Bab 12

1314 Kata
“Gua gak salah dengar?” Elang kembali mempertanyakan jawaban dari Liana. Ini terlalu dadakan baginya jika perempuan yang lebih tua dua tahun darinya mengatakan bersedia untuk disentuh lebih dalam. “Apaan sih? Jelaslah gue gak mau.” Liana memutar bola mata. Begitu menangkap sosok Rafan dan Luna dari jarak jauh, tangannya spontan menepuk-tepuk bahunya Elang berulang kali sampai sang empunya meringis menangkap tangan itu. “Sorry, sorry, sorry.” Liana malah mendekatkan bibirnya pada telinga Elang dan satu tangannya dijadikan penghalang agar suara yang ditimbulkan berkumpul pada telinga Elang. “Kalau lo mau balas dendam sama Rafan, gunakan kucing. Dia paling anti sama hewan berbulu.” Sebuah informasi yang diberikan Liana sontak membuat sepasang mata cokelat tua itu membulat sempurna. “Serius?” Liana mengangguk pasti. Seketika Elang tertawa geli membayangkan laki-laki segagah Rafan yang pesonanya bikin para janda oleng malah bisa-bisanya takut sama kucing yang sangat menggemaskan. Sebuah ide muncul dalam kepala Elang. Tawa renyah berubah jadi senyum miring. Dia pun mengantar sang istri kembali ke rumah. Rencana sudah sangat matang dalam pikirannya. Tak ingin menunda terlalu lama, Elang diam-diam mengintai Rafan. Begitu sepi, gegas dia mendekat, mengarungkan kepala Rafan. “Oy, lepasin gua!” Rafan meronta-ronta. Tangannya sudah dikunci oleh Elang, diseret ke sebuah pohon yang berada di belakang rumahnya. “Lepasin gua! Gua RT. Gua lapor kalian ke kantor polisi.” Semua ancaman dari Rafan hanya dianggap sebagai ocehan anak kecil. Tanpa suara, Liana datang menyerahkan tali pada Elang. Sat-set Rafan diikat pada pohon mangga. Setelah dirasa talinya cukup kencang, barulah Elang menarik penutup kepala. “Anjir, kalian!” Rafan tersentak saat gelap menjadi terang, langsung muncul wajah Elang yang tersenyum lebar, memainkan alis. Rafan membuang napas. “Ngapain kalian culik gua?” “Ada deh.” Elang menoleh pada sang istri yang berdiri tak jauh darinya. Sebuah kotak di bawah dibuka setelah memberi isyarat, muncullah dua ekor kucing persia. Sengaja memilih kucing dengan bulu yang lebat agar menambah penderitaan Rafan, sehingga Elang rela mengeluarkan gocek jutaan rupiah untuk membeli kucing di kota. “Ucup, Uci, goda dia!” Sesuai dengan perintah, sepasang kucing berbulu putih itu menghampiri Rafan yang berteriak setengah mati. “Hust, jangan sini! Anying … sana.” “Aaaa …” Lagi-lagi Rafan berteriak saat kucing itu semakin mendekat. Menggesek-gesekan ekor di paha Rafan. Kebetulan dia memakai celana pendek karena ingin buang sampah, tapi apesnya malah disekap oleh Elang. “Mommy, tolong!” Rafan meronta-ronta geli. Memejamkan mata, lalu menoleh pada kucing lagi. “Aaaa …” Elang dan Liana tertawa terbahak-bahak. Puas sekali melihat pemandangan di depannya. Tak lupa mengarahkan kamera hp untuk merekam momen itu dan bisa dijadikan senjata untuk melawan Rafan. Sepasang kucing itu benar-benar tak menuruti perintah Rafan untuk pergi. Ekornya terus bergesek pada kedua kaki Rafan yang diikat. Sejurus kemudian, cairan hangat keluar dari s**********n Rafan, membasahi celana lalu turun ke pahanya. “Astagfirullah, lo ngompol, Fan?” Mereka benar-benar terkejut melihat Rafan ngompol hanya karena serangan kucing. “Kalau gua tau begini, dari jaman SMA gua kerjain lu.” Elang tergelak, tak menghentikan layar hpnya untuk terus merekam. Malahan dia sengaja mendekatkan kamera agar gambar yang dihasilkan lebih sempurna. “Anying … awas aja gua balas kalian berdua.” Rafan kehilangan kata-kata untuk mengutuki sepasang pengantin baru itu. Sudah terlanjur malu. Rahasia yang sebenarnya hanya diketahui oleh orang terdekat dan terkhusus Luna karena sudah pernah mengompol hanya gara-gara buaya dan kini terulang kembali. “Satu sama.” Elang tersenyum miring, kemudian melangkah pergi. “Makanya jangan usil jadi orang! Lo lupa gue ini siapa?” ujar Liana. “Ck! Lupa lagi kalau lu tau rahasia gua.” Rafan berdecak sebal. Dia benar-benar lupa bahwa Liana tumbuh bersama dengannya dan pasti tau semua hobi dan phobia-nya. “Kasian deh lo.” Liana memelet, bergoyang pinggul lalu pergi menyusul Elang sebelum Rafan meludahinya. “Ucup, Uci, tetap di situ!” seru Liana. Sepasang kucing itu tetap berada di sisi Rafan yang menjerit, meronta-ronta. “LUNA!” Suara teriakan Rafan membuat telinga Luna berkedut. Dia menoleh ke segala arah tapi tak ada tanda-tanda sang suami. “Akang, dengar suara yang panggil aku gak?” tanya Luna pada Akang jualan siomay. “Dengar teh, kayaknya di sana!” Akang jualan siomay menunjukkan rumah Elang. Luna segera membayar siomay. Dia segera pergi menuju rumah Elang dengan membawa semangkul siomay di tangannya. “Oy, jangan sini! Hust-hust …” Luna tak jadi masuk saat mendengar suara Rafan dengan sangat jelas. Dia berbelok menuju belakang rumah Elang, seketika dia tersentak saat melihat suaminya yang diikat di pohon, dikelilingi dua ekor kucing. “Fanfan.” “Luna, tolongi aku!” pinta Rafan memelas. Luna segera mendekat, meletakkan mangkok siomay di atas rumput, lalu melepaskan simpul tali yang mengingat suaminya. “Kok bisa kamu gini? Siapa yang lakuin?” “Siapa lagi kalau bukan Elang sama Liana,” jawab Rafan lemas. Begitu terlepas, dia langsung tersungkur di atas rumput. Begitu melihat kucing, dia pun menjerit, memeluk batang pohon mangga. “Pus …” Luna menangkap kucing-kucing itu, menggendong dengan gemas dan tak lupa menciumnya. Dia jadi rindu dengan buayanya di Jakarta. Tak diizinkan pulang karena sang suami takut kucing. “Lucu ya.” Luna tersenyum, ada mainan baru. “Lucu apaan. Buang sana!” hardik Rafan, kedua kakinya gemetaran. “Eh, jangan! Kasian tau. Ini pasti mahal. Gak boleh buang-buang uang, pamali.” “Kamu mau suamimu syahid gara-gara itu?” protes Rafan menatap tajam kedua kucing dalam gendongan Luna. Begitu dipelototi, kucing itu mengeluarkan taringnya dan Rafan kembali memeluk batang pohon mangga. “Halah, lebay. Sini aku kenalin sama mereka. Biar kamu gak takut lagi dan mereka gak tau kelemahan kamu,” ujar Luna mendekat, Rafan langsung menjerit memeluk erat batang pohon. “Gak apa-apa. Mereka ini bukan singa yang akan gigit kamu.” “Luna, aku benaran ngompol lagi ni.” Mata tertuju pada bagian celana Rafan yang sudah basah kuyup. Entah berapa kali dia mengompol. “Eh, kenapa jadi begini?” Luna lupa bahwa suaminya benaran takut dengan kucing karena pengalaman buruk masa lalu. Dia pun membawa kedua kucing itu, memasukkan ke dalam kandang. “Ayo, kita pulang! Kucingnya udah aku kandangi.” Perlahan Rafan bangun, dibantu Luna. “Itu mau ngapain?” tanya Rafan saat melihat Luna mengangkat kandang kucing travel. “Bawa pulang. Udah ah, gak usah banyak protes! Nanti aku kenalkan sama mereka ini biar kamu gak takut lagi,” pungkas Luna merangkul tangan suaminya. Namun, ketika dia melihat mangkok siomay, dia juga mengambil dan minta Rafan memegangnya sampai ke rumah. “Loh, kenapa bau pesing?” Sabila mengendus bau tak sedap ketika anak dan mantunya menginjak teras rumah. “Biasa, Fanfan ngompol, Mom.” Rafan menyerahkan mangkok siomay pada Luna, gegas pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamar untuk mandi dan ganti pakaian. “Kenapa lagi?” tanya Sabila penasaran. Luna menjelaskan apa yang telah terjadi, lengkap dengan alasan Elang dan Liana melakukan perbuatan itu pada Rafan. “Oh, pantesan. Suka jahil sih,” ujar Sabila tak membela siapapun. “Itu apa?” tanyanya lagi saat melihat kandang kucing travel. “Kucing. Rencananya aku mau kenalkan mereka sama Fanfan biar gak takut sama kucing. Lagian kasihan kalau orang-orang tau kelemahan Fanfan, terus malah usil.” Sabila mangut-mangut. “Coba saja dulu! Rafan seperti ini karena trauma masa kecil pernah digigit kucing. Dia juga tidak suka bulu.” “Aku tau, Mom.” Luna tersenyum, membawa masuk kedua kucing yang didapatkan secara percuma. Mungkin saja kucing itu bisa dimanfaatkan untuk bermain dengan anak-anaknya nanti. “Kamu udah selesai mandi?” tanya Luna melihat suaminya baru saja keluar dari kamar mandi. Rambut basah dan hanya melilit handuk bagian bawah saja. “Sini aku bantu.” Luna menuntun Rafan duduk di tepi kasur, mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil, baru setelah itu menggunakan hairdryer. “Aku harus balas mereka berdua,” ujar Rafan pada istrinya. “Kamu sudah tau caranya?” Rafan mengangguk mantap.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN