Perceraian

1404 Kata
"Percepar proses cerai ku." Hanya itu yang Sari perintahkan pada pengacaranya. *** Malam itu, Sari lupa jika belum makan malam. Dia pun bergegas ke meja makan untuk memakan daging rendang yang ia masak. Namun saat ia ke meja makan, Fikri, istri barunya dan Surti mengelilingi meja. Mereka nampak bahagia saat akan makan makanan di atas meja. "Tunggu!" ucap Sari agak keras. Ketiganya menoleh dengan senyum sinis yang tersungging. "Kenapa? mau ngemis makanan ya?" cibir Selvi. Sari tidak memperdulikan tanggapan tidak menyenangkan yang ia dapatkan. "Ini semua memakai uangku, jadi semua makanan ini milikku. Kalau kalian mau makan, beli sendiri, " ucap Sari. Dia mengambil daging dan nasi yang ia sajikan di atas meja. Brak. "Keterlaluan kamu Sari! Inikan dibeli dengan uang nafkah dariku!" Sari tersenyum sinis, "Apa kamu kira uang dua juta bisa menutupi biaya sebulan ibumu yang suka hedon? waktu sakit saja tidak mau pakai bpjs, kalau makan maunya ke restoran," jawab Sari tenang. Surti tidak bisa menyangkal. "Ya wajar donk, itu uang anakku. Jadi aku bisa minta apapun." "Nah kan, pikir sendiri. Apa uang juta itu cukup untuk bayar listrik yang memakai Ac, bayar air, beras, uang BBM kamu, angsuran mobil?" Sari segera melengos pergi. Ia membiarkan Fikri berpikir. Ah sungguh sakit rasanya segala pengorbanan yang ia lakukan sia-sia. Semua demi cinta yang ia impikan. Sari benar-benar ingin ada laki-laki yang tulus mencintainya. 'Bodohnya aku.' Selvi mencebik sinis, "Sudah Bu. Biar aku pesan on line. Ibu bisa makan sepuasnya." "Kamu memang menantu idaman. Pengusaha lagi dan tidak pelit. Tidak seperti gadis kere yang jadi benalu putraku." Langkah Sari berhenti di tengah jalan, tapi kembali melangkah setelah berhasil menenangkan diri. Entah sampai kapan Surti akan mengatakan hal buruk yang berlawanan dengan kenyataan. 'Jadi selama ini dia meminta ini itu karena merasa Mas Fikri memberiku uang belanja?' Sungguh ia tidak habis pikir. Padahal Sari tahu kalau wanita yang menjadi ibu mantan suaminya itu suka menghadiri pengajian tapi ternyata pikirannya begitu picik. Esok hari, Sari hanya berdiam diri di kamar. Dia tidak melakukan apapun karena merasa tidak lagi memiliki kewajiban mengurus Fikri dan Surti. Hanya saja ketenangan yang ia miliki tidak bertahan lama. Gedoran di pintu membuat Sari terkejut. "Heh wanita mandul! cepat bersih-bersih dan masak untuk Fikri dan aku! kamu itu cuma numpang di sini jadi tahu malu sedikit!" teriak Surti. Kali ini Sari benar-benar kesal dengan ulah Surti. Dia membuka pintu dengan wajah dingin. "Numpang? kalau kalian bisa mengembalikan uangku maka aku tidak perlu di sini. Lalu kenapa aku harus mengerjakan pekerjaan rumah? suruh menantu baru mu melayanimu dan anakmu. Kita bukan lagi keluarga!" tegas Sari. Surti mana mungkin berani menyuruh Selvi yang memiliki Cafe untuk melakukan pekerjaan rumah. Namun ia juga tidak mau nyapu, ngepel dan lainnya. Jadi ia menyuruh Sari mengerjakan hal itu. "Pokoknya aku tidak mau tahu. Kamu harus bersih-bersih atau keluar dari rumahku!" "Boleh, tapi aku akan mengadaikan