Alisya datang berkunjung ke rumah sakit lagi untuk menengok keadaan Leo. Setelah bertanya pada suster yang merawat, Alisya merasa kecewa. Masih belum ada tanda-tanda Leo akan sadarkan diri.
Alisya lagi-lagi duduk di samping ranjang pasien. Menggenggam tangan Leo yang tak diinfus dengan erat. Matanya yang biasa menatap tajam dan dingin kini terlihat begitu sendu kala melihat wajah Leo.
Usianya dengan Leo hanya terpaut tiga tahun. Namun, Leo mampu menjadi sosok seorang kakak yang sangat baik untuknya. Alisya tak henti memanjatkan doa, semoga Tuhan segera mengabulkan harapannya agar Leo cepat bangun. Dia ingin, Leo menikmati semua kebebasan ini bersamanya. Dia ingin, Leo menemaninya lagi seperti dulu.
"Kak, aku setia menunggu Kakak di sini. Kapan Kakak akan bangun? Cepatlah. Temani aku," bisik Alisya. Sosoknya terlihat begitu lemah sekarang. Pada dasarnya, Alisya juga manusia biasa. Dia seorang perempuan yang memiliki hati rapuh. Namun keadaan memaksanya membangun dinding yang tinggi untuk hatinya agar tak mudah tersentuh oleh orang lain. Setelah semua yang terjadi, sulit bagi Alisya mempercayai orang.
Reza, Mario, dan Lucas pun berusaha keras agar bisa diposisi orang yang dipercaya Alisya. Jangan tanya bagaimana perjuangan mereka yang sangat sulit. Tak ada tujuan lain bagi mereka, selain bekerja untuk menafkahi keluarga, juga membantu Alisya mendapatkan keadilan.
Sekarang, Mario dan Lucas berhasil menemukan satu bukti untuk menyeret Rama ke pengadilan. Masih banyak bukti yang harus dicari, karena yang Alisya inginkan bukan Rama saja yang masuk jeruji besi. Tapi, seluruh keluarga Erlangga.
"Kak, maafkan aku yang berubah jadi pendendam. Aku hanya ingin, mereka semua merasakan sakit yang ibuku rasakan. Para pengkhianat itu tak pantas hidup enak dan nyaman lebih lama lagi. Aku akan menghancurkan mereka semua." Alisya berucap pelan. Hendra dan Sarah, adalah yang paling ingin dia lihat hidup menderita. Dan Alisya akan melakukan apapun untuk mereka. Melakukan apapun, agar mereka mendapatkan balasan yang sangat menyedihkan dan menyakitkan.
Setelah cukup lama di ruangan Leo, akhirnya Alisya memutuskan untuk pulang. Dia keluar dari ruangan Leo, dan meminta suster untuk menjaga Leo sebaik mungkin. Alisya sudah mengeluarkan biaya besar untuk Leo. Tidak, itu bukan uangnya. Tapi itu semua dari perusahaan restoran milik Leo yang sekarang dia kelola.
Di depan rumah sakit, Alisya tak sengaja bertemu dengan Andra. Pria itu mendorong kursi roda, yang di atasnya terdapat seorang pria yang berusia sekitar 60 tahunan. Mereka berpapasan, dan mata mereka beradu tatap. Andra langsung tersenyum, namun Alisya tak membalasnya.
"Sedang apa kamu di sini?" Andra bertanya basa-basi. Alisya diam, menatap Andra dan pria tua di kursi roda bergantian. Sikapnya memang terlihat sangat tak sopan. Namun, itu memang karakternya.
"Ah, ini ayahku. Aku mengantar ayahku check up. Senang bisa bertemu denganmu lagi." Andra berbicara dengan sangat ramah. Alisya masih diam di sana, menatap Andra dengan datar.
"Terima kasih untuk malam itu." Alisya berucap singkat. Wajahnya masih datar dan dingin, tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Andra yang mendengar itu tersenyum kecil.
"Sama-sama. Aku senang bisa membantumu," balas Andra. Alisya mengangguk pelan lalu berjalan pergi dari hadapan Andra. Panji, ayah Andra menatap sang putra cukup lama, yang tak sadar memperhatikan Alisya.
"Siapa barusan?" Panji bertanya. Andra langsung tersadar dan kembali mendorong kursi roda ayahnya.
"Dia Alisya, Yah. Aku tak terlalu mengenalnya sih. Cuma, kami pernah bertemu di suatu malam," jawab Andra. Panji mengangguk pelan mendengar itu.
"Memangnya kamu membantu apa?" tanya Panji heran. Andra diam sesaat, memikirkan alasan. Tak mungkin dia berkata membawa pulang Alisya dari kelab malam ke apartemennya.
