Phiro terus terdiam untuk menjawab pertanyaan dari kembaran gaibnya itu. Pemuda tampan itu lalu, menghela napasnya sejenak, sebelum mengucapkan kata-katanya itu.
"Yang perlu bantuan mu itu bukan aku ...," tutur Phiro dengan nada datar kepada kembaran gaibnya.
"Lalu siapa? orang lain? Maaf aku tidak membuka praktek ...," ujar Pharo dengan sedikit candanya.
"Dia bukan orang lain bagiku. Dia ibu angkat ku, ialah yang selama ini mengurus diriku," jelas Phiro kepada Pharo.
"Ya sudah, ia memangnya perlu bantuan apa dariku?" tanya Pharo, lalu tiduran di udara di hadapan Phiro.
"Kau masih ingat dengan Gatot, ayah angkat ku?" tanya Phiro, berusaha mengingatkan Pharo tentang ayah angkatnya. Yang pernah mencoba membunuh dirinya dengan berbagai cara. Yang akhirnya mati, terjun ke dalam Laut Selatan.
"Masih, tapi bukannya ia sudah mati? Lalu masalahnya apa dengan dirinya?" ujar Pharo, lalu duduk bersila di udara dengan masih menghadap ke arah Phiro, dengan santainya.
"Ia sekarang menjadi hantu, dan menghantui ibuku. Aku pun dihantui nya ...," mendengar kata hantu disebut oleh Phiro.
Pharo nampak sedikit ciut nyalinya. Mengingat sosok hantu wanita dengan wajah rusak berbelatung di kota hantu, pada game dunia maya.
Dirinya terus terbayang sosok hantu wanita dengan wajah yang hancur itu. Dirinya benar-benar merasa trauma, jika harus berurusan dengan sosok hantu. Yang baginya sangat menjijikan. Padahal dirinya juga makhluk gaib. Namun dengan level yang berbeda.
"Hantu!? pasti wajah dan tubuhnya telah rusak dan membusuk. Aku tidak ingin berurusan dengan makhluk yang namanya hantu. Aku lebih suka berurusan dengan iblis dan sejenisnya, daripada hantu yang mengerikan itu," ucap Pharo, dengan sedikit rasa takutnya itu.
"Tidak semua hantu itu buruk wajahnya. Ayah kita juga hantu, tapi wajahnya tidak rusak kan?. Ia juga wajahnya biasa saja, hanya lebih pucat dari sebelum ia mati," Pharo nampak berpikir mendengar ucapan dari Phiro itu.
"Benar juga katanya, walaupun ayah, hantu. Tapi wajah ayah tidak rusak, tidak seperti wajah hantu-hantu di Kota Hantu. Yang wajahnya sangat menyeramkan," ujar Pharo di dalam hatinya, membayangkan suasana di Kota Hantu. Saat dirinya berada di game dunia maya.
"Tidak!" teriak Pharo di dalam hatinya. Terus terbayang-bayang dengan sosok hantu di Kota Hantu, pada game ciptaan Ken, beberapa waktu yang lalu.
Manusia Sihir Bermata Merah itu. Akhirnya dapat lepas dari bayang-bayang hantu, Kita Hantu. Hingga ia pun berbicara kembali kepada kembaran manusia sejatinya, Phiro.
"Baik, aku akan membantu ibumu, tapi di mana ibumu sekarang?" tanya Pharo.
"Masih di kantornya bersama Om Bram. Mungkin nanti malam mereka baru ada di rumah," timpal Phiro.
"Nanti malam ya. Ya sudah aku ingin tidur dulu. Sudah beberapa hari ini aku belum tidur ...," ucap Pharo, lalu menguap dengan lebarnya.
"Tapi kau kan bukan manusia sejati, masa kau bisa mengantuk?" ujar Phiro, mencandai Pharo, yang ditanggapi oleh candaannya pula oleh Pharo.
"Manusia sihir juga manusia. Bisa mengantuk seperti manusia biasa ...," timpal Pharo, lalu melompat ke arah tempat tidur Phiro. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Manusia Sihir Bermata Merah itu pun, lalu memejamkan matanya dan terlelap ke alam mimpinya.
"Dasar Aro, sikapnya tidak pernah berubah. Selalu saja seperti itu ...," ucap Phiro di dalam hatinya.
"Tapi sudahlah, lebih baik aku mengurusi tanamanku, di taman belakang," Phiro pun lalu keluar dari dalam kamarnya menuju ke arah tujuannya itu.
★★★
Malam kembali datang untuk Bumi, langit tak kelam tergambar pada langit Jakarta. Yang hampir seluruh penjuru nya. Dihiasi oleh awan-awan, seputih kapas. Yang berarak dan kadang-kadang menutupi Bulan separuh. Yang menggantung di langit Jakarta malam ini.
Pharo yang dari tadi siang tertidur. Nampak masih terlelap dengan nyenyak nya di peraduan Phiro. Seakan ia tak mempedulikan waktu. Yang telah menenggelamkan Matahari di ufuk barat untuk tertidur, sedari tadi.
Hingga Phiro pun masuk ke dalam kamarnya, lalu membangunkan Pharo. Karena dirinya sudah ditunggu oleh Naya dan Bram di meja makan.
"Aro! bangun. Ibuku sudah menunggumu di meja makan," ucap Phiro, menepuk pundak Pharo yang segera terbangun dari tidurnya.
"Aku sudah tertidur lama ya?" tanya Pharo, lalu bangkit dari tidurnya, dan berdiri di hadapan Phiro.
Wajahnya nampak tak seperti orang yang habis tertidur. Wajahnya tetap seperti biasanya, sewaktu ia sedang aktif. Tak ada bekas sama sekali, jika dirinya habis tertidur di wajah tampannya itu.
"Ya, kau sudah tertidur selama 8 jam. Ibuku dan Om Bram ingin mengajakmu malam bersama," jelas Phiro.
"Makan malam?" tanya Pharo, seakan baru mendengar kata itu. Tetapi sedetik kemudian ia pun paham dan mengerti akan kata itu.
"Baiklah, aku akan makan malam bersama keluarga angkat mu itu," kata Pharo, lalu melangkahkan kakinya ke arah pintu kamar, yang diikuti oleh Phiro dari belakang.
Pintu kamar yang tertutup itu pun terbuka, yang seakan diperintah oleh Pharo. Lalu tertutup kembali, ketika mereka telah berada di luar kamar itu.
"Aro, jangan melakukan hal-hal yang aneh dengan sihirmu di hadapan keluargaku, ya ...," pinta Phiro, disela-sela langkah mereka.
"Ya, asal aku tidak lupa saja. Tapi kalau aku lupa, jangan salahkan aku ya?" timpal Pharo pelan. Lalu menghentikan langkahnya. Yang diikuti oleh Phiro. Ketika mereka tiba di hadapan Naya dan Bram. Yang telah duduk di hadapan meja makan secara berdampingan.
Mereka berdua menatap ke arah Pharo dan Phiro dengan penuh keheranan dan ketakjuban. Seakan tak percaya dengan apa yang tengah mereka lihat itu. Bila Phiro memilik seorang saudara kembar. Yang bukan hanya bualan Phiro saja kepada Naya.
Nyaris saja mereka tak mampu untuk membedakan, antara Phiro dan Pharo. Bila saja pakaian yang mereka kenakan sama.
"Iro, jangan hanya ikut diam dong. Suruh Aro duduk dan makan bersama kami," tutur Naya, memanggil nama Pharo. Nama yang diberitahu oleh Phiro sewaktu Phiro bercerita tentang Pharo kemarin dini hari. Yang membuat kebisuan terpecahkan. Yang tercipta atas kehadiran Pharo ditengah-tengah mereka.
"Aro, duduk yu," ujar Phiro, menuntun Pharo untuk duduk di kursi, yang ada di depan meja makan itu.
Phiro duduk di sebelah kiri, berhadapan langsung dengan Bram. Sedangkan Pharo duduk di sebelah kanan berhadapan langsung dengan Naya.
Nampak hidangan telah tersedia di meja makan itu. Ada ayam bakar utuh, yang tepat di hadapan Pharo.
"Kamu Aro? saudara kembar Iro?" tanya Naya, sambil tersenyum tulus kepada Pharo. Yang nampak kikuk di hadapan mereka. Karena baru pertama kali mengalami hal seperti ini.
"Ya, aku Aro. Kata Iro, Anda memerlukan bantuan saya?" jawaban Pharo itu, telah membuat Naya tertawa kecil. Bram dan Phiro pun ikut tersenyum tipis.
"Aro, Aro. Panggil aku Ibu saja, anggap aku ini ibu kandungmu. Sama seperti Iro, memanggil dan menganggapku sebagai ibu kandungnya. Kata Anda yang kamu ucapkan itu, terlalu kaku dan formal bagiku. Apakah kau setuju dengan pendapatku, Aro?" ucap Naya kepada Pharo.