Bab 9

1188 Kata
Langit mengangguk menanggapi sapaan duo simbok saat meliwati dapur. Dia melanjutkan langkah menuju taman belakang, tempat favorit sang mama untuk mencari wanita yang telah melahirkannya itu. Benar saja, wanita yang dirinya cari ada di sana. Langit berhenti sejenak memperhatikan interaksi sang mama dengan ART barunya. Entah apa yang mereka bicarakan hingga membuat Rere beberapa kali menyunggingkan senyum bahkan sesekali tawa geli muncul pada wajah cantik itu. Sepertinya Rindu pandai menghibur mamanya hingga tangis diam-diam yang selalu Langit lihat tidak tampak sejak kedatangan gadis itu ke rumahnya. Berjalan mendekat, Langit menyapa Rere yang baru saja menghabiskan sisa tawanya. “Hai, Ma.” “Hai ....“ Rere menerima uluran tangan sang putra. “Gimana hari ini di kantor?” tanyanya. Langit mengingat kejadian menyebalkan ulah ART barunya siang tadi. Dia melirik pada Rindu yang tidak berani mengangkat kepala. “Hari ini ..., “ -Langit menggantung kalimatnya sambil bersedekap dan tatapnya tidak teralihkan sedikit pun dari sang ART- “ada orang yang bikin aku bad mood di kantor.” “Anyelir?” Rere bertanya. Sebenarnya Rere tidak terlalu suka dengan gadis kekasih sang putra, hanya saja dia tidak ingin menekan Langit dengan perasaan yang sedikit mengganggunya. “Anyelir nggak pernah bikin aku bad mood, Ma.” “Lalu?” “Ada orang asing yang tiba-tiba masuk kantor dan yah ... dia berhasil bikin suasana hati aku bener-bener buruk.” Rere mengernyit. “Mungkinkah yang dimaksud Sri?” tanyanya dalam hati sembari tersenyum geli. Dia melirik pada Rindu yang memasang tampang bodoh. Sepertinya dugaan Rere benar. Rere kembali tersenyum geli. “Ya udah, aku mandi dulu, Ma,” pamit Langit tidak ingin membahas lebih lanjut. Malam ini dia ada janji bertemu dengan kekasihnya untuk makan malam di luar. Rere mengangguk kemudian berbisik pada Rindu, “Kamu bikin ulah apa di kantor?” Tidak mungkin Langit marah jika Rindu hanya mengantarkan makanan. “Hah?” Rindu yang kaget karena Rere mengetahui kelakuannya hanya bisa menganga. Rere terkekeh. “Kamu nggak gangguin Langit sama Anyelir kan, Sri?” “Bu Rere tahu?” “Apa?” “Maksud aku ... Bu Rere tahu apa yang terjadi di kantor?” Rere menggeleng. “Kalau tahu aku nggak mungkin nanya sama kamu.” “Umm, tadi ....“ Menanti jawaban Rindu dengan senyum geli, Rere manggut-manggut. “Hmm?” tuntutnya. “Anu, Bu ... tadi saya cuma ....” “Kamu ganggu Langit lagi mesra-mesraan sama Anyelir, ya?” Rindu menggaruk pelipisnya yang jadi terasa gatal. Kenapa dia jadi terlihat bodoh sih? “Nggak pa pa, Sri, sekali-kali bikin mereka kesel.” Tanpa diduga jawaban Rere membuat Rindu seperti diberi angin. “Bu Rere tahu apa yang mereka lakukan di kantor?” tanya Rindu penasaran. “Yah, saya tahu semuanya.” “Dan Bu Rere membiarkan mereka melakukan itu?” “Apa yang bisa saya lakukan?” Jangankan untuk pergi ke kantor dan menegur keduanya, berdiri saja dirinya tidak mampu. “Lalu apa yang kamu lakukan hingga bikin Langit marah?” “Saya dua kali membuat mereka gagal b******u, Bu.” Rindu tersenyum canggung sementara Rere tergelak. Tidak percuma Rere meminta Rindu ke kantor. Rupanya gadis itu mampu berimprovisasi. Langkah kaki mendekat membuat keduanya menoleh. “Wah, Mama bahagia banget kayaknya?” tanya Langit dengan setelan kasual. Rere tersenyum. “Ini, Sri bikin Mama ketawa terus,” balasnya. Dia memperhatikan penampilan sang putra. “Mau ke mana sore-sore udah rapih gini?” “Mau jalan bentar, Ma.” “Sama Anyelir?” Langit mengangguk. “Oh ya, Ma, aku boleh ngomong bentar sama Sri?” “Aduh! Apa lagi nih bocah?” seru hati Sri. “Boleh, silakan.” “Ayo, Sri.” Mau tak mau Rindu mengekor. “Buka pintu kamar kamu!” titah Langit. Kenapa pula ke mana-mana membawa kunci kamar, memang Rindu tidak repot setiap keluar harus dikunci kamarnya? Lagi pula siapa yang ingin masuk dan mengambil barang-barangnya? Pikir Langit. “Mau apa ke kamar saya, Mas?” Tidak masalah bagi Rindu, Langit ingin bicara di mana pun. Yang dia khawatirkan adalah jika putra majikannya itu sampai masuk kamar dan melihat isi lemarinya. “Aku kan udah bilang, ada yang mau aku omongin.” “Di kamar?” “Yah, karena aku nggak pingin ada yang denger pembicaraan kita.” “Tapi ....“ “Kenapa?” “Eng-enggak ....“ Dengan terpaksa Rindu merogoh kunci dalam saku celananya kemudian mulai membuka pintu. Rindu masuk lebih dulu disusul Langit. Suara pintu ditutup membuat gadis itu menoleh waspada. Langit menatap ke atas ke bawah tubuh yang tertutup rapat celana dan kaos oblong pendek itu membuat Rindu risih. “Cukup menarik,” komentarnya. “Apa maksud, Anda?” Langit berjalan mendekat namun dengan berani Rindu menatap netranya yang tidak mengalihkan sedikit pun tatapan dari wajah gadis itu. “Kalau kamu berani gangguin aktifitas aku sama Anyelir lagi, bersiaplah untuk menggantikannya.” Deg! Jantung Rindu berpacu sangat kencang. Bukan karena kata menggantikan yang mengganggu pikirannya tapi cara Langit mengetahui kelakuannya yang dia khawatirkan. “Maksud, Mas Langit?” “Nggak usah pura-pura bego!” Langit berhenti empat puluh sentimeter tepat di hadapan Rindu. “Kamu sengaja kan gangguin aku tadi siang?” Jangan tanya mengapa Langit bisa tahu karena banyak kamera pengawas di kantor dan terhubung langsung dengan laptop sang CEO. Langit juga melihat dengan jelas melalui CCTV bagaimana gadis itu dengan percaya diri berjalan dengan wajah mendongak, d**a dibusungkan seolah dia adalah seorang wanita angkuh yang patut diperhitungkan. Rindu memalingkan wajah ke samping, menyembunyikan tatapan beraninya. “Kenapa dipalingkan mukanya?” kekeh Langit. “Mana tatapan berani yang kamu tunjukkin tadi siang?” “Rindu, bodoh!” umpat Rindu dalam hati. Beginilah kalau tidak bisa mengendalikan diri. Dia sudah bertekad untuk menyamar, seharusnya tidak perlu dirinya tunjukkan sikap arogan yang sudah terlanjur melekat sejak dendam menguasainya. Namun karena terlanjur diketahui Langit, Rindu mengangkat wajah. Netranya tepat menusuk manik kebiruan milik Langit. Lekat keduanya saling tatap. Rindu yang berani dan Langit yang tidak mungkin mengalihkan pandangan karena terlanjur menantang. Tanpa mereka duga jantung keduanya berdetak di atas normal hingga ketukan di pintu mengalihkan mereka. “Sri, Langit, kalian di dalam?” tanya Rere di depan pintu. Dia khawatir Langit benar-benar marah dan berujung menyakiti Rindu. “Iya, Ma.” Langit menjawab dengan tangan berkacak pinggang berusaha menetralkan detak jantung yang tiba-tiba bekerja ekstra sementara Rindu berjalan menuju pintu. “Ada apa, Bu?” tanyanya berusaha menguasai diri. Wajahnya bahkan masih memerah karena insiden tatap menatap baru saja. “Enggak, saya cuma mau minta tolong buatkan saya teh manis karena kedua simbok sepertinya sedang sibuk di kamar masing-masing,” kilah Rere. “Baik, Bu.” Rindu mengangguk kemudian melipir ke dapur. “Makasih, Bu Rere,” ungkap gadis itu dalam hati. Bisa habis dia menahan malu di depan Langit jika majikannya itu tidak mengetuk pintu. “Langit,” panggil Rere karena sang putra tidak juga menoleh padahal pintu sudah terbuka lebar. “Katanya mau pergi.” Langit berbalik. “Iya, Ma, aku pergi sekarang,” pamitnya kemudian menyeret langkah melewati sang mama. Dia melirik pada Rindu yang memilih fokus pada air yang dimasak. “Huh! Apa yang aku lakuin?” gumam Langit tanpa didengar siapa pun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN