26.
Aku mengajak Agatha masuk ke kamar. Ada banyak hal yang ingin aku bicarakan dengannya. Perihal Jason dan p*********n di markas aparat.
Agatha yang sudah mengerti tujuanku mengajak ke kamar, langsung menyimak. Dia juga penasaran dengan nama Jason.
“Apa benar Jason yang Amanda maksud, Jason itu?” Aku menggeleng saat menanyakan hal itu. Aku masih belum percaya dengan apa yang terjadi.
“Aku juga belum tahu. Ini menarik. Laki-laki itu membuatku penasaran.” Agatha tertawa kecil.
Aku jelaskan kalau aku tidak setuju kalau p*********n dilakukan sore nanti karena aku ingin kembali mendatangi taman kota itu lagi. Perasaanku meyakinkanku kalau dia akan datang.
Agatha mengangguk. Dia menyetujui usulanku. Katanya kita harus menanyakan banyak hal tentang dirinya. Tetapi aku menggeleng tidak setuju.
“Kalau kita bertanya seperti itu, dia malah akan tersinggung. Aku tidak mau itu terjadi.” Aku bersikeras untuk tetap tidak bertanya perihal privasinya.
“Lalu bagaimana kita bisa mengetahui semuanya?” Agatha bertanya dengan nada bingung.
Aku jelaskan. Kalau kita akan mengetahui semua dari p*********n besok. Jika memang Jason itu adalah Jason yang ada di taman kota, maka sudah jelas kalau Jason adalah anggota dari musuh VENOM.
“Jika itu terjadi apa kamu akan tetap mencintainya atau memilih sepertiku?” Agatha menggodaku. Aku terdiam sejenak. Dudukku mulai gelisah.
Rasanya aku ingin pergi dari kamar ini untuk menghindari pertanyaan semacam itu. Tetapi aku tidak bisa. Pertanyaan itu akan terus muncul, bahkan dari diriku sendiri.
“Aku tidak tahu. Mungkin dengan sifatku seperti ini, kamu pasti sudah tahu aku akan bagaimana.” Aku menunduk cemas.
“Aku yakin kamu akan memilihnya ketimbang VENOM. Karena kita masuk ke sini bukan berdasar dari keinginan kita. Kalau kamu keluar aku akan keluar dan menemui laki-laki itu lagi, Aleksia. Aku bertahan di VENOM hanya karena kamu. Aku tidak mau mengecewakanmu. Selama ini kamu sudah aku anggap sebagai kakak sendiri.” Agatha memelukku.
Matanya mulai berair. Aku tidak menyangka dia bisa menangis. Masalah cinta yang rumit ini membuatnya mengeluarkan air mata.
“Berpisah dengan orang yang kita cintai merupakan hal yang paling sulit. Di sisi lain aku tidak mau kehilangan laki-laki itu. Tetapi di sisi lain aku juga tidak mau kehilanganmu.” Agatha menangis.
“Aku tahu. Kamu kemari bukan karena perintah dari Mark. Tetapi karena kamu ingin melupakan luka karena memilih bertahan di VENOM. Makanya kamu ingin jauh dari semua kenangan itu. Baru nanti setelah kamu berhasil melupakannya, kamu akan kembali?” Aku mengeratkan pelukanmu padanya.
Agatha mengangguk. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi. Setegar apapun dia menyembunyikan rasa sedih, pada akhirnya semua akan rapuh. Agatha menangis sejadi-jadinya.
Entah sejak kapan, kami tertidur. Bangun-bangun sore sudah menjelang. Aku membangunkan Agatha. Agatha mengangguk dan segera mencuci mukanya.
“Sudah sore. Kita harus segera ke sana. Pakai kekuatan saja biar cepat.” Aku meminta Agatha agar cepat.
Aku meminta Agatha untuk mengeluarkan kekuatannya. Kami bergerak ke taman kota. Aku langsung menuju ke bukit taman kota.
Jason sudah ada di sana. Aku dan Agatha kikuk. Bagaimana caranya agar aku berpura-pura tidak mencarinya.
“Dia ada. Bagaimana ini Agatha?” Aku menggelengkan kepala.
“Kita harus bersikap tenang. Jangan sampai ketahuan kalau kita sengaja di taman ini.” Agatha memberiku saran.
Aku mengangguk. Kami menyusun rencana dengan berlagak seperti biasa. Datang membeli ice cream dan berjalan-jalan. Sesekali aku melihat ke arahnya, Jason juga mengedarkan pandangannya, mencari sesuatu.
Entah mengapa jantungku berdetak lebih kencang. Aku merasa tidak seperti biasanya. Berkali-kali aku salah tingkah dibuatnya. Sungguh aku tidak bisa bersikap biasa dan tenang.
“Kemarilah. Saatnya kita mendekat.” Agatha memberiku kode. Kami berjalan di depannya.
Kami sengaja tidak melihatnya agar dia menyapa dan meminta kami bergabung. Mungkin cara ini sudah pernah dilakukan oleh banyak perempuan di luar sana, salah satunya Agatha. Dia sangat fasih bagaimana bertingkah jual mahal di depan laki-laki.
“Aleksia.” Jason memanggil juga akhirnya. Aku berpura-pura melihat ke kanan dan ke kiri sebelum mendaratkan pandanganku ke arahnya.
“Jason?” Aku berpura-pura lagi. kali ini aku berpura-pura terkejut melihat dia ada di atas bukit.
Aku mengajak Agatha menghampirinya. Aku berbasa-basi menanyakan kabar meskipun jantung di dalam d**a ini bekerja lebih keras dari biasanya.
Jason meminta kami duduk di sampingnya. Kami mengobrol banyak hal. Kesibukan kerja yang harus aku samarkan.
“Memangnya kamu kerja di mana?” Jason seketika menanyaiku.
“Aku kerja di sebuah toko kecil-kecilan begitu. Jadi apa ya, yang mengurusi keuangan begitu.” Aku tersenyum.
Jason juga menceritakan kalau dia juga kerja di sebuah perusahaan keamanan. Katanya di bidang angkat-angkat seperti kuli.
Aku terdiam ketika mendengar ceritanya. Apa mungkin dia berbohong seperti diriku saat ini. Ah tidak. Mungkin dia jujur.
“Bagus itu. Yang penting saat ini kerja. Urusan gaji mah belakangan.” Entah mengapa aku berbicara layaknya pekerja beneran.
Di tengah-tengah kami sedang mengobrol, tiba-tiba ada kompelotan bersenjata menembaki para pengunjung. Refleks aku bediri. Tetapi aku bingung harus berbuat apa. Di sampingku ada Jason. Tidak mungkin aku akan mengeluarkan kekuatanku.
Aku menyentil Agatha. Agatha mengerti maksudku. Dia mengeluarkan senjata hanya dengan menggerakkan jarinya. Para komplotan bersenjata itu terjatuh.
“Biar aku yang menghadapi mereka.” Jason bak pahlawan langsung meloncat dari bukit itu dan menghampiri para penjahat itu.
Dia beratu jotos dengan penjahat tanpa menggunakan kekuatan apa-apa. Aku rasa dia bertarung layaknya bertarungnya orang biasa. Jadi mana mungkin dia menjadi salah satu anggota musuh bebuyutan VENOM.
Agatha menatapku. Dia juga menduga kalau dia bukan bagian dari anggota itu. Cara bertarungnya saja berbeda dengan cara bertarungnya paranormal.
“Mungkin Jason yang Amanda maskud bukan Jason ini, Aleksia. Jadi kamu bisa menjalin hubungan bersamanya dengan tenang.” Agatha menguatkan hatiku. Aku tersenyum bahagia.
“Aku rasa begitu. Jadi aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi menjalin hubungan dengannya.” Aku kecepelosan. Wajahku seketika merona.
Agatha tertawa kecil. Tanpa dia sadari, aku terpancing omongannya yang sama sekali dia sengaja. Agatha meloncat-loncat bahagia.
Tetapi di belakang kami, ternyata ada juga komplotan bersenjata. Sialan kenapa mereka banyak sekali. Agatha melihat ke arah Jason, katanya situasi aman. Seketika aku memenggal kepalanya dengan kekuatanku tanpa menggerakkan tubuhku sedikit pun.
“Apa kalian semua baik-baik saja? Siapa yang memenggal kepala mereka hingga terlepas begitu. Pasti dia bukan manusia biasa.” Jason tiba-tiba lari ke arah kami.
“Kami juga tidak tahu, tiba-tiba mereka terjatuh dengan kepala yang lepas dari tubuhnya.” Aku berpura-pura merasa ngeri sembari menutup mataku.
Agatha juga melalukan hal yang sama. Jason menggiringku untuk menjauhi bukit ini. Katanya situasi di taman ini kurang baik.
“Entah mengapa hari ini sangat aneh. Padahal sebelumnya tidak ada komplotan bersenjata.” Jason menggelengkan kepala.
Dia membelikan kami ice cream. Katanya ada yang harus dia urus. Dia kembali ke bukit itu dan membantu keamanan melawan mereka.
Aku diam menyaksikkannya. Dia juga masih bertarung layaknya manusia biasa. Dengan ketangkasan tubuhnya, dia berhasil menaklukkan para penjahat itu.
“Sudah lama para penjahat itu tidak datang ke taman ini. Dulu terakhir kali, dua puluh tahun yang lalu. Mereka menyerang taman ini dan merampas semua milik pengunjung. Waktu itu mereka berhasil. Namun kali ini, sudah banyak pengaman negeri.” Tukang ice cream bercerita tanpa aku minta.
“Jadi taman ini memang sering dipakai untuk aksi perampokkan seperti ini, Pak?” Aku bertanya penasaran.
Tukang ice cream itu mengangguk. Dia mengatakan kalau taman ini menjadi ladang perampokkan sejak lama. Terparah waktu pemerintah membiarkan perampokkan terjadi di mana-mana karena presiden yang terpilih dari komplotan penjahat.
Banyak korban jiwa dan pemberontakkan terjadi. Nyawa-nyawa melayang akibat pertempuran yang terus menerus terjadi di jalanan. Pertempuran yang sudah menjadi budaya tidak bisa dihindari waktu itu.
“Makanya ketika melihat mereka datang, Bapak biasa saja. Karena waktu itu hal-hal ini semacam ini sudah menjadi hal yang wajah. Ini lihat luka bapak.” Bapak itu menunjukkan lukanya. Aku tersenyum mengangguk.