Bab 9

1535 Kata
Liana sedikit was-was. Menyilang tangan di dadanya. Selama belum bisa keluar dari kamar itu, dia harus lebih waspada. Elang sudah memberi interupsi akan membuangnya kehilangan kegadisan andai tak bisa menahan hasrat. Oleh karena itu, lebih baik Liana tak mengundang nafsu laki-laki di depannya. Tapi siapa yang bisa konsisten dengan niat, jika kecerobohan datang? “CK! Lupa bawa handuk lagi.” Padahal saat masuk ke kamar mandi, dia merasakan ada yang aneh. Berusaha ditepis sehingga dia bergegas mandi karena kamar mandi akan dipakai bergantian dengan Elang. Begitu selesai, barulah dia tersadar bahwa lupa membawa handuk. Mengedarkan pandangan ke segala arah, tak ada satu pun handuk di sana. Lupa bahwa itu bukanlah kamar mandi seperti yang ada di rumahnya di Jakarta. Ada laci yang menyimpan handuk kering. Terpaksa Liana harus minta tolong teman sekamarnya itu. Dibuka pintu sedikit, agar bisa menyembul kepalanya saja, sedangkan tubuh polosnya disembunyikan di balik pintu. “Stt … Lang.” Sekali dua kali dipanggil tak menyahut. “Elang!” Suara semakin tinggi dan tetap saja tak ada respon dari Elang. Wajar saja, kedua telinga Elang sudah disumpal earphone sehingga tak dapat mendengar suara dari luar. Malah musik disetel dengan volume yang lumayan tinggi untuk menghilangkan rasa stres karena dikurung sudah seharian penuh. “Dasar bocah, pura-pura tuli.” Dikira Elang tak mendengar karena pura-pura tuli. Liana kembali menutup pintu kamar mandi, mencari benda apa yang bisa dilempar. Ketemu, ada odol, sikat gigit, sabun, shampoo, gayung dan sikat WC. Semuanya diambil dan dilempar ke arah Elang. Lemparan pertama gagal, dilanjutkan lemparan dua, ketika sampai terakhir sikat WC. “Woi, anjir, siapa yang lempar gua?” Elang memekik, mengusap kepalanya yang sakit karena kena benturan sikat WC. “Astaga.” Elang mengambil sikat WC, mencium, lalu mual. Dia tau tak mungkin sikat WC yang harusnya ada di kamar mandi malah menyusup ke kamar. Segera dia menoleh dan terlihat Liana yang menahan tawa di sana. “Jadi ini kerjaan lu?” “Sorry. Lagian dipanggil gak dengar.” Elang kembali melempar sikat WC ke arah Liana yang terkejut dan menutup pintu. Liana menyembulkan wajahnya lagi. “Tolong ambili handuk gue!” “Ambil aja sendiri.” Elang masih dendam. Dia kembali duduk di kursi. Kali ini tak lagi mendengar musik, melainkan main game. “Kalau gue bisa gak mungkin minta tolong sama lu.” “Punya kaki kan?” “Punya, tapi nanti iman lo rontok kalau gue keluar. Lo paham kan maksud gue?” Elang menoleh, menaikkan sebelah alisnya. “Gue gak pake baju, anjir. Itu aja gak paham,” gemas Liana. “Coba buka pintu, gua mau lihat?” Malah ditantang oleh Elang. Jelas Liana menolak. Dengan membuka pintu sama saja memberi akses untuk Elang bisa melihat apa yang disembunyikan selama ini di depan publik. Ditambah dengan status halal, sudah pasti Liana tak akan selamat setelah ini. “Gak usah ngadi-ngadi, cepat sana ambil handuk!” tegas Liana. Elang pun menurut. “Gak asik banget lu.” “Ini gak bisa dibawa bercanda, kalau mau kita tetap aman.” Mengambil handuk dari tangan Elang, Liana segera menutup pintu kembali. “Eh, baju gue tolong!” Elang pun kembali ke lemari untuk mengambil baju Liana. “CD sama BH gue.” Elang mendelik. “Coba bilang sekali lagi?” “Gak usah sok kaget. Lagian lo udah pernah belikan CD buat gue.” Elang berdengkus, terpaksa harus mengobrak-abrik lemari untuk mencari pakaian dalam Liana. “Gila, modelnya aneh-aneh banget.” Elang malah terlena dengan pakaian dalam milik Liana. Ditenteng satu persatu. Belum pernah dilihat olehnya selama ini. Maklum saja, selama dia terjun dunia pacaran, masih dalam tahap normal. Apalagi setelah lulus SMA langsung masuk IPDN, siapa yang akan fokus pacaran lagi. “Ya Allah, ngapain lo fokus lihat punya gue?” Terlanjur malu, tapi bisa apa? Liana terlalu cepat membuka akses pada suaminya. Membiarkan laki-laki berusia 26 tahun itu untuk mengetahui secara detail mengenai segala macam yang dipakai oleh para wanita. “Oh, jadi kalian pakai ini setiap hari?” Elang datang menyerahkan pakaian dalam Liana, sesuai dengan model dan warna pilihannya. “Kenapa harus merah?” “Warnanya menantang, cocok deh sama kulit lu.” Liana mendelik tajam. “Jangan bilang lo mikir kotor?” Elang terkekeh, mengabaikan tuduhan Liana, kembali duduk di kursi. Dia benar-benar tak dapat fokus, masih tertawa geli membayangkan Liana yang tampak aneh jika hanya memakai pakaian dalam saja. Tubuh kecil, pasti mirip ikan teri. Benar-benar tak membuat Elang berselera. Dia lebih suka perempuan sedikit berisi dan tinggi. Bukan Liana, yang pendek dan kecil. Liana keluar dengan pakaian lengkap. Rambutnya sedikit basah. Dia mengambil hairdryer, mengabaikan Elang yang terus menatapnya. Kadang tertawa geli. “Kelamaan dikurung jadi ODGJ ya?” “Anggaplah begitu.” Elang menegakkan tubuhnya. “Bajunya terbalik.” “Hah?” Liana tersentak, menatap baju yang dikenakannya. Dan benar adanya, bagian belakang jadi dipakai di depan. “Sekarang paham kan siapa yang ODGJ?” ucap Elang terkekeh lalu berlari masuk ke kamar mandi sebelum dikejar Liana. “Apes banget gue.” Liana pun membuka bajunya. “Astagfirullah.” Tersentak saat mendengar suara pintu kamar mandi, buru-buru menurunkan bajunya lagi. Disangka akan keluar, tapi pintu malah kembali ditutup. “Ni anak bikin gue was-was aja,” gerutu Liana. Dia ingin membenarkan pakaiannya lagi, tapi takut tiba-tiba Elang keluar. Alhasil dia bersembunyi di balik pintu lemari yang dibiarkan terbuka. Lega rasanya bisa memakai pakaian dengan benar. Liana kembali duduk di kursi dan melanjutkan mengeringkan rambut. Tak lama kemudian Elang keluar dengan santainya, dia hanya melilit handuk bagian terpenting saja dan itu justru membuat Liana membelalak. Buru-buru memalingkan wajah sebelum ketahuan. Tapi yang namanya rasa penasaran, tetap saja menuntun Liana mengintip apa yang dilakukan Elang. “Kalau suka lihat aja. Gak apa-apa kok. Halal,” ujar Elang mengambil baju dari dalam lemari. “Dih, siap juga yang suka.” Liana memunggungi Elang. Deg-degan, dia mengusap dadanya sambil mengatur napas. “Euuu, Lang, kalau seandainya bokap lo gak bukain pintu gimana?” Mendadak Liana menjadi resah. Untuk sehari saja sudah mengalami pergolakan batin, gimana kalau seminggu? “Tidur. Yang penting dikasih makan,” jawab Elang dengan santai. “Gak bisa gitu dong. Masa lo mau dikurung di sini?” protes Liana menoleh, begitu melihat Elang sedang memakai celana, segera memunggungi