat dihari pertamanya bekerja, saat memasuki perusahaan, Arini berjalan dengan terburu-buru. Langkahnya terhenti saat tanpa sengaja badannya menabrak tubuh sekokoh pohon. Arini mendongakkan wajahnya dan ditatapnya wajah tampan dengan pahatan sempurna bak Dewa Yunani.
Bibir tipis, hidung mancung dan mata setajam elang dengan netra coklat yang menatap kearahnya dengan tajam. "Sudah puas mengamati Saya. Senang dengan yang Kamu lihat!" Bentak pria itu kasar.
Arini menjadi gugup mendapat tatapan tajam dan bentakan kasar, "Maaf, Tuan. Saya tidak sengaja menabrak Anda, Saya tadi berjalan terburu-buru." Arini menundukkan wajahnya tidak berani menatap ke arah Pria di depannya.
"Siapa, namamu dan kamu bekerja di bagian apa?" Tanya pria tampan di depan Arini.
"Nama Saya Arini, Pak. Saya pegawai baru di sini, tepatnya saya bekerja di bagian finishing."
"Hmm, cepat sana ke tempatmu bekerja dan ingat kalau ada berjalan perhatikan langkah kakimu, jangan menunduk terus."
Arini mendongakkan wajahnya dengan takut-takut "Baik Pak, Permisi," Pamit Arini yang kembali meneruskan langkahnya, menuju ruangan tempat bagiannya berada. Sebelumnya Arini sudah di ajak survei ke tempat di mana dirinya bekerja dan melihat sebentar apa saja yang harus dikerjakannya. Sementara pria yang barusan Arini tabrak adalah pimpinan perusahaan konveksi yang baru. Ia adalah Arjuna Pratama, 33 tahun. Seorang pria yang dingin dan tegas.
Arjuna menuju ruangannya yang terletak di lantai 5 gedung ini. Arjuna harus menggantikan ayahnya sebagai pimpinan perusahaan, sejak ayahnya sering sakit-sakitan karena usia yang sudah tua. Arjuna masuk ke dalam lift khusus untuk pejabat penting perusahaan, yang memang dibedakan dengan lift untuk pegawai di perusahaannya.
Begitu mencapai lantai lima tempat di mana ruangannya berada, Arjuna melihat sekretarisnya sudah duduk di depan meja kerjanya. Arjuna bermonolog dalam hatinya, "Baguslah kalau Dia rajin bekerja, meski dia memiliki kekurangan, yaitu selalu memakai pakaian yang kekurangan bahan. Padahal awal-awal Aku bekerja di sini, Ia memakai pakaian yang sopan dan lebih tertutup."
Ana, sekretaris Arjuna, menyapa Arjuna dengan ramah dan senyum manis tersungging di bibirnya. Arjuna menyambut sapaan sekretarisnya, hanya dengan deheman singkat. Ia berlalu begitu saja, menuju ke ruangannya dan duduk didepan meja kerjanya. Baru juga Arjuna duduk, gawai Arjuna berdering dan dilihatnya yang menghubungi adalah ibunya.
“Assalamu’alaikum, Bu. Ada apa Ibu menghubungi ku, pagi-pagi?”
“Wa’alaikum Salam, Memangnya Ibu tidak boleh menghubungi anak sendiri pagi-pagi.” Omel Ibu Arjuna. Dalam hatinya Arjuna menggumam, pagi-pagi sudah kena omelan Ibu.
“Ibu hanya mau mengingatkan kepada Mu, nanti malam kamu harus datang ke acara makan malam di rumah calon istri Mu. Ibu dan Bapak tidak mau mendengar kata penolakan dari Mu.”
“Bukannya Juna, sudah katakan kepada Ibu, kalau Juna belum tentu menerima dijodohkan dengan putri dari sahabat Bapak, Bu. Juna bisa memilih jodoh Juna sendiri tanpa campur tangan Ibu dan bapak.”
“Menunggu Kamu memilih jodoh Mu sendiri, kelamaan. Kami sudah mau menimang cucu dari Kamu, putra kami satu-satunya.”
“Jadi alasan Ibu, menyuruh Ku cepat-cepat menikah, karena ibu dan bapak mau menimang cucu, seandainya calon yang akan ibu jodohkan dengan Ku tidak dapat memberikan cucu. Apakah bapak dan ibu akan menyuruh Ku untuk menikah kembali biar mendapat cucu?” Tanya Arjuna yang membuat ibunya terdiam sesaat.
“Ibu dan bapak yakin, kalau calon jodoh mu ini akan memberikan kami cucu secepatnya. Kamu pasti akan jatuh cinta langsung melihatnya, selain orangnya cantik, tutur katanya juga halus. Ibu dan bapak menunggu Kamu di rumah jam 8 malam tepat. Jangan sampai Kamu tidak datang atau Kamu akan menyesal.” Sambungan telepon di putus secara sepihak oleh ibu Arjuna.
Arjuna menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Arjuna bukannya tidak mau menikah, hanya saja Ia masih merasa sakit karena cinta akibat pengkhianatan mantan kekasihnya dengan sahabatnya sendiri. “Aku harus meminta seseorang untuk berpura-pura menjadi kekasih Ku, seseorang yang dapat Ku bayar.”
Arjuna berpikir siapa diantara pegawainya yang mau menjadi kekasih bayarannya, kemudian Arjuna teringat dengan karyawati yang tadi pagi bertabrakan dengannya. “Sepertinya Aku dapat memanfaatkan gadis itu sebagai kekasih bayaran Ku.” Gumam Arjuna.
Arjuna menekan tombol interkom dan menghubungkannya dengan bagian HRD, "Selamat pagi, Saya minta data pegawai yang baru saja di terima bekerja di perusahaan. Terutama bagian finishing.” Arjuna teringat gadis yang bertabrakan dengannya tadi sempat menyebut nama dan bagian tempat gadis itu bekerja.
“Baik, Pak akan segera kami antarkan datanya ke ruangan Bapak.” Jawab karyawan bagian HRD.
Tuuut...Arjuna mematikan panggilannya dengan pegawai di bagian HRD. Arjuna merasa idenya ini akan berhasil untuk mengatasi tuntutan dari kedua orang tuanya. Arjuna menekuni kembali berkas yang ada di atas mejanya hingga didengarnya suara ketukan pintu ruang kerjanya.
Seorang wanita pegawai HRD masuk ke dalam ruangan Arjuna, dengan membawa data pegawai yang diminta oleh Arjuna. “Ini, Pak data pegawai yang bapak minta,” ucapnya sambil menyerahkan data yang dibawanya kepada Arjuna.
Arjuna menerima data yang diberikan oleh pegawainya dan mempersilahkannya untuk kembali ke tempatnya. Setelah kepergian pegawai bagian HRD tadi, Arjuna membaca data-data pegawai baru yang dilengkapi dengan foto diri mereka. Hingga, akhirnya Arjuna menemukan foto milik Arini.
Arjuna membaca data diri Arini, setelah membacanya Arjuna semakin yakin, kalau Arini pasti akan mau menerima usulannya sebagai kekasih bayarannya. Arjuna memerintahkan kepada orang suruhannya untuk menyelidiki Aluna. Diberikannya data-data lengkap Arini.
Sementara itu, Arini yang hari ini memulai pekerjaan barunya, dengan penuh semangat. Arini merasa beruntung di hari pertamanya bekerja, Ia disambut dengan ramah oleh karyawan lainnya. Meski Arini cenderung pendiam, akan tetapi dengan cepat Ia dapat memiliki banyak teman. Arini mencoba beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Ia mendapat tugas membuat lubang kancing pada baju dengan menggunakan mesin button hole. Meski beberapa kali membuat kesalahan, akan tetapi akhirnya Arini dapat membuat lubang kancing dengan rapi.
.................
Arjuna dengan berat hati datang ke kediaman orang tuanya. Ia menyanggupi untuk datang ke jamuan makan malam di rumah sahabat Bapaknya. “Ingat, ya, Pak, Bu. Aku hanya bersedia menghadiri jamuan makan malam dengan sahabat Bapak, bukan menerima perjodohan. Aku sudah mempunya kekasih Ku, sendiri. Nanti, Aku akan mengenalkan kepada Bapak dan Ibu.”
Markum Sasongko, 57 tahun , Bapak Arjuna mengerutkan keningnya. menatap heran ke arah Arjuna, “Bukannya Kau bilang, tidak mempunyai kekasih. Kenapa sekarang Kau bilang sudah mempunyai kekasih. Jangan mengada-ada, Kau Jun.”
“Tidak, Pak. Aku tidak mengada-ada, Aku hanya menyembunyikannya dari orang-orang. Kekasih ku itu gadis yang pendiam dan pemalu. Aku yakin Bapak dan Ibu pasti akan menyukainya.”
Arjuna dan kedua orang tuanya menuju kediaman keluarga Andri Firmanto, sahabat bapak Arjuna saat kuliah dulu. Mereka tiba di depan rumah mewah dengan pagar yang tinggi. Seorang satpam membukakan pintu untuk mereka, Arjuna melajukan kembali mobilnya hingga berhenti di depan sebuah pintu yang kokoh terbuat dari kayu jati.
Kedatangan Arjuna dan kedua orang tuanya disambut oleh tuan rumah yang sudah berdiri di teras rumah. Bapak Arjuna bertukar salaman dan pelukan. Tampak sekali kalau hubungan keduanya sangat dekat, dilihat dari gestur tubuh mereka.
Andri, sahabat bapak Arjuna memperkenalkan Arjuna kepada istrinya, Maya dan putrinya, Tari, 19 tahun.
Setengah bercanda, Andri memperkenalkan Arini kepada Arjuna sebagai calon istri yang tepat untuknya. Arjuna hanya diam saja tidak memberikan reaksi apapun atas ucapan Andri, sementara Tari, gadis itu menundukkan wajahnya tersipu malu.
Maya, 45 tahun, istri Andri menegur suaminya. “Ayah ini, tamunya dipersilahkan masuk dulu, baru ngobrolnya di dalam. Kasihan putri kita jadi malu.”
Mereka semua lalu masuk ke ruang makan keluarga Firmanto, di atas meja telah tersaji beragam hidangan. Sambil menikmati hidangan yang tersaji, Andri yang sangat bersemangat menjodohkan putrinya dengan Arjuna kembali melanjutkan ucapannya saat di teras tadi, “Saya, benaran senang kalau Nak Juna, mau menerima putri saya, Tari menjadi istri nak Juna.”
Arjuna dengan ekspresi datarnya dan wajah dingin, “Maaf, Om. Saya sudah memiliki kekasih dan saya setuju datang ke acara jamuan makan malam ini, karena Saya menyayangi kedua orang tua Saya dan menghormati Om, sebagai sahabat Om. Maaf, Saya tidak dapat menerima perjodohan Saya dengan putri Om.”
Arjuna lalu berdiri dari duduknya dan berucap kepada kedua orang tuanya, “Mobil ku bawa pulang, Bapak dan Ibu dapat memanggil pak bejo untuk menjemput, Selamat malam, semuanya.” Arjuna meninggalkan jamuan makan malam begitu saja, meninggalkan rasa malu di hati Tari yang merasa ditolak.