"Aku mengantarkannya pulang. Kebetulan saat itu semua asisten dan supirnya sedang sibuk," jawab Andra berbohong. Dalam hati, Andra meminta maaf karena sudah berbohong pada sang ayah.
"Apa dia memang seperti itu? Kelihatannya seperti orang yang tak sopan," komentar Panji. Andra tersenyum kecil mendengar itu.
"Kalau sudah sifatnya begitu mau bagaimana lagi? Lagi pula, dia memang terkenal jarang tersenyum." Andra menjelaskan.
"Ah, begitu. Sayang, padahal dia cantik. Kalau ramah, pasti banyak yang menyukainya," ucap Panji. Andra hanya tersenyum kecil mendengar itu. Memang, itulah pendapat kebanyakan orang. Tapi, orang-orang juga tak tahu alasan apa saja dibalik dinginnya sikap Alisya.
***
Setelah mengantar ayahnya check up, Andra pergi makan siang sendirian di sebuah restoran. Dia sempat ingin mengajak Panji, namun sang ayah menolak. Meminta untuk diantarkan pulang saja ke rumah.
Entah kebetulan atau bagaimana, di restoran tersebut Andra kembali bertemu dengan Alisya. Alisya duduk sendiri, melamun dengan tatapan menatap kosong ke arah jendela. Akhirnya, Andra pun mendekati Alisya. Dia menyapa gadis itu, membuat gadis itu tersentak kaget.
"Kita bertemu lagi," ucap Andra. Alisya menatapnya cukup lama, merasa heran.
"Kamu sendiri saja? Boleh aku temani?" tanya Andra. Alisya diam sesaat, menatap mata Andra dengan tajam. Kemudian dia mengangguk, memberi Andra izin untuk duduk satu meja dengannya.
"Ayahmu tak ikut?" tanya Alisya, sekedar basa-basi. Namun, Andra merasa senang. Tak menyangka Alisya akan bertanya seperti itu.
"Tidak. Ayahku memilih istirahat saja di rumah," jawab Andra. Tak lama, pelayan datang mengantarkan makanan dan minuman untuk Alisya. Sekalian, Andra pun memesan makanan pada pelayan tersebut.
"Alisya, kamu masih sekolah?" tanya Andra penasaran.
"Aku sudah lulus enam bulan yang lalu."
"Jadi, sekarang kamu kuliah?" tanya Andra lagi.
"Tidak. Aku sibuk meneruskan bisnis keluargaku." Alisya menjawab dengan datar. Andra diam dan mengangguk beberapa kali mendengar itu. Dia membuka mulut, hendak bertanya lagi. Namun suara seseorang, menahan Andra untuk bertanya.
"Disini kau rupanya. Dasar iblis! Apa yang kau lakukan pada anakku hah?!"
Sarah, wanita itu berteriak marah pada Alisya. Alisya yang sedang makan langsung menyimpan sendok dan garpunya. Menatap Sarah, dengan tatapan datar.
"Kau sudah tahu, kenapa masih bertanya?" balas Alisya tenang. Wajah Sarah memerah mendengar itu. Tangannya bergerak, ingin sekali menampar dan menjambak rambut Alisya. Namun Andra dengan sigap mencekal tangan Sarah. Sarah langsung melotot marah pada Andra.
"Lepaskan! Jangan ikut campur!" teriak Sarah. Dia berontak, namun Andra tak melepaskan.
"Anakmu mengganggu seorang gadis yang bisa kuliah karena beasiswa. Dan anakmu merasa gadis itu rendah. Aku hanya berusaha menyadarkan anak kurang ajarmu kalau dia juga tak lebih dari sampah." Alisya berujar. Sarah semakin marah mendengar itu. Namun, satpam langsung datang, memegang kedua tangan Sarah dan menyeretnya keluar dari restoran. Andra diam terpaku di tempatnya, menatap Sarah dengan tak percaya.
"Kamu mengenal wanita barusan?" tanya Andra. Alisya menatap Andra dengan heran. Andra terlihat syok saat melihat sarah. Selemah itukah dia hanya karena melihat seorang ibu-ibu marah?
"Ya. Dia orang yang sudah membuat ibuku sakit hati. Dan dia adalah incaranku sekarang," jawab Alisya. Dia kembali menyantap makanannya, seolah tak ada yang terjadi. Namun, reaksi Andra membuat Alisya keheranan.
"Kau kenapa?" tanya Alisya. Andra diam, dengan tatapan kosong ke arah meja. Wanita itu, wanita yang meninggalkannya dengan sang ayah. Wanita yang berkata enggan hidup miskin lagi, lalu pergi meninggalkan Andra yang masih kecil. Wanita yang sudah lama Andra cari, yang kini sudah berbahagia dengan keluarga barunya.
"Dia ibuku."