“ ...Lea, Alea ayo bangun.”
Samar-sama suara lembut Ian terdengar begitu dekat di telingaku. Secara perlahan aku membuka kedua mata sembari merasakan tepukan lembut di punggungku, lalu melihat Ian yang berada dekat wajahnya dengan wajahku.
“Hung?” gumamku dengan suara serak. Astaga sejak kapan aku tertidur? Aku melihat keadaan di sekitar. Ternyata aku masih berada di kamar Ian dan duduk menidurkan kepala pada meja bundar milik Ian. Sementara di pundakku terdapat selimut hangat milik Ian yang tersampir dengan nyaman. Ian pasti meletakkannya di sana untuk membuatku tidur lebih nyaman. Aku kembali menegakkan punggungku dengan lemas.
“Waktunya bangun, Lea. Kau perlu pulang. Papamu pasti menunggumu di rumah sekarang,” ujar Ian. Aku masih duduk diam di tempat, berusaha mengumpulkan nyawa yang sempat melayang entah ke mana.
“Hm, ini jam berapa?” tanyaku.
“Jam 8,” jawabnya singkat. Aku langsung membolakan kedua mata mendengar hal itu. Ternyata hari sudah malam dan aku tertidur nyaman di kamar Ian.
“Uh, aku harus pulang,” ujarku. Aku mulai bergerak lebih sigap menyiapkan semua barang-barangku hendak pulang.
“Kau perlu makan dulu di sini. Aku akan mengantarmu pulang setelah itu,” pesan Ian yang kini duduk memerhatikan diriku membereskan semua barangku. Aku menolak.
“Kau cukup mengantarku pulang saja. Aku bisa makan di rumah nanti.”
Ian memasang raut wajah tidak setuju, akan tetapi berakhir pasrah kemudian. “Baiklah. Pastikan kau makan malam dengan benar. Ingat perutmu sedang sakit.”
“Aku mengerti. Ayo pergi,” jawabku kemudian lalu bangkit berdiri. Ian juga ikut bangkit bersamaku. Perjalanan terasa begitu cepat hingga mobil Ian akhirnya sampai di parkiran rumahku.
“Kau tidak masuk?” tawarku setelah turun dari mobil Ian. Aku melihat Ian lewat jendela mobil yang pria itu buka.
“Lain kali saja.” Aku mengangguk mengerti. Setelah itu aku melambaikan tangan sebagai bentuk perpisahan kami sebelum berbalik pergi memasuki rumah. Sementara Ian juga mulai melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. Berjalan santai melewati ruang keluarga ketika suara yang familiar tiba-tiba terdengar, menghentikan langkah kakiku.
“Dari mana saja kamu?” Aku terkejut dan langsung menoleh ke arah asal suara tersebut. Pandangan mataku langsung disajikan sebuah pemandangan dari keluarga yang terlihat bahagia, yang selama ini kuimpikan. Papa, Mama Silvy, dan Elly telah duduk bersama dengan senyuman di wajah mereka yang kemudian perlahan luntur memandangku.
Sementara Papa langsung menatap tajam ke arahku. Sepertinya seharian bersama Ian tadi telah membuatku sempat melupakan kehadiran Elly di rumah ini. Aku melangkah perlahan untuk mendekati mereka.
“Apa jam pulang sekolahmu sudah berubah jadwal?” sindir Papa.
“Alea datang ke rumah Ian dulu tadi, Pa,” jawabku.
“Kau masih saja berteman akrab dengan anak itu? Ha ... tidak berguna.” Aku mengatupkan bibir dengan rapat. Merasa tidak terima ketika Papa memandang buruk Ian atau pun pertemanan kami, tapi di sisi lain juga aku harus menahan diri karena menyadari bahwa beliau adalah Papaku.
Sementara Mama Silvy dan Elly yang duduk saling bersebelahan nampak diam memerhatikan percakapan kami. Sesekali mereka akan saling bertatapan mata dan melempar senyum layaknya anak dan ibu yang saling menyayangi.