sertifikat rumah ini." Barulah Surti terdiam. Dia nampak pucat dan bingung. Jika sampai Sari melakukannya maka anaknya bisa marah. "Ada apa ini? Pagi- pagi sudah ribut?" tanya Fikri yang nampak segar karena mandi besar. Wajahnya memang lebih tampan dengan rambut yang disisir ke belakang. Sayangnya pria itu kini bercampur dengan wanita lain. Sari yang melihatnya pun hampir muntah membayangkan ia pernah disentuh laki- laki pengkhianat ini. "Tanya ibumu. Kita sudah tidak ada hubungan apapun tapi malah menyuruhku melayani keperluan kalian. Jangan seenaknya atau aku akan menggadaikan sertifikat rumah ini ya." Setelah mengatakan hal itu, Sari masuk ke dalam dengan pintu yang terbanting. Tak lama, Sari mendengar percakapan antara Fikri dan Surti. " Bu, sebelum aku gajian tolong kerjakan pekerjaan rumah. Mana mungkin aku menyuruh Selvi mengerjakan hal kotor seperti masak dan lainnya." "Kamu tega menyuruh ibu melayani istri mu Nak?" terdengar suara Surti yang memelas. "Kita juga tidak mungkin menyewa pembantu Bu. Gajiku sebagai manajer baru turun dia minggu lagi. Selvi itu orang kaya, biasanya dia dilayani." " Tapi biasanya Sari yang mengerjakan pekerjaan rumah." " Kalau ibu tidak mau tinggal di panti jompo, jangan banyak protes. Pokoknya aku akan menyewa pembantu nanti." Sari yang mendengar hanya menggelengkan kepalanya. 'Bukankah dia mantu kebanggaan Ibu? seharusnya ibu menerima konsekuensi donk. Enak saja nyuruh aku jadi pembantu gratisan.' Ponsel Sari berdering. Ternyata pesanan makanan yang ia pesan melalui aplikasi on line sudah datang. Ia pun membuka pintu tanpa memperdulikan ketiga orang yang melihatnya ke arah pintu. Bahkan saat Surti menatapnya dengan marah karena harus melakukan pekerjaan yang biasa ia lakukan pun, tidak Sari perdulikan. "Huh pemalas. Pagi-pagi bukannya masak malah pesan makanan." Selvi menyindir Sari yang lewat. "Ngaca donk, kamu sendiri minta dilayani." Sari menatap sinis pada Selvi yang main ponsel. "Ya beda lah, aku kerja. Tidak kayak kamu yang di rumah saja." "Aku kerja pintar bukan kerja keras." Setelah itu Sari melengos pergi. Dia bahkan sengaja melewati Surti yang selalu memakinya di pagi hari. Semua itu agar Surti mencium aroma makanan yang menjadi favoritnya, sop buntut. Dia ingin sekali membuat wanita yang selalu memakinya itu ngiler. Tak lama kemudian suara mobil terdengar menjauh. Sari yakin kalau Fikri dan Selvi pergi bekerja. Tanpa disangka, Surti mengetuk pintu kamar Sari. Kali ini nada suaranya agak lembut. Sari tahu benar kalau wanita tua itu akan mengiba. "Sari, Nak. Tolong buka pintu." Sari dengan malas membuka pintu. "Ada apa Bu?" "Ano, apa sup buntutnya masih ada. Kalau masih ada ibu minta sedikit ya? tadi Selvi dan Fikri tidak menyisakan makanan untuk ibu." "Sudah habis," jawab Sari singkat. Dia sangat hafal dengan sikap mertuanya. Wanita ini akan baik jika memiliki keinginan. "Ya ampun, padahal Ibu lapar. Rasanya lelah sekali mengerjakan tugas rumah dan masak." Surti sengaja mengatakan hal itu untuk membuat Sari iba dan mau membantunya. "Oh." Sekali lagi Sari menanggapi dengan acuh tak acuh. Surti mulai memutar otak agar Sari mau mengerjakan pekerjaan rumah. Dia berpura-pura memegang kepalanya. " Aduh kepalaku. Sudah tua begini tapi disuruh kerja berat di rumah. Tidak ada yang membantu lagi." Sari yang bosan dengan akting Surti, segera menutup pintu kamar. Dia tidak akan terjebak dengan akting mertuanya lagi. "Dasar tidak punya hati!" maki Surti kemudian. Inilah Surti, dia akan kembali ke sifatnya jika mendapatkan apa yang ia inginkan, atau tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Dulu Sari akan menuruti semua keinginan Surti agar Fikri tidak kepikiran. Walau pun setelah itu Surti akan kembali judes. Seharian ini, Sari sama sekali tidak melakukan apapun. Dia main ke tetangga dan membiarkan Surti seharian mengurus rumah. Wanita itu mengepel, mencuci baju, masak dan lainnya. "Lho, Mbak Sari. Kok sekarang mertuanya yang bersih-bersih?" Sari tersenyum tenang. "Mas Fikri sudah mentalak saya Bu Wati. Jadi saya tinggal di sini sampai masa iddah habis." "Yang bener, Mbak?" Ibu-ibu lainnya segera kumpul. " Iya Bu. Mas Fikri sudah menikah lagi." Sari dengan wajah sendu mulai bercerita. " Sabar ya Mbak. Padahal Mbak Sari cantik lo. Tidak pelit juga. Bahkan Mbak Sari mau meladeni keinginan Bu Surti yang boros." Lingkungan sini sudah melihat seperti apa boros nya Surti. Namun Sari selalu menuruti keinginannya. Ponsel Sari bergetar. Dia membaca pesan dari Gunawan yang ia beri perintah kemarin. Tugas selesai Bu, Pak Fikri sekarang hanya OB. 'Bagus,' batin Sari. "Maaf ibu-ibu. Saya ingin pulang dulu." Sari pamit dan mempercepat langkahnya agar melihat pertunjukan di rumah. Ia ingin melihat wajah Fikri yang diturunkan jadi OB. Saat ia tiba di pintu rumah, suara Surti terdengar seolah panik. "Apa!? kesalahan. Ternyata yang diangkat jadi manajer bukan kamu tapi Fikri yang lain!" Sari melihat jika tubuh Surti nampak lemas. Begitu pula dengan Fikri. Dia mengusap kasar rambutnya. Bahkan matanya juga merah. Pasti pria itu terpukul. Namun Sari berpura-pura tidak mendengar dan berlalu begitu saja. "Apa kamu puas?" suara Fikri menghentikan langkahnya menuju ke kamar. "Maksudnya?" tanya Sari balik. "Aku tidak jadi memegang posisi manajer, perusahaan membuat kesalahan. " "Oh, pantas saja. Kamu kan lulusan SMA dan tidak punya keahlian, mana mungkin jadi manajer," cibir Sari. "Sudahlah apapun yang terjadi, tidak ada hubungan denganku. lagi pula aku sudah mendaftarkan perceraian. Kamu jangan datang agar proses cepat selesai dan tidak bertele- tele. Apa kamu tidak sayang jika kehilangan istri mu yang pengusaha Cafe itu?" Fikri terdiam. Dia yakin kalau Selvi tahu dia sekarang hanya OB, wanita itu akan meminta cerai. "Iya Fikri. Ibu tidak kau kehilangan menantu pengusaha. Biar saja Sari yang urus perceraian kalian dan sembunyikan kalau kamu sekarang OB." Walau apa yang ibunya katakan benar, tapi Fikri mulai ragu untuk berpisah dari Sari. Selama ini Sari menerima dia apa adanya tanpa perlu sembunyi- sembunyi. Hanya saja ia tidak yakin kalau Sari akan menerimanya lagi. Tbc.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN