"Dulu, kamu pernah menjadi bagian dari masa laluku. Kini, kamu juga bagian dari masa depanku."
Aisha Fayola Adhiyaksa
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Wira berdeham keras. Matanya senewen dan terus saja memelototi Aisha. Tapi yang dipelototi malah masih asyik mengobrol dengan Marshall di teras masjid.
"Dan! Dan!" Wira memanggil Ardan. Wajah seram Wira malah membuat Ardan ingin tertawa. "Suruh Mama pulang. Papa pulang duluan." Ucapnya dingin lalu berjalan dengan kesal karena diabaikan Aisha.
Ardan terkikik geli saat Papanya menjauh. Ia berjalan dengan tengil menuju Mamanya dan Marshall yang masih terkikik. Entah apa yang sedang mereka obrolkan. Tapi saat ia mendekat, telinganya langsung ditarik Aisha. Hal yang membuat beberapa orang yang masih ada di sekitar masjid terbahak melihatnya. Ardan udah biasa malu-maluin sih. Tapi tawa orang sekitar tak pernah bosan meledeknya.
"Nih, Mama titip kamu sama Ustad Marshall sepanjang bulan ramadhan. Awas aja kalo bolong-bolong pengajian kayak tahun kemaren!" Omel Aisha. Ardan mengaduh sekaligus malu. Telapak tangannya mencoba menutupi muka. "Udah 20 tahun masih aja gak berubah. Ardaaaaaan! Ardaaaaaaan!" Aisha kesal sendiri. "Heran deh, Mama!"
Marshall terkikik. Ia memang tak pernah berhenti tertawa kalau melihat ibu dan anak ini berinteraksi. Aneh dan unik. Herannya, tak sekali pun tak menghibur.
"Ma! Lepas dong ah! Malu nih, Ardan!" Pintanya yang dibalas dengusan oleh Aisha.
"Berkali-kali dimalu-maluin aja kamu gak kapok-kapok! Gak malu kamu sama Farrel? Heran deh, Mama sama kamu!" Aisha pusing sendiri. Apa salah dirinya mengandung? Rasa-rasanya dulu, ia tak pernah macam-macam atau meminta yang aneh-aneh saat hamil. Tapi kok ya, jadinya begini?
"Ya udahlah, Sha. Nanti biar saya aja yang pantau dia." Marshall mencoba menengahi.
Tapi Aisha tak mau mendengar. Wanita itu memelototi Ardan sebentar baru kemudian melepas pelintirannya ditelinga Ardan. Ardan mengadu-aduh. Telinganya sukses merah seketika. Matanya mencoba menyalang menatap Mamanya karena kesal tapi tak berani saat melihat mata AIsha lebih menyeramkan lagi.
"Awas ya kalau bolos-bolos lagi! Mama gak cuma gantungin motor kamu tapi sama titit kamu, Mama gantung!" Ancamnya setengah berbisik ditelinga Ardan tapi terdengar jelas oleh Marshall. Lelaki itu tak bisa menghentikan tawanya.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Dina terkikik saat melihat wajah kesal Ardan yang berjalan sambil diomeli Aisha. Gadis itu bisa menebak apa yang terjadi walau tak melihat secara langsung. Saudara tengilnya yang satu itu pasti punya salah. Sebab Mamanya tak mungkin mengomel-omel sepanjang jalan tanpa alasan. Lagi pula adakah sehari saja Aisha tak mengomel? Dina yakin tak ada sehari pun rumahnya tenang selama ada Ardan.
"Dina!"
"Ya, Pa!" Ia menyahut. Lalu berjalan masuk ke dalam rumah sambil terkikik-kikik.
"Mandi cepat. Bentar lagi bedug!" Titah Wira. Lelaki itu sedang menyusun piring di atas meja.
"Beres, Pa!" Serunya lalu melangkah dengan riang menaiki tangga. Mengabaikan wajah sebal dan bete milik Papanya yang masih kesal.
"Mandi terus ngaji sebentar!" Aisha menitahkan Ardan yang berjalan ogah-ogahan masuk rumah.
Wira yang mendengar suara istrinya langsung mengambil duduk di ruang keluarga. Pura-pura tak perduli jika wanita itu sudah pulang. Padahal tadi ia menanti. Sampai-sampai tak bisa diam. Sejujurnya ia sudah ingin menarik Aisha sejak wajah Marshall nongol di depan mata. Tapi ia yakin, Aisha tak kan mau. Lagi pula, ia memang tidak bisa berbuat apa-apa ketika Aisha sudah bertemu lelaki itu. Hanya bisa memelototi istrinya dengan tajam. Namun saat Aisha menatapnya balik, ia refleks menunduk. Ketakutan yang sama dirasakan Ardan ketika Aisha menatapnya.
"Wir, tadi Kak Marshall titip pesan buat datang pengajian tiap jumat sore."
"Heum," Wira menjawab ogah-ogahan. Lelaki itu sibuk mengganti-ganti channel televisi. "Gak sekalian kamu ikut pengajian?"
"Hah?" Aisha yang sedang menaiki tangga langsung memberhentikan langkahnya. Wanita itu berbalik sempurna. Namun yang ditatap malah memasang muka bete sambil menonton televisi.
"Aku ikut pengajian maksud kamu?" Aisha balik bertanya. Tapi tak ada jawaban. Lelaki itu malah diam. "Itu kan pengajian laki-laki, masa aku ikut? Ada-ada aja," Aisha terkikik lalu melangkah lagi. Wanita itu geleng-geleng kepala.
Wira hanya diam. Tak mau menanggapi. Dalam hati ia banyak-banyak beristigfar. Entah kenapa ia selalu kesal setiap melihat Aisha mengobrol dengan Marshall. Wanita itu kadang lupa akan kehadirannya. Seperti tadi ketika ia diabaikan dan memilih pulang.
Sekian tahun bersama. Sejak Aisha dan Marshall kembali dipertemukan saat Ardan dan Dina berusia dua tahun, Wira selalu heran kenapa Aisha masih bisa seakrab itu dengan Marshall. Biasanya yang namanya mantan, kalau pun berpisah baik-baik pasti akan selalu ada keengganan untuk saling bertemu lagi. Tapi Aisha?
Hah. Sudahlah. Wira makin pusing kalau memikirkannya.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
"Kita tarawihan di rumah aja ya?" Ucap Wira. Bukan bertanya sebab nada suaranya tak terdengar seperti bertanya. Aisha yang baru saja menghabiskan nasinya, menoleh dengan kening berkerut.
"Masjid segitu deketnya," wanita itu mengomentari.
Dina yang merasa ada yang berbeda dengan Papanya mulai kepo. Mencari tahu apa yang baru saja tahu dan apa penyebabnya. Sementara Ardan ogah-ogahan menghabiskan makanannya. Bocah itu masih kesal karena merasa dipermalukan Mamanya di masjid tadi. Apalagi bawa-bawa titit. Hanya mengingatkannya pada sosok gebetan yang tak pernah menjadi status lebih dari gebetan.
"Atau kamu aja yang tarawihan di rumah." Ucap Wira santai lalu mengeluarkan ponselnya sambil berjalan ke teras rumah.
Kening Aisha berkerut. Matanya menoleh pada Dina yang merasa tertuduh karena dianggap tahu sesuatu oleh Aisha padahal ia tak tahu apa-apa.
"Mama sih sok akrab sama Ustad Marshall. Udah tahu Papa gak suka," Ardan berucap seraya mendumel. Bocah itu menatap Aisha dengan senewen.
Mendengar itu, Aisha malah terkikik. Ia menyudahi makannya lalu segera menyusul lelaki itu.
"Kenapa?" Wanita itu bertanya sambil menahan tawanya. Masih heran akan sikap Wira yang tak pernah berubah jika berhubungan dengan Marshall. Padahal tadi sore ia hanya ingin menitipkan Ardan pada Marshall untuk diawasi tarawihannya dan pengajian rutinnya. Ardan itu anak baik-baik hanya saja ia tengil. Itu yang membuatnya terlihat berbeda dari pada anak-anak normal lainnya. Tapi bukan gak normal juga. Ardan itu hanya sedikit berbeda dengan anak-anak seumurannya. Ketengilannya yang dahsyat, yang selalu membuat siapa saja yang menghadapi harus banyak-banyak beristigfar kalau tidak mau cepat mati.
"Wir!" Panggilnya yang tak ada manis-manisnya. Namun tetap diabaikan. Wira malah sok sibuk dengan ponselnya.
"Hem. Besok saya kesana. Berangkat setelah subuh." Tutur lelaki itu yang Aisha yakini pada sekretarisnya.
"Oooooh! Jadi Mama pernah mau nikah sama Ustad Marshall tapi gak jadi?!! DEMIII APAAAAAH!" Dina heboh sendiri saat tahu sesuatu dari Ardan. Ardan segera membekap mulutnya yang comel itu lalu menggeretnya menjauhi ruang tamu. Dina terkikik-kikik. Kepalanya digetuk Ardan lalu ia balas menjambak jambul lelaki itu.
Wira yang mendengar itu makin panas. Aisha hanya bisa mengusap wajahnya. Memang dasar dua bocah itu pintar sekali memperkeruh suasana. Sudah tahu mood Wira sedang jelek. Ditambah pula!
"Tuh seneng kamu. Anak kamu tahu soal kamu sama dia," ucap Wira dingin. Lelaki itu memilih berbalik pergi dan berjalan menuju kamar.
"Wiraaa!" Aisha membuntuti. Tak lupa memelototi dua anaknya yang kini terkikik-kikik sambil mengacung jari telunjuk dan jari tengah sebagai pertanda damai.
"Kamu kenapa sih? Marah karena tadi sore aku tinggal ngobrol sama Kak Marshall?" Aisha menuil-nuil bahu tegapnya tapi Wira masih pura-pura tuli. Bukannya senewen, Aisha malah ingin terbahak.
"Wir! Wira!"
Braaaak!!!
Aisha terpingkal-pingkal saat pintu kamar mandi tertutup rapat. Ia geleng-geleng kepala sendiri melihat kelakuan kekanakan suaminya.
"WIRA I LOVE YOU!" Teriaknya alay yang sontak membuat dua anaknya ingin muntah.
"Mama mulai kumat lagi," komen Dina.
"Papa sih lebay. Gitu aja cemburu."
"Itu artinyaaaaaa......Papa sayang sama Mama," Dina tersenyum senang. Senang sekali karena mempunyai keluarga utuh seperti ini.
"Halah. Itu sih alay namanya!"
"Alayan mana sama elo?" Dina mulai memainkan mata dengan nakal. Tatapannya menyiratkan bahwa ia tahu sesuatu. "Yang dulu waktu SMA teriak-teriak di atap sekolah 'TALITHA I LOVE YOU' hahahaha alayan elo kemana-mana sumpah, Dan!" Ejek Dina yang membuka luka lama. Gadis itu terbahak sambil memegangi perutnya. "Sialnya, udah manjat-manjat, ditolak pula! Hahahahaha! Turun-turunnya dari atap, dipanggil Kepsek terus lari keliling lampangan. Apes-apes!" Semprot Dina lagi sambil guling kanan guling kiri. Puas meledek Ardan. Kapan lagi membuat Ardan kesal?
Memang sejak kejadian dua tahun lalu itu, Dina mempunyai s*****a yang dapat mengobrak-abrik peperangan yang dilancarkan Ardan. Biasanya berakhir ia yang mengadu pada Aisha atau menangis pada Wira. Kini, ia akhiri dengan tawa puas pada Ardan.
Ardan mendengus kesal. Melangkah pergi meninggalkan Dina yang makin terpingkal. Ah....kenangan itu membuatnya trauma mengejar perempuan.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
"Ya ampun. Itu Papamu masih aja ngambek. Gak malu apa ya sama umur?" Aisha mengadu pada Dina saat pulang tarawehan.
Dina terkikik. Dalam hati mengiyakan. Sikap Papanya yang seperti itu menurutnya lucu sekali.
"Tapi, Ma. Kok Mama hampir menikah sama Ustad Marshall? Katanya kan dulu Mama sama Papa pacaran lama terus nikah." Dina penasaran.
Aisha terkikik pelan. Lalu menatap anaknya yang kepo banget itu. Matanya bermain nakal. Khas Dina yang ketika punya ide untuk menjahili Ardan. Buah memang tak pernah jatuh jauh dari pohonnya.
"Mauuuuu tahuuuuu ajaaaaaa," seru Aisha lalu terkikik-kikik mempercepat langkah. Mengejar suaminya yang masih bermuka masam itu. Sementara Dina senewen dibuatnya.
"Sumpah yaaa, emak gue!" Keluhnya. Benar-benar emak-emak gaul!
"Wiir! Jangan marah dong!" Ia menuil-nuil dagunya sambil berjalan. Tapi Wira terang-terangan menepis tangannya. Wanita itu terkikik. "Haduuh makin tua deh kalo cemberut begini!" Ledeknya yang dibalas pelototan oleh Wira. Aisha makin terkikik. Istrinya kalau sedang tengil begini, satu komplek bakalan tahu, siapa yang menurunkan ketengilan pada Ardan.
"Aku kan sayangnya cuma sama kamuuuuuuu!" Aisha sok manja. Ia jarang bersikap seperti ini. Semenjak anak-anak mereka dewasa, ia memang sudah tak menutup-nutupi ketika ingin bermanja dengan lelaki ini. Tapi respon Wira tetap sama dari dulu. Sok cool. Sok gak peduli. Padahal mah cinta euy......
"Dia kan cuma masa lalu aku." Tuturnya. Kali ini sambil memeluk tangan Wira. Menempelkan wajahnya dibahu lelaki itu. Tapi sikap Wira masih sama. Pura-pura sok cool. Ingin rasanya Aisha menjewer telinga lelaki itu seperti ia sering menjewer telinga Ardan. Namun Aisha serius. Ia menatap Wira dengan seksama walau senyum gelinya tak dapat hilang."Kamu juga sih." Ia cengengesan. Hal yang membuat Wira mendengus seketika. Lelaki itu sebal disebut masa lalu. Tapi memang benar kan? Wira memang ada di masa lalunya namun ada satu hal yang membedakannya dengan Marshall. "Tapi kan kamu juga masa sekarang aku daaaan.....masa depan aku." Bisiknya romantis. Namun tetap terlihat alay dimata Dina yang sedang memotret keduanya dari jauh. Gadis itu geleng-geleng kepala namun kagum akan cara kedua orangtuanya bercengkrama.
Wira menghentikan langkahnya seketika. Menatap wajah Aisha yang tengil seperti Ardan. Lalu tanpa tendeng aling, mengangkat wanita itu ke punggungnya dan berlari menuju rumah. Dina hanya mampu melongo melihat sikap kedua orang tuanya yang makin tua makin alay.
Di atas punggung lelaki itu, Aisha tertawa terbahak-bahak. Wira tak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi ia akui, semakin bertambah usia pernikahan mereka, Wira semakin bisa bersikap romantis. Yah....walau kadang sok cool dan sok gengsi. Tapi keromantisan Wira itu membuatnya berbeda dibanding lelaki lain. Dari dulu sampai sekarang. Tak pernah berubah. Wira yang cool dengan keromantisannya sendiri.
Kamu masa lalu yang tak pernah ku sesali dan kamu masa depan yang selalu ku harapkan.
♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡♡
Bokap gue so sweet kaaaaan ;D
Dina memamerkan foto Papanya menggendong Mamanya tadi di i********:. Notifnya penuh seketika dengan sorakan para tante dan sepupunya. Ia terkikik geli. Ditambah komentar-komentar mupeng tante-tantenya.
Namun beberapa detik kemudian, kikikannya hilang. Berganti wajah penuh kemendungan saat gambar lain muncul di beranda i********:. Hal yang membuatnya ingin mencekik seseorang seketika. Tapi ditahannya. Pelan-pelan ia buka siapa yang mengupload foto itu lalu mem-unfollow-nya.
Baginya, definisi mantan tak seperti definisi mantan milik Mamanya. Baginya, mantan tak sekedar masa lalu namun juga masa yang tak pernah ada.
The End