Jujur

983 Kata
"Sari, uang bulanan masih ada kan. Ingat, penuhi semua keinginan ibuku. Aku tidak mau rejeki seret gara- gara ibu tidak bahagia." Sari hanya tersenyum. Uang dua juta yang suaminya yaitu Fikri berikan, sudah habis akibat gaya hidup mertua nya yang serba mewah. Dia bahkan harus menambal uang belanja, bayar listrik dan lainnya dengan uangnya sendiri. Namun demi menjaga keharmonisan rumah tangga, Sari diam saja. "Serahkan semua sama aku, Mas." Fikri mengangguk, lalu tidur sambil membelakangi Sari. Sesuatu yang akhir- akhir ini suaminya lakukan. Entah apa yang membuat Fikri berubah tapi Sari yakin kalau suaminya tidak akan selingkuh. Dia yakin Fikri orang yang pemalu dan polos. "Mas," panggil Sari dan mencoba memeluk Fikri. "Ah, jangan dekat-dekat. Panas tahu." "I-iya maaf." Hati Sari berdenyut dengan penolakan suaminya. Ia melirik ke arah AC yang menyala. Ruangan ini sangat dingin tapi Fikri justru bilang panas. Jelas suaminya enggan untuk dipeluk. Padahal ia ingin merayakan kenaikan jabatan Fikri sebagai manajer kemarin. 'Akhir-akhir ini Mas Fikri menjadi pemarah dan tidak suka aku sentuh,' batin Sari. Pagi hari, ibunya Fikri menyambut heboh anaknya yang akan berangkat ke kantor. Ia tentu saja bangga putra kesayangannya menjadi manager sebuah perusahaan ternama. Segudang permintaan siap ia berikan pada sang anak. "Fikri, belikan ibu perhiasan ya. Masa ibu hanya memakai perhiasan palsu." "Iya Bu. Tenang saja. Apapun yang ibu inginkan akan Fikri berikan." Tentu saja jawaban tersebut membuat ibunya tersenyum. Sari pun mencoba melakukan hal serupa. "Mas, apa bisa nanti aku dibawakan martabak manis. Rasanya aku kepengen makan martabak," ucap Sari dengan penuh harap. Kesibukan di rumah memang membuatnya tidak bisa keluar rumah. "Tsk kamu ini jangan aneh- aneh. Jangan terus-menerus menambah beban keuangan ku." Tanpa Sari duga, Fikri menjawab permintaannya dengan kata-kata menyakitkan. "M-mas menganggap aku beban?" Fikri membanting tasnya. " Bicara sama kamu percuma. Lebih baik aku berangkat!" Keberangkatan Fikri yang dalam keadaan kesal karena Sari meminta sebuah martabak, membuat Sari terhenyak. Padahal dulu Fikri akan menolak dengan lembut keinginannya jika tidak mampu membelikan. Sekarang ia justru sangat kasar. Lebih tepatnya ia berubah kasar sejak diangkat jadi manajer. "Sudah beban, tapi minta aneh- aneh," cibir mertua Sari. Sari hanya menunduk, ia menarik nafas panjang demi menenangkan hatinya yang berdenyut. Ia memang terbiasa dengan hinaan mertuanya tapi ia sungguh terkejut dengan sikap Fikri yang berubah. *** "Sari sudah masak belum!" Sari yang ada di dapur menoleh ke arah mertuanya yang bermain ponsel sambil selonjoran di depan tv. Dia memakan cemilan dan membuang bekasnya ke sembarang arah. Bahkan kulit buah pun berserakan. Namun Sari tidak mempermasalahkan hal itu karena menganggap mertuanya sudah tua. "Sudah matang, Bu." "Kamu ini lemot banget ya. Pantesan belum punya anak," gerutu mertua Sari. Kata-kata itu kembali menusuk hati Sari. "Maaf Bu. Tadi gasnya habis jadi harus pasang dulu." Mertua Sari yang bernama Surti hanya melengos. Lalu melihat ke arah meja. Tak lama kemudian suara teriakannnya terdengar lagi. "Ya ampun! kamu ini sudah miskin masaknya kok boros sekali! Enak saja menghabiskan uang putraku terus. Apalagi