lagi. “Gua gak ada solusi. Lagi malas mikir.” “Apa jangan-jangan lu suka dikurung?” “Lo udah tau jawabannya. Daripada terus mikir hal yang gak penting, mending tidur.” Iya, daripada memikirkan kapan mereka akan keluar, lebih baik tidur. Itu solusi yang tepat. Meskipun harus berbagi ranjang, mereka tak saling komplain asalkan jangan melewati batas. Tapi siapa yang akan percaya itu? Mulut bisa saja berjanji tak akan melewati batas, tapi yang namanya tidur, siapa yang dapat mengontrol? Seperti sore ini, mereka terjaga oleh suara azan sholat ashar. Sebelum itu tidur terpisah, tiba-tiba begitu mata terbuka sudah saling berpelukan—menganggap tubuh pasangan adalah bantal guling. “Aaaa …” teriak mereka segera memberi jarak. “Gak benar ni. Bisa gawat bagi imron gua,” gumam Elang mulai resah, menoleh pada wajah Liana, kemudian buru-buru memalingkan wajah. Seluruh bulu mulai tegak berdiri. “Pi, buka pintu!” teriak Elang dalam keterputus asaan. “Iya, ini gua bukain pintu.” Bukan yang dipanggil yang membuka pintu, melainkan Rafan. Siapapun itu, yang penting pintu bisa terbuka, Liana segera berlari menerobos keluar. “Lu kenapa bisa punya kunci?” Elang menatap keheranan. Tidak mungkin orangtuanya akan menyerahkan kunci begitu saja jika misi belum tercapai. Maklum saja, orang yang terjun ke dunia politik tentunya akan mengutamakan tujuan dan tak akan mundur sebelum tercapai. “Bokap lu titip sama gua. Mereka pulang duluan ke Jakarta, ponaan lu tipes.” Tanpa perlu repot-repot ternyata orangtua Elang pergi juga. Ini sebuah berkah. Jika kata orang, dibalik musibah pasti ada keberkahan. Keponakannya sakit dan Elang dapat berkah karena bisa keluar dari kamar, selain itu mulai dari sekarang dia tak perlu repot-repot untuk membagi kamar dengan perempuan yang membuatnya ketar-ketir. “Hmmm, gimana? Berapa skornya?” Rafan memainkan alis. Bibir menyeringai. Dia jadi penasaran dengan cerita pengantin baru yang dikurung di dalam kamar. “Skor pala lu,” ketur Elang. Jangan tanya dulu skor, untuk berduaan saja sudah membuatnya hampir gila. “Masa udah dikurung belum gol juga?” Rafan mengikuti Elang. Di luar ada Liana yang sedang meneguk air mineral. “Kayak lo langsung gol aja,” sahut Liana, lantas membuat Rafan terdiam. Beralih pada hp yang berdering. Rafan membuka sebuah notifikasi pesan dari Pak Dani. [Tolong kamu awasi mereka! Jangan sampai kabur-kaburan lagi, apalagi tidur pisah kamar! Om serahkan padamu. Kamu pasti tau apa yang harus dilakukan.] Rafan bergeming. Sebuah pesan dari Pak Dani menyiratkan agar Rafan bisa menghandle pengantin baru yang menikah karena kondisi terpaksa. ‘Bukankah ini perintah untuk membuat perangkap biar cepat gol?’ Rafan membatin sambil berpikir keras Sebuah pesan dari Pak Dani kembali masuk. [Om percaya padamu. Om harap setelah om kembali bisa mendapatkan kabar bahagia. Minimal jangan membuat mereka membubarkan rumah tangga yang baru dibangun itu. Meskipun tanpa cinta.] ‘Nah, emang benar ni apa yang gua pikirkan. Om Dani pasti mau mereka cepat unboxing.’ Hanya bisa berbicara di hati, kemudian tersenyum miring. ‘Luna harus tau. Dia harus ikut bantu … semoga saja, setelah ini akan lahir cap lang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN