Seperginya Tuan dan Nyonya Adimasta beserta Dara, kini hanya tersisa Nyonya Bella, Arion dan Nara didalam ruang tersebut. Wanita tua itu menyingkirkan piring dari hadapannya ke sisi lain, dan menatap pada cucunya.
Wanita tua itu kembali teringan percakapannya dengan Bagas pagi tadi saat pria kepercayaannya itu memberikan sebuah berkas dengan foto Nara yang menempel pada kertas tersebut. Hanya sebuah>Nyonya Bella beralih menatap Nara dan kembali menatap Arion.
"Duduklah!" perintah Nyonya Bella.
Arion yang masih nampak terkejut, hanya menuruti perkataan neneknya dan kembali duduk di kursinya semula. Sedangkan Nara, masih berdiri tengan pikiran yang tak berada pada tempatnya.
Arion yang tersadar lebih dulu, segera menatap pada gadis itu, dan berusaha bersikap selayaknya sepasang kekasih.
"Sayang ... duduklah!" ujar Arion berusaha meyakinkan Nyonya Bella dengan kebohongannya.
Perlahan mata Nara mulai bergerak dan menatap Arion dengan tatapan penuh pertanyaan. Pria itu hanya membalas dengan lirikan pada kursi di depannya, meminta Nara untuk duduk, dengan sebuah isyarat mata.
Gadis itu mengerjapkan matanya dan segera berjalan duduk di kursi kosong, lalu menatap Nyonya Bella dengan tatapan gugup.
"Siapa namamu?" tanya Nyonya Bella dengan nada suara yang terdengar lembut.
Nara melirik pada Arion yang menganggukkan kepalanya. "Alnara, Nek," jawabnya dengan hati-hati.
"Seperti yang sudah kamu dengar tadi, Saya akan meminta orang kepercayaan saya untuk mengurus berkas-berkas pernikahan kalian berdua. Kau hanya perlu mempersiapkan diri, dan segera keluar dari pekerjaanmu. Jangan sampai, keadaan ini di salah gunakan oleh orang-orang yang ingin menghancurkan Arion ataupun Darres Grup," ujar Nyonya Bella.
"Tapi, Nek ...," Belum sempat Arion melanjutkan perkataannya, Nyonya Bella sudah berdiri dari tempatnya, mengambil tas jinjingnya lalu berbalik membelakangi dan melangkahkan kakinya keluar dari ruang tersebut dengan seulas senyum penuh arti di kedua sudut bibirnya.
Sedangkan Nara ikut bangun dari atas tempat duduknya dan membungkukkan tubuhnya, memberi hormat pada Nyonya Bella yang baru saja menutup pintu ruang tersebut. Dan tepat saat itu juga, Nara jatuh terduduk di lantai dengan mata membulat dan pikiran melayang. Arion berdiri dan menghampiri Nara, dan setengah berlutut dihadapan Nara.
"Gimana ini?" tanya Nara dengan nada melirih.
"Kamu mau bantu aku?" tanya Arion. Pria itu memegang kedua bahu Nara yang turun dan masih nampak terkejut.
"Bantu apa?" tanya Nara.
"Kita ikuti apa yang nenek minta dan kita akan membuat beberapa perjanjian pernikahan." Jawabnya.
Nara seketika mengerutkan dahinya dan menatap tajam pada wajah Arion yang terlihat serius. Tiba-tiba Nara menggelengkah kepalanya, dan berdiri dari posisinya.
"Gila!! Ini benar-benar gila dan gak masuk akal! Aku gak mau!" Tolak Nara dengan tegas.
Wanita itu hendak melangkahkan keluar dari ruang tersebut, tetapi pergelangan tangannya ditarik Arion yang entah sejak kapan sudah ikut berdiri dan berada dibelakang Nara. Ia memutar tubuhnya dan menghadap pada Arion dengan raut wajah kesal.
"Pokoknya ... aku gak mau!" tekan Nara dengan nada tinggi.
"Al ... dengerin aku dulu! Oke, aku memang salah. Aku minta maaf karena melibatkanmu dalam urusanku. Tapi, nenek sudah terlanjur tahu dan akan mengurus semuanya."
Nara melepaskan tangannya dari genggaman Arion dan segera keluar dari ruangan tersebut tanpa mengatak sepatah kata pun. Arion menghela napas dalam seraya menundukkan kepalanya. Rasa sesal mulai menggelayuti dirinya.
"Dimana kewarasan gue?" tanyanya pada diri sendiri.
***
Sejak kejadian dalam ruang VVIP, Nara benar-benar sangat disibukkan dengan pekerjaanya di restaurant, begitu juga Arion yang sedang sibuk mengurusi beberapa laporan akhir bulan untuk dikirimkan pada Darres Grup pusat. Dan dalam beberapa hari itu juga, mereka melupakan sejenak urusan pernikahan mereka. Hanya fokus pada urusan masing-masing, tanpa saling mencari atau hanya untuk sekedar menyapa.
Nara melepas apron waiters miliknya dan memasukkannya kedalam lemari lokernya. Ia melirik jam ditangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tiba-tiba slah satu rekannya masuk dan menaruh satu tas kecil berwarna hitam, yang biasa digunakan untuk menaruh uang cash yang akan di stor tunaikan keesokan harinya oleh orang yang ditugaskan manager.