daging sekarang mahal kamu malah masak rendang sebanyak ini hah!" "Anakku yang susah payah cari uang, kamu enak-enakkan di rumah dan boros! Dasar mandul!" Sekali lagi Sari menghela nafas panjang agar tidak tersulut emosi. Padahal gaji yang ia terima hanya dua juta. Sedangkan sisa gaji suaminya diberikan pada mertuanya. Tapi wanita tua itu selalu memarahinya karena boros. Lihat saja sekarang, mertuanya memakan lahap masakan yang ia masak setelah memaki- maki. Memang seperti itulah dia. Surti sangat tidak menyukai wanita miskin dan ia menganggap Sari golongan orang itu. Suara telepon menghentikan Surti yang akan nambah makanannya untuk ketiga kali. Dia segera menjawab telepon dan nampak bahagia. Sari bahkan bingung melihat mertuanya yang kegirangan. Terlebih ia masuk ke kamar lalu berdandan dan pergi begitu saja. Meninggalkan Sari dengan rumah berantakan akibat ulah sang mertua yang membuang sisa makanan dan cemilan sembarangan. "Ibu kenapa terlihat senang ya?" Namun Sari tidak memikirkannya. Dia mulai melakukan rutinitas yang ia jalani selama tiga tahun ini. Dan mungkin kegiatan terakhir yang akan ia lakukan. Sebab Sari akan jujur pada Fikri tentang identitasnya. "Akhirnya selesai juga," ucap Sari yang selesai memasak dan bersih-bersih rumah. Tak terasa satu jam berlalu. Matanya memutar ke arah jarum jam, yang mana menunjukkan kalau sebentar lagi waktunya Fikri pulang kerja. Dia pun segera mandi untuk menyambut Fikri. "Apa aku harus mengatakan identitas ku pada Mas Fikri? Sebab ia sudah setia denganku selama tuga tahun ini," guman Sari. Dia memikirkan apakah harus mengatakan kalau dia bukan wanita biasa seperti yang selama ini Fikri dan Surti kira. Hanya saja Sari teringat dengan sikap Fikri yang dingin dan kasar tadi pagi. "Sudahlah, lihat situasi nanti saja." Sari pun menuju ke ruang tamu, ternyata Fikri sudah datang. Dan dia sedang memasangkan cincin ke ibunya. Sari pun mencium aroma martabak. Dia mendekat dengan antusias. "Wah, kamu memang anak berbakti. Ibu sangat bangga sama kamu Nak." "Iya donk, tapi ibu harus merestui aku nikah---" "Mas sudah datang?" sapa Sari. Kedatangannya membuat Fikri terkejut dan menghentikan ucapannya. "Kamu ini bikin kaget saja. Dari mana saja kamu, kenapa rumah berantakan!?" bentak Fikri. Jelas Sari tersentak, baru pertama kali pria itu membentaknya. Dia pun mengedarkan pandangan ke lantai dan ternyata lantai yang ia sapu dan pel kembali kotor. Sudah tentu Surti pelakunya. "Mas... Yang mengotori itu ibu. Aku tadi sudah nyapu dan ngepel." " Eh main tuduh kamu. Kamu sendiri yang malas. Dasar istri tidak berguna. " "Ya sudah, aku akan menyapu lagi. Trus apa aku dibawakan martabak?" tanya Sari. "Sudah habis. Lagian kamu harusnya bersyukur makan apa adanya. Sudah jadi beban, mandul tapi minta macam-macam, " maki Surti lagi. Surti melihat bungkus martabak. Hati nya seperti teriris. Makian Surti sangat menyakitkan. Namun yang jauh lebih menyakitkan adalah sikap Fikri yang tidak perduli sang ibu memaki dirinya. Sari pun memilih ke kamar dari pada terus sakit hati karena dihina. Niatnya untuk mengatakan rahasia yang ia sembunyikan selama ini, ia batalkan. 'Baiklah, aku akan tetap bersabar. Tapi jika kalian terus menghinaku maka aku tidak akan tinggal diam.' Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN