-6-

4844 Kata
9. Ujian yang kini masih belum memuaskan membuat Ayah semakin tidak tahan. Beberapa orang sudah gagal melewati ujiannya. Baik perempuan atau laki-laki semua sama saja, gagal. Kini tinggal dua orang. Antara aku dan Amanda. “Amanda maju.” Ternyata Ayah memilih Amanda terlebih dulu ketimbang aku. “Ini saatnya kamu membalaskan dendam kita.” Agatha mulai mengojok-ojoki dengan muka sebalnya yang malah terlihat lucu. Aku tersenyum mengangguk. Amanda maju dengan lagak sombong. Badannya dia busungkan ke depan dan dia angkat wajahnya setinggi mungkin. Dari caranya berjalan, memang aku tidak melihat ketakutan di raut atau di gerakkan tubuhnya. “Sombong sekali dia. Gagal baru tahu rasa.” Agatha mendengus kesal. Sepertinya dia benar-benar membenci Amanda. Setiap gerakkan Amanda dia komentari dengan komentar penuh kekesalan. Semua anggota mempunyai luka yang sama di bagian kaki. Kecuali aku dan Amanda. Kami belum merasakan rasa sakit yang anggota lain rasakan. Kalau aku berharap, aku tidak akan mengalaminya. “Seperti yang sudah-sudah. Dalam hitungan ketiga para anjing itu akan mengejarmu.” Ayah memberi instruksi pada anak kandungnya. “Siap, Ayah. Amanda sudah mempersiapkan diri sejak lama untuk menghadapi ujian ini.” Amanda senyum dengan penuh percaya diri. Banyak sekali yang sudah merasa bodo amat dengan ujian ini. Mungkin mereka semua mengerti, kalau mereka merasa dibodohi oleh Ayah. Karena memang semua sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi saja Ayah meningkatkan kekuatan para anjing itu sehingga semua kewalahan. “Satu dua tiga.” Ayah membuka kandang para anjing itu. Para anjing itu berlari mengejar Amanda. Amanda dengan singgap langsung terbang. Para anjing itu tentu gelagapan. Mereka hanya bisa menggogong seolah meminta Amanda agar mau turun. “Dasar para anjing bodoh. Siapa coba yang mau turun mendekati kalian? Haha” Amanda tertawa sombong. “Kalau bisa terbang begitu, aku pasti juga bisa menang. Ini memang ujian yang curang.” Agatha menggerutu kesal. Amanda masih belum terkejar oleh para anjing bodoh itu. Ayah berjingkrak-jingkrak bahagia melihat Amanda bisa terbang seperti itu. Tentu saja hal itu mengundang tatapan sinisku padanya. Mana ada ujian kok yang dimudahkan hanya anak kandungnya. “Kenapa kamu masih diam Aleksia?” Agatha cemberut. “Tenanglah. Ayah masih akan meningkatkan kekuatan para anjing itu.” Aku menebak kalau Ayah juga akan meningkatkan kekuatan para anjing itu untuk menghindari protes yang akan kami layangkan. Tebakanku benar. Para anjing itu tiba-tiba saja berlari ke atas pohon dan dapat lompat tinggi. Amanda terkejut karena para anjing nyaris berhasil meraih tubuhnya. Amanda menghilang. Semua anggota terkejut kecuali aku. Aku masih bisa melihat Amanda ada di mana. Dia sedang berteduh di bawah pohon. “Apa kamu bisa melihat dia di mana?” Agatha mencari-carinya. “Dia sedang berteduh di bawah pohon.” Aku menjawab tanpa melihat ekspresi Agatha. Agatha terkejut. Matanya membelalak. “Sebenarnya apa kekuatan yang kamu miliki Aleksia?” Agatha ternyata diam-diam menyelidik. “Eh. Aku tidak punya kekuatan apa-apa.” Aku yang mulai sadar mencoba menutup-nutupi kekuatanku. Agatha diam tetapi masih menyimpan kecurigaan terhadapku. Amanda belum selesai sampai di situ. Ayah yang semakin kegirangan menambah lagi kekuatan para anjing itu. Amanda terkejut karena para Anjing itu bisa melihatnya. Dia pun lari terbirit-b***t dan menampakkan wujudnya lagi. Mereka semua terpana melihat kekuatan Amanda. “Kapan kamu akan menyerangnya?” Agatha bertanya lagi. Sebenarnya mendengar dia bertanya terus-menerus dengan pertanyaan yang sama, hatiku menjadi panas. Rasa-rasanya aku menjitak kepalanya. “Diamlah. Tunggu saja. Kamu nanti akan bahagia melihat semuanya.” Aku merasa kesal. Agatha mengangguk lalu diam. Amanda mengeluarkan kekuatan ketiganya. Dia bisa amblas ke tanah ternyata. Aku mengangguk-angguk ketika baru menyadari saat ini. Semua kembali tercengang. Ayah semakin bersemangat. Dia sangat bahagia atas pencapaian anaknya saat ini. Dan ini menjadi