"Nar, besok pagi gue harus nganter nyokap ke rumah sakit. Lo bisa gantiin gue buat stor tunai ke bank?" tanya Sandika dengan wajah memohon.
"Kok gue sih? Kenapa gak ke yang lain sih, San?" protes Nara.
"Gak ada siapa-siapa lagi, Nar. Di restaurant sisa lo sama gue doang. Ayo lah, Nar. Besok jadwalnya nyokap gue kontrol penyakit jantungnya. Lo kan tau sendiri, gimana Pak Damar kalau sampai telat stor uang pendapatan harian. Bisa-bisa kita semua dipecat sama Bu Putri," jawab Sandika.
Nara mengehla napas dalam-dalam. Dia sangat merutuki kelemahan dirinya, yang tak pernah bisa menolak jika seseorang beralasan untuk membantu orangtuanya. Wanita itu akhirnya menyerah, dan menerima tas kecil tersebut seraya memasukkannya ke dalam tas selendangnya.
"Berapa ini?" tanya Nara seraya menepuk-nepuk tasnya.
"Itu sisa, cuma delapan puluh tiga juta. Setoran tadi sore udah dibawa Zahra. Gue duluan iya, Nar. Hati-hati dijalan," jawab Sandika seraya berpamitan pada Nara.
"Iya," sahut Nara seraya melangkahkan kakinya berjalan keluar dari ruang loker.
Setelah mematikan lampu restaurant, gadis itu segera keluar dan berjalan menuju pintu keluar lobby hotel. Tiba-tiba, tatapannya terjatuh pada Arion yang sedang berjalan menuju pintu lift dengan satu cup besar kopi di tangannya. Suasana lobby hotel hari itu sudah cukup sepi, hanya beberapa orang saja yang masih berlalu lalang disana. Beberapa karyawan membungkukkan tubuhnya ketika berpapasan dengan Arion, sedangkan tatapan Arion sedang fokus pada Nara yang memalingkan wajah seraya melanjutkan langkahnya. Pria itu hanya menghela napasnya panjang, dan kembali berjalan menuju pintu lift, membiarkan Nara yang sepertinya masih membutuhkan waktu untuk berpikir.
***
Nara mulai memasuki gang sepi untuk memotong jalan agar tidak perlu melalui jalan besar untuk tiba di kost-kost-annya. Wanita itu memain-mainkan langkahnya dengan kepala tertunduk. Angin malam yang cukup kencang begitu saja berhembus, mengacak rambutnya yang ia biarkan terurai hingga menutupi wajahnya. Nara yang merasa terganggu, segera menyisir dengan jari-jarinya dan menyatukan rabutnya menjadi satu, kemudian ia ikat.
Saat wanita itu melirikkan matanya pada gang kecil disampingnya, ia melihat siluet pria tinggi dan besar yang bersembunyi dibalik tiang listrik. Gang di kedua sisinya cukup gelap, tanpa ada lampu jalan untuk penerangan, hanya lampu jalan berwarna kuning di jalan utama, dan terlihat temaram.
Nara yang mulai merasa takut, segera mempercepat langkah kakinya. Ia mulai merasa ada seseorang sedang mengikutinya dari belakang, dan Nara pun semakin mempercepat langkahnya hingga berlari secepat mungkin. Karena kakinya yang pendek, membuat si pengejar itu lebih cepat mendekat, dan menarik lengan Nara dalam sekali tarikan.
Pria itu terlihat menyeringai dibalik masker hitamnya, dan membuat Nara semakin ketakutan. Seluruh tubuhnya bergetar, dengan napas yang tersengal-sengal seraya memeluk kuat-kuat tas miliknya yang berisi uang restaurant yang harus ia setorkan esok pagi.
"Berikan barang berhargamu, gadis cantik," ujar pria itu seraya mengusap lembut wajah Nara, membuat wanita itu semakin ketakutan disela perasaan jijiknya.
"S-saya gak bawa apa-apa," jawab Nara berbohong, suaranya terdengar sangat bergetar.
Pria itu melirik tas yang sedari tadi di peluk Nara dan seketika itu juga menarik paksa tas tersebut, hingga tali yang melingkar pada bahu wanita itu, terputus.
"Ah!!" tanpa sadar Nara memekik seraya memejamkan matanya.
Pria itu membekap mulut Nara dengan tangannya dan mendorong wanita itu hingga terhimpit ke dinding, Nara kembali membuka matanya seraya membelalakkan mata saat pria itu tiba-tiba mencekram lehernya hingga Nara mulai kesulitan bernapas. Cengkraman itu semakin kuat, membuat wajah Nara sangat merah dengan mulut menganga. Kakinya meronta sekuat tenaga dengan tangan kecilnya berusaha melepas tangan kekar pria itu.
Perlahan, tangan kecil yang berusaha menarik itu melemah, kaki yang meronta itu pun terdiam, diikuti mata yang mulai tertutup dan akhirnya pria pencuri itu melepas cekikannya dan segera berlari, membawa tas yang berhasil ia dapatkan. Sedangkan Nara yang sudah tak sadarkan diri, langsung tergeletak di atas jalanan sepi tersebut, dengan setetes air mata yang menetes dari kedua sudut matanya.
***