“Apa kau lupa dengan Kakakmu? Elly telah datang ke rumah ini, seharusnya kau menyambutnya dengan baik. Bukan hanya tidur saja dalam kamarmu seperti kerbau. Di mana sopan santunmu itu, Alea?!”
“Papa, Elly tidak masalah kok. Jangan marahi Alea lagi. Kasihan, dia pasti sudah lelah.” Tiba-tiba Elly masuk ke dalam percakapan di antara kami dan melindungiku. Meski begitu, tetap saja rasanya hatiku sudah terluka dengan ucapan menyakitkan dari Papa tadi. Elly bangkit dari duduknya dan mendekatiku. Gadis itu menunjukkan senyum cerah kepadaku.
“Hai, Alea. Akhirnya aku bisa ketemu sama kamu. Mulai sekarang kita akan menjadi keluarga yang sesungguhnya karena aku akan tinggal di rumah ini. Mohon bantuannya ya,” ucap Elly dengan riang. Aku tidak tahu apa dia memang gadis yang riang seperti ini atau dia hanya mencoba baik di depan papa saja, karena pada dasarnya aku hanya sekali dua kali bertemu dengan dia dan itu pun hanya sebentar.
Bahkan sebelumnya kami tidak saling berbicara karena kami jelas merasa asing satu sama lain. Kini melihat gadis itu mencoba berbicara lebih dulu denganku, mau tidak mau aku juga harus membalasnya dengan baik, terlebih ada Papa yang masih menatapku tajam dan memerhatikan responku atas sikap Elly. Dengan pandangan tajamnya aku merasa Papa sedang mengancamku, haha, tidakkah itu terasa sangat lucu?
Aku memaksakan diri untuk tersenyum membalas ucapan Elly. “Ya, selamat datang, Elly. Maaf aku belum sempat menyambut kedatanganmu kemaren.”
“Apa kau bilang?!” sentak Papa dengan keras yang berhasil membuatku juga Elly tersentak kaget. Kami berdua langsung menatap ke arahnya dan melihat Papa semakin melotot kepadaku. “Alea, apa kau benar-benar tidak punya sopan santun?! Elly adalah Kakakmu. Dia lebih tua dua tahun darimu. Panggil dia dengan cara yang lebih baik. Jangan membuatku malu!”
Barulah aku tersadar akan kesalahanku. “Ah, maaf. Sekali lagi selamat datang di rumah ini, Kak Elly,” ucapku pada gadis itu. Sekali lagi aku memaksakan diri untuk tersenyum sementara jantungku terasa seolah baru saja disengat listrik hingga membuat dadaku nyeri. Elly terlihat membalas ucapanku dengan senyuman lebar. Dalam sekejab perutku kembali terasa sakit seolah tengah diremas dari dalam dengan kuat.
“Kau akan bergabung bersama kita di sini kan?” tanya Elly. Aku menoleh ke arah Papa dan Mama Silvy. Baik keduanya tidak ada yang melempar senyum padaku seolah mereka tidak mengharap kehadiranku.
“Mungkin lain kali. Aku perlu beristirahat,” ujarku dengan sesopan mungkin.
“Oh, baiklah kalau begitu.” Elly langsung membalikkan diri dan kembali duduk di sebelah Mama Silvy. Aku sendiri mulai melangkah pergi, menaiki tangga menuju kamarku. Rasanya aku tidak berselera untuk makan sesuatu malam ini. Aku hanya ingin pergi ke dalam kamar, membersihkan diri, dan beristirahat di sana.
Sepanjang perjalanan aku sibuk mengedipkan kedua mataku yang terasa berair dan panas. Aku menarik napas panjang dan menghelanya dengan pelan. Mencoba menenangkan detak jantungku yang terasa berdentum begitu keras hingga membuatku terasa nyeri, sementara satu tanganku sudah bertengger di atas perut menahan sakit yang kembali datang.
Dari jauh aku bisa mendengar suara tawa mereka bertiga yang terdengar renyah dan menyenangkan. Sesekali Papa akan berbincang dengan Elly dan mereka tertawa bersama. Ahh rasanya aku iri sekali. Aku juga ingin berbincang dengan Papa dan tertawa lepas bersamanya, seperti Elly saat ini.
Kedipan mataku semakin bergerak cepat demi menahan air mata agar tidak menetes jatuh. Buru-buru aku mempercepat langkah kaki untuk masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dengan rapat. Dengan begitu aku tidak akan mendengar suara tawa mereka lagi.
Hari di mana Ian akan memperkenalkan teman-temannya padaku akhirnya tiba. Siang ini, di waktu istirahat sekolah di mana kantin terlihat begitu ramai, Ian membawaku datang ke tempat itu. Tidak tahu bagaimana gugupnya aku saat ini yang akan menghadapi mereka semua, Ian justru terlihat begitu bersemangat menyeret tubuhku dengan merangkul bahuku menuju kantin di mana teman-temannya telah berkumpul di sana.
“Mereka sudah di sana. Tenang saja, Lea. Aku yakin kau pasti akan menyukai mereka. Aku sudah memilih teman-teman yang jelas akan cocok dengan dirimu, percaya padaku!” seru Ian dengan senyuman lebarnya penuh bangga. Sesekali aku bisa melihat beberapa anak yang lewat menyapa Ian dengan sangat akrab, dan Ian membalasnya dengan tidak kalah akrab.
Bagaimana aku bisa menolak ajakan Ian saat ini ketika aku sendiri melihat bagaimana antusiasnya pria itu yang ingin mengenalkan diriku pada teman-temannya. Kegugupanku rasanya sudah seperti seseorang yang akan diperkenalkan dengan mertua mereka. Walau aku sendiri belum pernah mengalaminya, tapi tetap saja aku sudah bisa merasakan seperti itu.
“I—ian, bisakah aku ke toilet sebentar?” pintaku dengan suara mencicit. Aku merasa keringat dingin sudah menghiasi beberapa bagian kulitku saking gugupnya. Dan Ian memerhatikan diriku.
“Kenapa? Apa kau takut? Alea, kau tenang saja. Tidak ada yang perlu ditakuti. Mereka hanya teman-temanku dan aku juga akan bersamamu,” ucap Ian dengan tawa gelinya. Aku semakin merasa kesal pada pria itu. Aku yakin Ian mengerti kegelisahanku dan pria itu justru terlihat menikmatinya.
Aku mau tidak mau berakhir pasrah mengikuti langkah kaki Ian yang menyeretku dengan rangkulan tangannya. Rasanya tiap langkah yang kulalui menuju kantin semakin dekat semakin terasa berat. Kedua tanganku diam-diam tidak henti mengepal dan membuka karena rasa gelisah serta gugup yang melanda diriku.
Aku tidak terbiasa seperti ini. Maksudku aku akan merasa baik-baik saja aku aku berinteraksi dengan orang lain hanya sekedarnya, tapi kali ini berbeda. Aku harus berbaur dan membuka diri pada orang asing yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Aku tidak bisa berhenti berpikir negatif.
Bagaimana jika mereka tidak menyukaiku? Bagaimana jika suasana menjadi canggung karena kehadiranku atau mungkin saja aku akan melakukan kesalahan yang membuat suasana menjadi mati? Bagaimana jika mereka tidak bisa menerima diriku? Bagaimana jika mereka ikut membenci Ian karena kesalahanku? Apa yang harus kulakukan?
Aku bukanlah gadis yang pintar berbicara seperti Ian. Aku tidak bisa mencairkan suasana atau bahkan hanya sekedar merespon dengan benar pun aku sering kali membuat suasana menjadi canggung. Jika seperti ini, aku baru menyadari betapa seriusnya kehidupan yang selama ini aku lalui. Dalam hidupku tidak ada yang namanya candaan atau humor yang aku mengerti.
Aku selalu hidup serius dengan duniaku sendiri. Bersama Ian pun aku selalu lebih banyak mendengar atau pun diam memerhatikan. Aku selalu nyaman dengan keterdiamanku dan aku tidak perlu repot-repot untuk mencairkan suasana terlebih dulu di antara kami karena Ian selalu yang berinisiatif membuka suara terlebih dulu. Sekali lagi, apa yang harus kulakukan?
Jika tahu begini aku harusnya lebih banyak menonton acara lawak di televisi agar tidak membuat suasana nanti menjadi lebih tegang. Semakin memikirkan hal itu, semakin membuatku tegang setengah mati, hingga aku tersentak kaget ketika Ian tiba-tiba mengeratkan rangkulannya pada bahuku sembari memberikan remasan cukup kuat di sana. Membuatku menoleh ke arahnya.
Kulihat Ian yang menatapku dengan senyum lembutnya, dengan jarak wajah kami yang begitu dekat. Seketika aku terpaku di tempat, sempat melupakan kegelisahanku karena begitu tampannya wajah Ian yang kulihat saat ini hingga seolah membius mataku untuk tetap menatap dirinya.
“Apa yang kau pikirkan?” Aku terkejut dan refleks mengedipkan kedua mata ketika Ian tiba-tiba mencolek ujung hidungku dengan gemas.
“Tubuhmu terasa tegang sekali. Apa yang kau takutkan, Lea? Ada aku yang berada di sampingmu. Hm?” tegur Ian dengan suara lembutnya. Aku yakin pasti Ian bisa merasakan ketegangan pada tubuhku sehingga pria itu semakin mengeratkan rangkulannya untuk membuatku merasa lebih santai.
Melihat bagaimana Ian yang tetap mencoba menyemangatiku seperti ini, mau tidak mau membuatku merasa campur aduk. Aku ingin mempercayai Ian dan mendorong diri, tapi tetap saja ada rasa takut yang masih melekat dalam hatiku. Bagaimana jika aku mengacaukan semuanya dan membuat teman-teman Ian merasa tidak senang, lalu berakhir mereka ikut membenci Ian? Aku ... sungguh aku merasa takut memikirkan hal itu.
“Semua akan baik-baik saja, Lea. Kau terlihat seperti akan berperang untuk mati sekarang, kau tahu? Ikuti aku, dan cobalah untuk lebih santai. Kau tidak perlu memaksakan diri untuk berbicara panjang lebar. Aku yakin, cukup dengan kau menunjukkan senyummu pada mereka, maka mereka akan langsung menyukaimu hahaha,” ujar Ian dengan tawa renyahnya. Mendengar hal itu seketika membuatku merasa geli.
“Jika semua akan bisa diselesaikan dengan hanya senyuman, maka semua akan menjadi lebih mudah, Ian,” gerutuku sembari tersenyum geli akan ucapan Ian tersebut.
“Hm? Memang mudah. Semua akan terasa lebih mudah jika kau melempar senyum saja, dan biarkan alur berjalan seperti semestinya,” ucap pria itu dengan mantap. Seperti yang bisa diduga, Ian selalu bisa berpikir positif dalam banyak cara. Membuatku merasa iri dengan kemampuan Ian dalam bersikap itu. Semua terlihat begitu mudah jika Ian yang melakukannya.
“Nah di sana mereka!” seru Ian kemudian menunjuk ke arah depan di mana beberapa anak sudah berkumpul di sana. "Ayo cepat kita ke sana!"
Aku semakin tegang ketika menyadari bahwa kita telah sampai pada tujuan. Mataku langsung menoleh ke arah kumpulan itu. Kenapa semuanya adalah pria?! Ian benar-benar ingin membuatku mati kutu! Teriakku dalam hati ketika pria itu semakin antusias menarikku menuju meja tempat teman-temannya berkumpul dan membuatku pasrah. Ian benar-benar tidak membiarkanku menyiapkan mental terlebih dulu sebelum menarikku mendekati mereka.