kesempatanku untuk mengerjainya. Aku memancing kecoa agar mengerubungi tubuhnya. Dengan kekuatan yang aku punya, para kecoa itu mengerubungi. Aku cekikikan sendiri. “Kenapa kamu cekikikan?” tanya Agatha menyelidik. “Aku membuat tubuh Amanda dikerubungi oleh kecoa-kecoa saat dia ada di bawah tanah.” Aku menutup mulutku agar suara tertawaku tidak terdengar. Agatha sumringah. Senyum di bibirnya sangat lebar. Dia tos denganku secara diam-diam. Karena tidak sanggup melihat kecoa-kecoa itu, Amanda muncul ke permukaan. Dia menjerit-jerit histeris saat mencoba menghilangkan kecoa-kecoa yang ada di tubuhnya. “Kecoa ... Kecoa ... tolong.” Di tengah-tengah dia panik membersihkan kecoa-kecoa di tubuhnya, para anjing itu menyerbu kakinya. Ayah kembali murung. Dia memegangi keningnya karena tidak sanggup melihat semua ini. Belum ada yang berhasil dari sekian banyak anak-anaknya. Aku tersenyum jahat melihat kejadian ini. Amanda tidak tahu kalau kecoa-kecoa itu adalah ulahku. Dia merasa kalau kecoa-kecoa itu datang secara naluriyah. Hal itu dia ungkap saat memprotes Ayah. “Sudah jangan banyak protes atau tidak aku beri makan kamu nanti.” Ayah meminta Amanda untuk kembali. Amanda meringis kesakitan. Kakinya juga sama dengan yang lain, terkena gigitan para anjing. Kini giliranku yang terakhir. Semua orang pasti menungguku. Terlihat dari tatapan mereka yang seolah menganggap aku ini adalah orang misterius. “Kalau kamu yang maju tentu aku yakin kamu pasti akan berhasil.” Agatha benar-benar yakin untuk hal itu. “Belum tentu. Kamu pasti tahu kan bagaimana ujian ini sejak tadi?” Aku menggelengkan kepala. Agatha mengangguk ketika aku berjalan ke depan menuju lapangan. Semua mata tertuju padaku. Tak terkecuali Amanda. Tatapannya sangat berbeda dari anak-anak yang lain. Mungkin dia tidak terima kalau dia gagal dalam ujian. Aku yakin pasti dia akan mencari untuk menggagalkan ujianku agar semua anak gagal. Tetapi itu tak akan aku biarkan. Bermain-main denganku tidak semudah bermain-main dengan yang lain. “Apa kamu sudah siap Aleksia?” Ayah menatapku dengan tatapan yang berbeda. Mungkin dia tahu apa yang aku miliki. Makanya dia tidak mau menatapku dengan tatapan yang remeh. “Sudah.” Aku mengangguk dan menjawab Ayah singkat. Semua tampak tegang. Mereka memperhatikanku. Satu dan dua anak berbisik-bisik. Menurut pandanganku, mereka sedang membicarakanku soal aku yang misterius. Banyak yang sudah saling mengenal satu dengan yang lainnya. Tetapi tidak semua bisa mengenalku. Hanya Agatha yang mampu melunakkan hatiku untuk berkenalan. Itu pun karena aku membayangkan kalau apa yang dia alami sama dengan yang aku alami. “Aku ingin melihat seberapa hebat kemampuanmu. Satu dua tiga.” Para anjing itu mengejarku. Aku diam dan melentangkan tanganku, Semua terperangah. Para anjing itu hanya berlari di tempat. Agatha yang melihatku melakukan itu terperangah. Dia tidak menduga aku bisa mempunyai kekuatan yang sama dengannya. Karena memang hanya aku yang tidak disebut kekuatan khususnya. Para anjing itu tidak bergerak sama sekali. Mereka hanya lari di tempat sembari menggogong. Amanda merasa kesal. Dia mengepalkan tangannya. *** Sebelum pulang tadi, aku menyempatkan menelepon anggota lain untuk membawa mobil tahanan ke alamat yang share. Mobil itu segera datang dan mereka semua masuk ke dalam mobil tahanan. Sepanjang perjalanan pulang aku mengumpat terus-menerus di dalam mobil. Willy juga hanya meringis karena tidak tahu bakalan begini ceritanya. “Kok bisa dia menipu ya, Komandan? Padahal paranormal itu sudah kondang sejak aku kecil. Berarti sudah tiga puluh tahun dia berkecimbung di dunia itu.” Willy menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Mana aku tahu, yang jelas kita perlu mencari paranormal lain yang bisa kita ajak kompromi. Kamera CCTV sebanyak ini mau kita apakan? Wah k*****t sekali paranormal itu.” Aku memegangi kepala karena ketakutan akan ancaman dari musuh. Ini benar-benar situasi darurat. Tidak mungkin aku akan membiarkan manusia tak kasap mata itu membunuhku. Aku tidak mau rencana yang