Sepuluh tahun yang lalu ...
Saat di halaman depan ramai karena dipakai untuk resepsi adik ibunya yang bungsu menikah, Danuaji Dewangga justru membawa salah satu tamu undangan ke taman belakang. Demi apa pun, mereka belum tahu nama satu sama lain. Tapi, karena di mata Danu gadis itu terlihat cantik, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu.
“Kau tidak punya pacar, kan?” tanya Danu setelah berhasil mengungkung gadis tersebut di antara tubuhnya dan pohon pinus. “Usiamu berapa? Kau cantik dengan dress bunga ini. Akan jauh lebih cantik kalau aku menciummu.”
Pipinya memerah, imut sekali. Di bawah tatapan Danu, bulu mata lentiknya bergerak pelan. Berkedip pelan, tidak mau balas menatap karena terlalu malu. Sementara tangan di sisi kanan dan kiri, meremas ujung dress yang dikenakan.
“Di antara tamu undangan, kau mencolok karena berbeda. Dari kejauhan aku menatap, bergumam kalau ingin mengajakmu ke suatu tempat. Dan sekarang, di sini kita berada. Sebuah kejutan, kau lebih dari ekspektasiku setelah dilihat dari jarak dekat.”
“Mmm ... aku Gisela, keponakan jauh Om Alfa ...” Kening Danu otomatis terangkat, saat mendengar nama Alfa. Berarti gadis di depannya ini keponakan dari suami tantenya. Hm, menarik. Kalau tahu dari awal ada Gisel, Danu pasti tidak akan absen di setiap pertemuan dua keluarga. Dengan begitu mereka bisa pendekatan lebih lama. “Aku ... aku udah punya pacar.”
Mendengar pernyataan naif itu, Danu tidak bisa menahan kekehan. Dia malah tertantang, karena melihat Gisel yang mau-mau tapi tidak mau. Hei, orang awam saja paham kalau Gisel terlihat tertarik balik pada Danu, tapi dia sadar kalau statusnya tidak sendiri lagi.
“Sayang sekali. Kalau begitu, karena tidak ingin bersaing dengan pacarmu, aku hanya memberi kenang manis. Misal kau mau menerima, anggukan kepala dan tutup mata. Aku yakin, kau juga menyukainya.”
“A-apa itu?”
“Kau percaya padaku, kan?”
Gisel mendongak cepat, memberanikan balas menatap Danu. Hingga beberapa saat, dia mengangguk pelan dengan pipi kian memanas. Gisel tahu siapa Danu, karena pernah bertanya pada Tante Indira–yang sekarang jadi istri Om Alfa. Jujur saja, Danu lebih tampan dari pacarnya, tapi Gisel tetap menyayangi pacarnya, karena sama Danu mereka hanya baru mengenal.
“Tutup mata.”
Seperti mantra, Gisel langsung menurut. Dia memejamkan mata, membuat Danu diam-diam tersenyum menang. Lihat, semudah ini dia membuat seorang gadis takluk. Memang benar, pesonanya tidak bisa ditolak. Kalau kata mantan teman kencannya, terlalu mematikan namun sayang bajingann.
Perlahan tapi pasti Danu mendekatkan wajah. Matanya masih betah mengamati, seolah sedikit saja memejam maka visual Gisel akan hilang. Dia tidak mau memagut tanpa menatap lawan, karena sensasi nikmat itu sendiri akan hilang. Terlebih karena melakukannya tanpa perasaan, maka itu tindakan paling dominan yang Danu tunjukkan.
Tinggal beberapa senti lagi bibirnya mendarat di bibir Gisel, tapi tiba-tiba Danu memekik keras karena rasa sakit yang menyerang di kaki kanan. Keinginan untuk mencium Gisel luntur berganti kekesalan. Langsung dia menarik diri, kemudian menoleh dengan emosi. Alis Danu nyaris bertaut, karena begitu dalam mengerutkan kening.
“Nggak tau malu!”
Suara cempreng itu membuat Danu menunduk. Ah, gangguannya ternyata datang dari anak kecil yang memegang kayu ini. Sialann, Danu dipukul dengan kayu. Pantas saja sakit dan berdenyut sampai sekarang.
“Siapa yang membawamu ke sini?” Danu bertanya tenang, perlahan dia berjongkok untuk menyejajarkan tinggi badan. Sementara pada Gisel, dia berisyarat meminta pergi, karena mood Danu sudah buruk. Tidak punya keinginan untuk mencium gadis itu lagi. “Darimana kau dapat kayu?”
“Aku ambil asal. Tapi, Om emang butuh dipukul. Karena tadi perbuatannya nggak terpuji!”
“Namamu siapa?”
“Nggak usah tahu!”
“Hei, aku tanya baik-baik.” Alis Danu terangkat sebelah, ditelitinya anak itu dengan saksama, kemudian mengangguk-angguk. “Kau pasti cantik setelah besar nanti. Kalau mau berciuman denganku, tunggu usiamu delapan belas atau sembilan belas tahun. Sampai saat itu tiba, datang dan tagih saja. Aku tidak keberatan mengajarimu.”
Yang membuat Danu langsung terkekeh adalah, anak itu memasang kuda-kuda. Bersiap memukul Danu lagi dengan tampang was-wasnya. Kalau dipikir-pikir, yang ini terlihat jauh lebih imut dari Gisel. Matanya sipit serta pipinya yang chubby, benar-benar tipe Danu sekali. Tapi, sayang, masih anak-anak. Mungkin usianya sekarang sebelas atau dua belas tahun.
“Aku Danuaji Dewangga. Ngomong-ngomon, kau belum menjawab pertanyaanku. Oh, satu hal lagi, aku bukan om-om. Usiaku baru dua puluh tahun. Harusnya kau memanggil kakak, karena aku masih muda.”
“Enggak mau! Seorang kakak nggak pernah mencontoh hal yang enggak baik. Aku juga seorang kakak. Bunda bilang, aku harus menjaga sikap, supaya adik enggak menirunya. Tanggung jawab seorang kakak itu besar, Om nggak bisa menyepelekan sebutan itu, apalagi Om ini sudah tua.”
Dinasihati orang tua sudah biasa. Dinasihati anak kecil, ini baru luar biasa. Danu bahkan tidak bisa menahan diri dari rasa geli. Kemarahannya tadi, berganti dengan tertarik lebih dalam untuk mendengar setiap ocehan. Danu jadi bertanya-tanya, anak siapa di depannya ini? Kenapa bisa nyasar ke sini? Bertepatan dengan momen ‘nyaris berciuman’ dengan Gisel lagi.
“Aku tidak mau mendengarkan kalau kau tidak memberitahu nama. Kita ini asing, tentu saja aneh kalau kau tiba-tiba datang, memukulku, lalu memberi ceramah seperti perempuan dewasa. Mana di wajahmu tidak ada raut sopan santun sama sekali.”
“Baiklah. Namaku Kia. Om tahu, nggak ada batasan usia kalau soal menasihati tentang kebaikan.”
“Baiklah, Kia, apa yang kau bilang itu benar, tapi Om yang memutuskan untuk menerima ocehanmu atau tidak.” jawab Danu, pada akhirnya menerima kalau dia om-om. Mengabaikan fakta Kia yang memberengut, dia justru tertarik mengacak-acak rambut anak itu. “Mungkin belasan tahun nanti, kau lebih menyebalkan dari hari ini. Well, jadi menarik kalau dibayangkan.”
“Aku enggak mau tuh ketemu sama Om lagi.” Kia kemudian mundur, juga menjulurkan lidah. “Kalau sifatnya masih jelek, misal berpapasan di jalanpun aku pura-pura enggak kenal. Yah, untungnya kita emang nggak saling kenal, jadi aku bersyukur banget.”
“Hei, hanya kau yang bilang seperti ini.”
“Karena Om emang pantes dibilang begini.” Sekali lagi Kia menjulurkan lidah, kemudian berbalik–berlari kecil. Tanpa menoleh lagi, dia berteriak, “Semoga Om Danu nanti sudah ketemu sama yang namanya rasa malu. Atau paling enggak, satu dua kalimat dari aku tadi menempel di kepala Om Danu.”
Dia masih berjongkok saat melihat Kia kian menjauh. Kekehan kembali hadir, memikirkan tingkah anak itu. Dibanding Gisel yang remaja, Kia justru punya pendirian kuat dan lebih dewasa. Hm, anak yang menarik. Danu mendadak penasaran, bagaimana jadinya nanti seorang Kia versi dewasa? Ngomong-ngomong, apa namanya hanya Kia saja?
***
Sembilan tahun setelahnya ...
“Kak, habis cuci piring katanya disuruh ke kamar Eyang. Ada yang mau dibicarakan,” beritahu Bunda, saat Azkia memasang sarung tangan karet. “Nanti sehabis dari Eyang, langsung istirahat aja. Jangan nonton lagi, besok ‘kan masa tenang sebelum ujian semester. Nah, kakak harus tidur lebih awal, supaya otaknya rileks.”
“Iyah, Bun.”
Setelah kepergian Bunda, sekarang Azkia fokus pada cucian di depannya. Rutinitas sehabis makan malam memang begini. Kalau Bunda yang membersihkan meja, maka Azkia yang mencuci piring. Begitu sebaliknya.
Meski mereka punya asisten rumah tangga, Bunda tetap mengajarkan anak-anaknya untuk lebih mandiri. Biar kalau ada apa-apa, semua bisa dikerjakan sendiri tanpa meminta bantuan orang lain.
Oh, Bunda tadi sempat tertawa melihat Azkia yang mengenakan sarung tangan karet. Karena mau gimana lagi, Azkia iseng membeli di sebuah toko online. Efek dari drama Korea yang ditonton, membuat Azkia keracunan membeli barang ini. Dan luar biasa, ternyata cukup nyaman digunakan. Jadi, setelah selesai nanti Azkia tidak perlu mengeringkan tangan lagi.
Belasan menit terlewat, akhirnya tugas Azkia selesai. Dia meninggalkan dapur dalam keadaan lampu dimatikan. Azkia melewati lorong memanjang, kemudian berbelok ke kanan menuju area kamar. Di pintu kedua dia langsung mengetuk, setelah mendapat sahutan dari dalam, Azkia langsung masuk.
“Eyang,” sapa Azkia setelah menutup pintu. “Kata Bunda, Eyang mau bicara.”
“Iya, Sayang. Ayo sini duduk di samping Eyang.”
Langsung Azkia menurut. Eyangnya setengar bersandar dengan selimut menutup sebatas pinggang, sementara Azkia kini duduk di tepi ranjang. Mulai inisiatif memijat-mijat kaki Eyang, membuat beliau mengerang nyaman.
“Kuliahnya gimana, Nak?”
“Lancar, Eyang. Senin mau ujian semester.”
“Udah semester lima akhir, ya?”
“Iyah.”
“Kia sudah punya pacar?”
“Eh?” Langsung Azkia bersemu. Pertanyaan ini membuatnya malu, meskipun sebenarnya tidak ada yang aneh. Jujur Azkia punya seseorang yang disuka, tapi sama sekali belum pernah berpacaran. “Enggak punya, Eyang.”
“Bagus. Kalau begitu, jangan menjalin hubungan ya, Nak. Eyang sudah punya calon suami yang tepat buat kamu.”
“Eh?”
“Kalau memang ada jodoh dan semuanya dilancarkan, nanti kalian pasti ketemu.”
“Ini ... serius, Eyang?”
Senyum Eyang mengembang. Beliau mengusap lembut pipi Azkia, kemudian mengangguk pelan. “Sudah, ya? Cuma ini yang mau Eyang sampaikan. Kia boleh kembali ke kamar, langsung istirahat ya, Sayang?”
“Tapi, Eyang–”
“Selamat malam. Ingat pesan Eyang tadi.”
Mau tidak mau Azkia berdiri. Dia kemudian mencium kedua pipi Eyang, kemudian keluar dengan kepala penuh akan pertanyaan-pertanyaan. Sibuk menebak apakah Eyang bercanda atau tidak. Tapi untuk sekarang, Azkia tidak mau menanggapi serius dulu. Karena mungkin saja ... Eyang hanya iseng.
***