mungkin sudah mereka buat untuk membunuhku berhasil begitu saja. Tentu saja aku tidak mau mati konyol ditusuk tombak atau senjata lain seperti Komandan Burhan atau tiba-tiba leherku dicekek tangan tak kasap mata oleh mereka lalu mati. “Aku benar-benar takut jika giliranku tidak akan lama lagi.” Aku menggeliat ketika mengucapkan itu. Tubuhku mendadak merinding semua. “Benar, Komandan. Bukan hanya Komandan, kita semua juga tidak mau menjadi giliran mangsa mereka.” Tedjo yang ada di belakang membawa kamera-kamera juga mengungkap hal yang sama. “Kalian tahu tidak, tombak yang dulu membunuh Komandan Burhan adalah tombak yang sama persis mengejarku waktu aku terbirit-b***t keluar dari ruangan senjata.” Aku menaikkan bahuku merasa ngeri. Bukannya antusias mereka malah membahas soal aku mengompol. Rasanya aku ingin memukul mereka atau lebih kejamnya menembak kepala mereka satu per satu. “Sudah-sudah kalian malah bahas masalah itu lagi. Baiklah kalau memang paranormal itu belum ketemu, sebaiknya kita bersenang-senang dahulu. Mungkin dengan memukuli segerombolan yang mencoba menantang kita tadi, kita bisa sedikit tenang.” Aku memberi usul. “Cocok itu. Aku setuju, Komandan. Nanti setelah kita serahkan ke sektor terdekat, kita minta izin untuk berolah raga sebentar.” Tedjo dan Willy menjawab kompak. Setengah jam berlalu dengan cepat. Kami tiba di sektor terdekat. Aku turun dan disambut mereka dengan sangat hormat. Langsung saja tanpa berbasa-basi aku jelaskan semua. “Tambahan, Pak. Kami ingin sedikit berolah raga sebentar dengan mereka.” Aku meminta izin pada kepala pimpinanannya. “Dengan senang hati kami persilakan, Komandan.” Dia tersenyum ikhlas tanpa kurang apa pun. Ketika kami sampai di ruang tahanan. Tepatnya di lapangannya. Kami mengajar mereka. Mereka meraung kesakitan meminta ampun. “Kok minta ampun? Katanya tadi nantang. Ayo selesaikan sekarang.” Aku terkekeh. Mereka tidak berani menatapku. Aku angkat kepalanya dan aku hadiah wajahnya dengan tendangan keras. Dia tersungkur. Matanya bengkak serta bibir dan hidungnya berdarah. “Sekarang giliran kalian.” Aku meminta anggotaku ikut berpesta. Kepala Pimpinan memberikanku minuman bersoda. Aku berterima kasih. Kebetulan setelah olah raga sedikit aku memang haus. “Maaf, Komandan. Izin bertanya. Memangnya tadi dari mana kok bisa menangkap mereka?” Kepala Pimpinan bertanya padaku setelah aku meletakkan botol minuman bersoda itu. “Kami sedang sidak soal paranormal abal-abal yang meresehkan warga mereka. Itu tuh yang baru-baru ini viral.” Viralnya paranormal itu setidaknya dapat membantuku mencari alasan ketika ada yang bertanya. Lanjutannya aku ceritakan dengan detail sambil sesekali meminum minuman soda itu. Terik matahari membuat tubuhku dehidrasi. Para anggotaku masih asyik memukuli mereka sampai bonyok. Mereka sepertinya tidak mau berhenti. Ketika wajah begal tadi sudah tidak berbentuk, mereka memberinya pil. Seketika bengkak dan luka-luka di wajah para begal hilang. Mereka pun memukuli para begal itu lagi. “Sepertinya sudah mau sore.” Aku menengok jam di tangah. “Benar, Komandan. Sudah jam tiga.” Kepala Pimpinan sektor ini mendetailkan. Aku mengajak mereka untuk kembali. Karena perjalanan untuk sampai ke sana memakan waktu yang banyak. Bisa-bisa sampai rumah malam nanti. “Kami pamit dulu. Kapan-kapan lagi kita akan mampir.” Aku berjabat tangan lalu masuk ke dalam mobil. “Silakan dengan senang hati kami akan menyambut Komandan dengan sebaik mungkin.” Pimpinan itu mengangguk dan melambaikan tangan. Mobil melaju meninggalkan kantor sektor terdekat tadi. Willy masih kurang puas memberi pelajaran para begal tadi. Aku tersenyum saja melihat ulahnya seperti itu. “Kita menginap saja di sana. Bisa olah raga setiap hari.” Willy terkekeh. “Kalau begitu aku atur saja surat tugasmu di kantor itu ya?” Aku mencoba mengerjainnya. “Jangan-jangan, Komandan. Aku tidak mau karena jauh sekali dari peradaban.” Willy seketika panik. Hal itu membuatku tidak bisa berhenti tertawa. Tedjo malah memanas-manasi keadaan. Dia terus membujukku agar mau mengurus surat tugas secepat mungkin ke tempat itu. Willy mengumpat. Dia mengancam Tedjo tidak mau menemaninya ketika mau kencing saat jaga malam. “Jangan begitu Willy. Aku tadi cuma bercanda.” Tedjo memasang raut wajah kesal. Aku seketika tertawa mendengar bercandaan mereka. Apalagi melihat ekspresi Tedjo. Namun di tengah perjalanan, kami dikejutkan dengan anak kecil kira-kira usianya sepuluh tahun yang menyebrang tanpa melihat-lihat. “Dia tertabrak enggak?” Aku panik ketika mobil berhenti. “Sepertinya anak itu tertabrak, Komandan. Bagaimana ini?” Sang sopir panik. Dia tidak mau membuka matanya karena tidak tega melihat anak kecil tertabrak. Aku meminta Willy untuk mengeceknya. Willy tidak berani keluar. Dia hanya berdiri dari bangku dan melihat ke depan. “Ada anak terlentang di depan mobil kita, Komandan.” Willy menggelengkan kepala gelisah usai mengatakan hal itu. “Aduh. Ada apalagi ini.” Aku menepuk jidatku. Keringatku tiba-tiba bercucuran membanjiri keningku. Mereka semua menatapku. Tidak ada yang berani keluar. Semuanya menunggu keputusanku. Sialan, mereka mencoba memakakkanku atas peristiwa ini. Tidak ada yang bisa aku lakukan lagi selain turun dan bertanggung jawab. “Jangan turun, Komandan. Kan bukan kita yang salah tetapi anak kecil itu sendiri yang menyeberang sembarangan.” Tedjo mencegahku. Sang sopir hanya menenggelamkan wajahnya di setir bundar. “aku setuju dengan apa yang Tedjo katakan, Komandan. Kalau kita keluar dan membantunya. Malah kita yang nanti disalahkan dengan tuduhan menabrak anak kecil.” Willy mendukung apa yang Tedjo katakan. Tetapi hati nuraniku menolak. Aku harus turun dan melihat keadaan anak itu. Bagaimana pun juga anak itu juga perlu bantuan. Siapa tahu dia belum mati dan butuh pertolongan. “Kita harus turun. Kalau kalian tidak berani, biar aku saja. Nanti semua biaya perawatan anak itu, biar aku yang menanggunggnya.” Aku membuka pintu tanpa meminta usulan lagi dari mereka. Ketika aku berjalan ke depan mobil. Aku terkejut tidak ada siapa-siapa di sana. Otomatis aku langsung menghampiri Willy dan mengetuk-etuk kacanya. “Bagaimana, Komandan?” Willy terlihat sangat ketakutan. “Anak itu tidak ada. Apa kamu benar tadi melihat dia terlentang di depan mobil kita?” Aku bertanya pongah karena memang tidak menemukan anak itu sama sekali. Willy seketika turun dari mobil. Dia berjalan ke depan mobil. Lalu memegang kepalanya dengan kedua tangan. Dia menatapku dengan tatapan penuh ketakutan.   10. Anjing itu masih belum bergerak sama sekali. Tanganku terlalu kuat untuk mereka lawan. Ayah terlihat menggerakkan jarinya ke atas. Aku tersenyum melihat jarinya itu. Benar saja. Aku merasa para anjing itu tambah kuat. Kepalanya mendorong tanganku dan sempat membuat tubuhku bergerak mundur. “Apa dia bisa menahan para anjing itu lebih lama lagi?” Aku yang bisa mendengar dari jarak jauh, mulai mendengar bisik-bisik tentangku dari Amanda dan satu temannya. “Aku tidak tahu. Sepertinya dia lemah. Mana mungkin ada yang bisa menahan kekuatan para anjing itu?” Amanda meremehkanku. Aku tidak mencoba membalasnya seketika. Aku ingin melihat dia malu dengan ucapannya sendiri saat aku berhasil membuat para anjing ini mundur dan bahkan bisa masuk ke kandangnya lagi. Dengan menambah kekuatanku, aku mendorong para anjing itu mundur. Semua terperangah ketika para anjing itu berhasil mundur bahkan hingga masuk ke kamar mandi. “Luar biasa.” Ayah bergumam keheranan ketika aku berhasil mengalahkan kekuatannya. Para anjing itu kembali mendorongku. Kini Ayah menambah kekuatannya lagi. Kalau aku paksakan tangan-tanganku bisa patah. Maka aku biarkan para anjing itu mengejarku. “Mampus. Berani-beraninya melawan para anjing itu.” Amanda tampak lebih bahagia dari sebelumnya. “Tetapi dia hebat tadi. Tidak ada yang berhasil membuat para anjing itu mundur sampai masuk ke kandang kecuali dia.” Temannya memujiku. Bibirnya masih terperangah. Kali ini memilih untuk mencoba kekuatan lari cepat yang aku pelajari dari anak-anak yang sudah tampil tadi. Kali ini bukan bibir mereka yang menganga, tetapi tangan mereka memegangi kepala karena saking kagumnya dengan kekuatanku. “Bagaimana bisa dia mempunyai kekuatan lari seperti milik Chelsea?” Lagi-lagi teman Amanda terheran-heran denganku. “Sialan. Bagaimana bisa dia mengusai kekuatan baru dalam waktu secepat itu.” Amanda semakin murka menatapku yang jauh lebih hebat darinya. Ayah bertepuk tangan. Matanya membelalak karena tidak menyangka akan menyaksikan hidangan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tetapi sekali lagi, Ayah tidak pernah puas dengan pencapaian semua anaknya. Para anjing itu diberi kecepatan yang sama denganku. Aku tersenyum saja. Karena para anjing itu masih belum bisa mengimbangiku. “Aku harus memberinya pelajaran.” Aku mendengar rencana busuk dari Amanda. Dia mengeluarkan pisang ghaib yang sama dengan pisang yang membuat Chelsea terjatuh. Ketika pisang itu dia lempar, seketika tubuhku melayang. Tak khayal lagi, mereka langsung bertepuk tangan karena melihatku terbang. Kekuatan ini sekaligus kekuatan yang sama dengan kekuatan Amanda. Amanda semakin tidak karuan. Wajahnya memerah. Amarahnya menggelora di dalam tubuhnya saat ini. Aku tersenyum karena berhasil membuat dia malu dengan perkataannya sendiri. “Aku tidak pernah melihat orang bisa memiliki kekuatan sebanyak ini. Aleksia sudah bisa menguasai semua kekuatan meskipun usianya masih sepadan denganku.” Agatha menggumam terheran. Aku meliriknya. Dia mengacungkan jempol di saat bibirnya masih menganga. “Memang aku tidak salah tidak menyebutkan kekuatan khususmu tadi. Aku tahu kamu bukan hanya memiliki kekuatan satu saja. Kekuatanmu begitu banyak.” Ayah menggumam keheranan. Sudah tiga kekuatan aku pertontonkan di tengah lapangan ini. Namun Ayah membuat para anjing itu bisa melompat dari satu pohon ke pohon satunya. Dia berupaya meraihku dan menggigitku. Aku memakai kekuatan menghilang sama seperti milik Amanda. Semuanya semakin kencang bertepuk tangan dan berteriak-teriak tidak jelas. Aku bersandar di batah pohon dan mengatur napasku. “Tidak mudah memang mengeluarkan kekuatan sebanyak ini. Bisa-bisa aku mati karena kehabisan tenaga.” Aku bergumam sendiri sembari mengatur napas. Setidaknya aku bisa beristirahat sebentar untuk memulihkan kembali tenagaku. Kembali para anjing itu dibuat bisa melihatku. Mereka menggonggong dan berlari ke arahku. Aku tampakkan wujudku dan langsung berlari lagi. Aku tidak mau terus-terusan dikejar oleh para anjing ini. Aku memejamkan mata dan tiba-tiba menghilang masuk ke dalam tubuh para anjing itu. Mereka semua terdiam mencariku. “Mungkin dengan menggigit Amanda tenagaku bisa pulih kembali karena merasa bahagia.” Aku mengarahkan para anjing itu ke arah Amanda. Semua yang ada di situ kalang-kabut. Ayah yang berusaha mengendalikan para anjing yang sudah aku kendalikan tidak mampu. Kekuatanku bisa mengalahkan kekuatannya. Amanda lari terbirit-b***t ke tengah lapangan. Tetapi aku terus mengejarnya. Menggunakan dua puluh ekor anjing Pitbull membuat tenagaku tidak terlalu terkuras. Dia aku kejar hingga terpeleset dan terjatuh. Ini kesempatanku, aku menggigit kakinya hingga lukanya tambah besar. “Tolong, Ayah. Ini sakit sekali. Tolong.” Amanda memegangi kakinya. Lukanya semakin menganga karena gigitanku. Aku berlari menghindar ketika Ayah mengobati Amanda. Para anjing yang aku rasuki ini tidak bisa berkutik sebelum aku memerintahkan esuatu. Aku menunggu Ayah selesai mengobati. Amanda dia bobong ke pinggiran. Aku keluar dari tubuh para anjing yang berjumlah dua puluh. “Selesaikan ujianmu.” Aku mengerti apa yang Ayah maksud. Aku memejamkan mata dan mencoba memfokuskan diri ke leher para anjing itu. Dengan kekuatanku aku menebas semua kepala para anjing itu. Dua puluh kepala menggelinding di tengah lapangan. Semua mata terpana melihat kekuatanku. “Luar biasa. Kamu lulus ujian ini.” Ayah bertepuk tangan ketika menghampiriku. Semua menggelengkan kepala karena tidak bisa berkomentar apa-apa lagi soal kekuatan yang aku miliki saat ini. “Aku menginginkan kalian bisa mengeluarkan kekuatan dalam keadaan apa pun seperti yang Aleksia lakukan. Untuk mengimbangi kekuatannya sangat mustahil. Ayah sendiri pun tadi sempat kewalahan saat dia mengendalikan para anjing itu.” Ayah menepuk pundakku. “Padahal sebelum-sebelumnya Ayah masih bisa mengendalikan para anjing yang berjumlah dua puluh itu. Kekuatan Aleksia memang luar biasa. Setidaknya kalian harus bisa mengeluarkan kekuatan kalian di dalam situasi apa pun.” Semua mengangguk, kecuali Amanda. Amanda masih tampak kesal karena dia menyadari kalau aku yang mengerjainya tadi. Para anjing Ptibull yang berjumlah banyak tadi sengaja aku kendalikan untuk menggigitnya. Dia meremas-remas celananya berkali-kali sambil sesekali meringis kesakitan. Ayah memintaku kembali. Aku mengangguk. Ketika sampai di samping Agatha, Agatha menyentuh tubuhku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. “Sebenarnya kamu terbuat dari apa sih? Kenapa bisa sekuat itu? Dari mana kamu bisa mempelajari kekuatan yang kami miliki?” Di dalam satu tarikkan napas sudah ada tiga pertanyaan yang Agatha layangkan. Aku hanya melongo saja mendengar pertanyaannya. “Aku sama sepertimu. Terbuat dari tanah dan terlahir melalui lubang itu. Memangnya kenapa?” Aku mengusap keringatku yang masih tersisa. Agatha masih belum mempercayaiku. Dia mencubitku dan aku menjerit. Aku balas dia. Memangnya dicubit tidak sakit apa? “Aku kira manusia super sepertimu ketika dicubit tidak merasakan apa-apa.” Agatha meringis. Kami kembali terdiam menyimak arahan dari Ayah. Katanya dia meminta kami untuk istirahat terlebih dulu. Nanti malam ada ujian lagi. Kami semua kembali dibuatnya tegang. Raut wajah kelegaan yang sempat menghiasi tubuh kami berubah lagi menjadi raut ketegangan. “Apa aku bisa lulus di ujian ini ya, Aleksia?” Agatha mengatupkan kedua tangannya. “Kalau kamu yakin, kamu bisa lulus.” Aku tersenyum dan merangkul pundaknya. Agatha dan aku kembali ke ruangan. Di belakangku Amanda seperti berjalan tertatih-tatih mengejarku. Aku membiarkan saja dia mengejarku. *** Aku, Tedjo, Willy, dan sopir mencari anak itu. Jelas-jelas anak laki-laki itu berlari menyebrang dan tertabrak kami. Tetapi kami tidak menemukan bekas apa pun di depan mobil. “Kamu yakin melihat anak itu terbaring di sini?” Aku meyakinkan kembali pada Willy yang katanya tadi melihat ada anak terlentang di depan mobilnya. “Aku yakin melihatnya, Komandan. Dua kali tadi aku mengeceknya. Aneh kenapa dia mendadak hilang.” Willy meringis. Wajahnya berubah menjadi wajah ketakutan. Aku mulai curiga kalau ini akal-akalannya paranormal yang menyerang markas kami waktu itu. Dia sudah menguntit kami dari belakang. Mereka juga sudah mengetahui keberadaan kami di sini. “Jangan-jangan semua ini akal-akalannya paranormal yang menyerang markas kita waktu itu?” Perkataanku ini membuat mereka terdiam. Kami saling bertukar pandang. “Kalau begitu sebaiknya kita segera pergi, Komandan. Tempat ini sudah tidak aman.” Tedjo langsung lari masuk mobil. Di belakangnya aku mengikuti. Sopir dan Willy juga saling berebut ingin masuk duluan. Tangan mereka seperti kaku digerakkan ketika hendak membuka pintu. Aku meminta sopir untuk segera melajukan mobil ini. Bahaya kalau mobil ini terus-terusan berhenti di jalan raya ini. “Kita jangan pulang ke markas dulu. Katanya pamali. Sebaiknya nanti kita muter ke mana dulu.” Tubuhku seketika merinding. Aku memegangi tempat duduk sopir sembari mengawasi sekitar. “Baik, Komandan. Pak Willy tolong perhatikan sekitar. Siapa tahu ada hal-hal yang mencurigakan.” Sang sopir meminta Willy untuk memperhatikan sekitar karena memang keadaannya sangat genting. Willy berteriak ketika melihat ada anak laki-laki yang mirip dengan anak laki-laki di pinggir jalan. Sepertinya dia hendak menyeberang lagi. “Berhenti, Pak. Jangan maju. Kita tepikan dulu mobil dan memperhatikan anak itu.” Tubuhku semakin terasa tidak karuan. Jalanan ini hanya dikelilingi bukit dan pepohonan yang menjulang tinggi. Aku tidak menemukan ada rumah di sini untuk memanggil bantuan. “Bukannya kita lebih baik melaju, Komandan?” Tedjo mencoba memberi saran. Aku menolak saran itu. Jari telunjukku menunjuk sekitar. Tedjo bingung dengan maksudku. Cepat-cepat aku menjelaskan padanya. “Kalau kita maju dan menabrak anak itu. Aku takut sebenarnya kita malah menabrak pembatas jalan dan kita bisa terjungkal masuk ke jurang.” Penjelasanku bisa dia terima. “Benar juga. Aku pernah mendengar cerita seperti itu. Bahkan banyak yang beredar di masyarakat. Aku pernah menangani kasus mobil masuk jurang. Waktu itu untungnya sopirnya selamat. Ketika aku mintai kesaksian katanya sopirnya melihat sesuatu di tengah jalan itu dan langsung menabraknya.” Willy menelan ludah usai menceritakan hal tersebut. Mobil itu keluar dari pembatas. Ketika dia mintai keterangan saksi yang ada di sekitar, katanya mereka hanya melihat mobil itu berbelok sendiri dan menabrak pembatas. “Aneh kan? Coba kamu bayangkan? Kamu berjalan lurus dan merasa menabrak sesuatu, eh tiba-tiba sudah terjungkal ke jurang.” Willy memegangi kepalanya. “Tidak. Aku tidak mau seperti itu. Yasudah kita tunggu saja.” Tedjo menenggelamkan kepalanya. Aku dan yang lain memilih melihat tingkah anak itu. Kakinya menapak di jalan. Cara bergeraknya seperti manusia biasa. Aku tidak menemukan hal-hal ganjil pada anak itu. Dia tampak seperti anak-anak biasa. “Apa kamu yakin Willy kalau anak itu mirip dengan anak yang kita tabrak tadi?” Aku mulai melayangkan kecurigaan. “Sumpah. Aku yakin kalau anak itu sama persis dengan anak yang kita tabrak tadi. Bajunya, tingginya, rambut serta posturnya sama semua, Komandan.” Willy memang tidak berbohong. Terdengar dari nada bicaranya, dia tampak serius.   11. Anak itu berjalan pelan di tengah jalan. Dia menari-nari tanpa berdosa. Aku melihat sekitar. Sepertinya ada suatu desa di atas sana. Karena ada jalan setapak mirip tangga yang ada di belakang anak tadi. Desa itu sepertinya sangat terpencil. “Mungkin ada desa di atas sana. Lihat ada jalan setapak mirip tangga. Mau enggak kalau kalian aku ajak naik ke desa itu?” Aku sebenarnya takut. Tetapi di samping itu aku benar-benar penasaran dengan tangga itu. “Sebaiknya kita pulang saja, Komandan. Ada dua kemungkinan tangga itu menuju ke mana. Pertama kalau memang iya ada di desa di sana, kalau tidak? Makam keramat yang malah akan kita temui, Komandan.” Willy meringkuk. Dia tenggelamkan wajahnya di balik kedua kakinya. Benar juga yang Willy katakan. Tidak mungkin aku membuat spekulasi kalau itu memang desa. Aku alihkan perhatianku ke tengah jalan. Mendadak tubuhku lemas seketika saat mengetahui kalau anak yang menari-nari di tengah jalan tadi hilang. “Pak ayo jalan pelan-pelan.” Sang sopir sepertinya merasakan yang sama. Dia hanya mengangguk pelan lalu menjalankan mobil dengan sangat pelan. Willy dan Tedjo masih membenamkan wajahnya karena ketakutan. Aku mencoba bersikap tenang meskipun tubuhku sudah sangat lemas. Tidak mungkin aku juga ikut membenamkan wajah. Aku tidak tega meninggalkan sopir menghadapi kenyataan ini. “Dia menghilang kan, Komandan?” Willy bertanya lirih sembari mengangkat sedikit wajahnya. Aku mengangguk pelan. Semua ini memang di luar nalar. Bagaimana bisa anak tadi menghilang untuk yang kedua kalinya. Aku cari-cari lagi anak itu, tetapi aku tidak menemukannya. Kami berjalan pelan dan sangat pelan, hingga kami menemukan anak itu lagi. “Anak itu lagi muncul, Komandan.” Sopir menepikan mobil dan berhenti. Dia tidak kuat dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Sebaiknya kita berhenti terlebih dulu.” Aku mengawasi anak itu. Anak itu selalu ada di tiap-tiap tangga yang ada di pinggir jalan ini. Tidak mungkin kalau makam ada banyak sekali akses jalannya. Rasa penasaranku semakin berkobar membara. Aku yakin anak ini bukan hantu atau apa, pasti dia salah satu warga dari desa yang ada di atas ini. “Jangan keluar, Komandan. Itu sangat riskan untuk keselamatan Komandan sendiri.” Tedjo mencegahku saat mendengar tanganku hendak membuka pintu. “Tenanglah aku akan baik-baik saja. Aku hanya curiga dengan anak itu. Pasti anak itu ada kaitannya dengan tangga-tangga yang ada di bukit pinggir jalan ini.” Aku tetap bersikeras keluar. Tedjo hanya menggelengkan kepala tidak kuasa melihatku. Aku yang sebenarnya masih diselimuti rasa takut, memberanikan diri berjalan pelan mendekati itu. Langkah kakiku malah lebih pelan dari seekor bekicot. Mulanya aku ragu dan menatap mereka. Mereka menggeleng dari balik kaca mobil. Aku malah diserang kebimbangan lagi. Antara melanjutkan atau kembali. “Sebaiknya kamu melanjutkan Hadi. Siapa tahu ada petunjuk baik yang bisa kamu dapatkan.” Hati nuraniku terus menerus membisikkan hal itu. “Dia tidak berbahaya dan tidak akan membunuhmu, Hadi. Majulah. Majulah.” Hatiku kembali menguatkanku. Aku memutuskan mendekati anak itu dengan sangat hati-hati. Langkah raguku aku paksakan untuk mendekatinya. Ini situasi yang tidak mudah. Anak laki-laki itu masih memainkan kedua tangannya. Dia belum juga menyeberang atau menari-nari seperti yang aku tadi lihat. “Nak, kenapa kamu main di jalan ini sendirian.” Aku mendongakkan kepala ketika mendengar suara itu. Seorang wanita terlihat sedang menuruni tangga. Wanita itu menggunakan caping dan bajunya masih seperti baju jawa. Aku diam tak berkutik ketika wanita itu semakin dekat. Dia meraih tangan anak laki-kali itu. Ketika hendak menaiki tangga, dia seklias melihatku. “Maaf, Pak. Sepertinya Bapak bukan orang sini ya?” Wanita itu melepas tangan anaknya dan mengatupkan tangan. “Benar Ibu. Tadi aku kebetulan lewat di sini dan melihat anak ibu bermain sendirian di pinggir jalan. Aku penasaran makanya aku dekati.” Aku tersenyum mencoba memperkenalkan diri. “Apa anak saya mengganggu perjalanan Bapak? Kalau mengganggu saya benar-benar minta maaf. Saya sudah memintanya agar tidak bermain di tengah jalan. Tetapi dia masih bandel.” Wanita itu tampak merasa bersalah. Aku menggelengkan kepala dan mencoba menjelaskan semua. Termasuk rasa penasaranku tentang sesuatu yang ada di atas sana. Wanita itu tertawa karena mungkin melihat ekspresi penasaranku. “Di atas sana memang benar seperti yang Bapak duga kalau ada sebuah desa. Desa kami memang terpencil dari desa yang lain. Sebenarnya akses keluar desa ini bukan hanya tangga-tangga yang ada di pnggir jalan ini saja, Pak. Di sana ada banyak. Tapi harus memutar terlebih dulu agak jauh kalau dari sini.” Wanita itu menjelaskan dengan sangat detail. “Tangga ini hanya digunakan ketika ada bantuan atau ada air yang kebetulan jarang ada di daerah kami. Mobil air akan berhenti di depan tangga ini dan kami bergotong royong mengambilnya, Pak. Begitulah desa kami ini.” Wanita itu tersenyum. Aku taksir usianya memang nyaris sama dengan usiaku. Hanya saja dia lebih tua dariku. Dia berkenan memperkenalkan desanya kepada kami kalau kami ingin ke sana. Tentu saja aku sangat gembira mendengar kabar ini. Aku segera mengajak mereka ke sana. “Kita ke sana, Komandan? Mau sampai rumah jam berapa?” Tedjo menelan ludah berkali-kali. “Sudah kalian telepon dulu istri kalian, bilang ada sidak dadakan yang mengharuskan menginap satu hari.” Mereka semua tidak bisa menolak perintahku. Meskipun dengan menggerutu, tidak masalah. Yang terpenting aku bisa mengetahui desa apa yang ada di atas sana. “Apa mobilnya akan aman jika ditaruh di sini, Bu?” Aku bertanya dengan agak bimbang. “Aman. Tenang saja, Pak. Mari.” Wanita itu menaiki tangga duluan dengan anaknya. Tangga ini hanya bisa digunakan untuk dua orang yang memiliki tubuh kecil-kecil. Kalau ukuran tubuhnya besar hanya muat digunakan untuk satu orang. Untung kami berempat memiliki tubuh yang tergolong kecil. “Saya tidak pernah bermimpi seperti ini sebelumnya, Komandan. Kita mau ke mana lagi ini?” Willy memasang ekspresi menangis. Aku tahu itu hanya akal-akalannya agar aku mau mengubah keinginanku. Tidak semudah itu, aku benar-benar penasaran. Siapa tahu desa itu akan menjadi sesuatu yang baru. Misalnya desa paranormal begitu. Kami terus berjalan menaiki tangga itu dengan hati-hati. Wanita itu menaiki tangga dengan sangat cepat. Kami yang tidak terbiasa kewalahan. Tangganya banyak sekali. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN