15.

2405 Kata
"Ayo tambah lagi nasinya," ucap Mama pada putrinya sendiri, Elly. Sedangkan Elly hanya mengangguk merespon ucapan mama. Sementara Papa, ia tersenyum sambil mengambil satu centong nasi dan ditaruhlah di atas piring Elly. "Makan yang banyak, biar badan kamu nggak kurus seperti Alea," tutur papa. Ingin rasanya aku bersuara, aku kurus itu juga karena papaku sendiri yang tidak pernah mempedulikanku. Sakit batin yang aku rasakan, tak akan mungkin bisa mereka bayar dengan kata maaf. Ucapan Papa disambut dengan gelak tawa oleh kedua perempuan di hadapannya. Sementara aku yang baru saja keluar dari dalam kamar, langsung merasa malas untuk bergabung dengan mereka. Bagiku saat ini, lebih baik menahan lapar karena tidak sarapan, daripada harus membiarkan kedua mataku terus memanas karena keharmonisan keluarga baru papa. Aku langsung menuju keluar tanpa berpamitan. Papa melihatku, ia hanya menoleh dan terus membiarkanku pergi. Sepintas aku mendengar pertanyaan Elly yang seolah ingin mencari perhatian papa, "Pa, Alea tidak sarapan terlebih dulu?" Pertanyaan yang berhasil membuat papaku semakin menyayanginya. Ia mengira, kalau Elly benar-benar tulus perhatian terhadapku, kenyataannya, ia hanya berusaha mencari simpatik dan berlagak sok paling peduli. "Sudahlah, jangan pikirkan dia!" Ucapan Papa yang sampai saat ini membekas di dalam hatiku. Bahkan segarnya udara di pagi hari, masih tak mampu menyapu bersih perasaan sakit luar biasa ini. Namun bukankah aku sudah terbiasa melihat keharmonisan mereka? Ah, seharusnya aku tidak perlu bersedih lagi seperti ini. Alea adalah wanita yang kuat, hal itulah yang terus aku tanamkan di dalam diriku sendiri. Tepat sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi, beberapa cewek tengah berdiri di depan pintu kelas, mereka semua menatapku. Tatapan mereka begitu dingin, namun langkahku tetap berjalan, hingga salah satu dari mereka menarik tas punggung yang aku kenakan. Badanku secara otomatis tertarik ke samping kanan dan kini berada di antara mereka. Lalu satu di antara mereka, menggerakkan salah satu alisnya, dan aku dibawa menuju gudang kosong sekolah. Mereka membawaku dengan paksa, menarik tanganku, sedangkan tasku ditinggal dan digelatakan di atas lantai. "Kamu seneng kan karena sudah dibela oleh Dimas?" ucap salah satu dari mereka dengan ketus. Ia menatapku dengan tatapan begitu tajam, sedangkan yang lainnya, mereka tertawa puas melihat ketakutan di wajahku yang semakin menggila. Kerutan wajah mereka juga terlihat jelas, tak ada garis bibir sedikit pun yang mereka tampilkan. Aku berusaha bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman mereka, tiga lawan satu, bukanlah lawan yang imbang. Jelas aku akan kalah, namun apa salahnya jika aku terus berusaha. "Lepaskan aku, aku tidak pernah mencari gara-gara dengan kalian!" bentakku, aku berusaha melawan mereka. "Tidak pernah mencari gara-gara kamu bilang?" "Justru kedekatanmu dengan Dimas dan teman-temannya, itu sama saja mencari gara-gara dengan kami," kata mereka. Mendengar jawaban mereka, aku tidak ingin tinggal diam. Aku memiliki hak untuk berteman dengan siapa pun, dan juga memiliki hak untuk dekat dengan siapa pun. "Aku dekat dengan siapa pun, itu bukan urusan kalian. Selama aku tidak merugikan kalian semua, itu artinya aku tidak bersalah!" Suaraku terdengar begitu nyaring, tatapanku melotot ke arah mereka. Namun tetap saja, apa pun yang aku lakukan, juga tidak mampu membuat mereka takut dan melepaskanku. Salah satu anggota dari mereka terus mendekat ke arahku. Sepertinya dia adalah ketua di dalam geng. Sedangkan kedua tanganku masih mereka tahan. Aku bersikeras mengoyakkan kedua tanganku agar bisa terlepas dari tautan tangan mereka, tapi hasilnya nihil, aku tidak berdaya melawan kekuatan tenaga mereka. Seketika pikiranku melayang pada Ian, seseorang yang sangat dekatku, namun sekarang ia tengah mengejar perempuan lain dan mengabaikanku. 'Bahkan di saat aku butuh kamu, sangat-sangat membutuhkanmu, kamu tidak ada di sini,' batinku dalam hati. "Lepaskan aku! Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku. Namun pertanyaanku itu ibarat sebuah omongan sampah yang tidak perlu mereka hiraukan. Sementara bel masuk telah berbunyi beberapa detik yang lalu, sama sekali tidak membuat mereka bergerak sedetik pun untuk melepaskanku. "Aku dan kawan-kawanku hanya ingin bermain-main dengan seorang gadis yang selalu dilindungi oleh golongan cowok populer di sekolah ini," ketusnya. Ia tertawa licik di hadapanku, bahkan semua gigi di rahangnya, bisa kulihat dengan jelas. "Aku kan sudah bilang, kamu hanya perempuan sampah yang pantasnya juga bergaul dengan sampah, hahah!" Perempuan itu mengeluarkan spidol merah di dalam sakunya. Ia melempar tutup spidol tersebut dan mengarahkan ujung spidolnya ke arah seragam sekolahku. "Ja-jangan!" "Jangan lakukan ini padaku, kumohon." "Jangan, jangan lakukan ini!" Bahkan aku harus memohon dan memasang wajah melas, demi mendapat belas kasih mereka. "Gadis cupu sepertimu, tidak pantas bergaul dengan mereka!" "Ha-ha-hah. Seharusnya kamu sadar diri, kalau orang sepertimu tidak pantas untuk bergabung dengan geng-nya Dimas." Aku tahu, mungkin salah satu dari mereka ada yang menyukai Dimas. Namun di luar alasan itu, mereka memang senang melihatku merasa ketakutan seperti ini. Ada kepuasan tersendiri di wajah mereka, ketika aku memohon untuk dilepaskan, dan ketika mereka berhasil membullyku. Ibarat umpan yang tengah masuk ke dalam perangkap, wajah mereka sungguh telah menggambarkan betapa bahagianya mereka, ketika melihatku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Namun aku tidak ingin tinggal diam. "Kamu salah, justru orang seperti kalian yang tidak pantas berteman dengan mereka. Mereka adalah orang baik, selalu melindungiku, tidak seperti kalian semua yang terus saja menindas orang yang lemah," kataku. Jika permohonan tidak juga membuat mereka melepaskanku, lebih baik aku meluapkan segala amarahku pada mereka saat ini. Mereka tampak begitu marah setelah perkataan kurang ajar tersirat begitu saja dari mulutku, namun aku sudah memikirkan akibatnya. Sebuah spidol merah berhasil menjejakkan dirinya di segala sisi seragamku, seragam berwarna putih, kini tak lagi terlihat suci. Noda merah yang terbentuk secara tidak beraturan, tergaris bebas di sana. Tidak berhenti di situ, "Ayo gantian, aku juga ingin mengukir ilustrasi pada baju cewek culun ini." Dengan selang waktu beberapa detik, mereka bertukar posisi. Aku hanya bisa menatapnya sambil terus memberontak, meskipun tidak berhasil, setidaknya aku sudah berusaha melawannya. Ketika seragamku sudah kotor dengan spidol, kini mereka mulai merambah pada wajahku. Berjalan melewati leher dan menepikan ujung spidol tersebut di tengah-tengah pipi kananku. "Tolong, jangan lakukan ini." Tidak terasa air hangat mulai menetes di kedua ujung mataku. Tidak munafik, aku mengharapkan kedatangan seseorang yang bisa membantuku saat ini. Ian, di mana kamu? Aku sangat membutuhkanmu saat ini. Aku memejamkan kedua mataku ketika spidol tersebut mulai merambah dan menjelajahi wajahku. Aku mendengar suara hentakkan kedua kaki dan menuju kemari. "Hentikan! Apa yang sudah kalian lakukan?" Suara berat dan tidak asing lagi, terdengar begitu jelas. Aku membuka kedua mataku, dan melihat seorang pria tengah berdiri di andalanku. Pria itu langsung merampas paksa spidol yang hampir saja menjelajahi kedua pipiku. Ia langsung membuangnya di tong sampah, tidak lupa dengan menarik tangan wanita yang tadi memegang spidol tersebut. Ia mendorongnya dengan keras, sehingga wanita tersebut terjatuh di atas lantai. "Aduh! Argh! Sakit," rintih wanita itu ketika tubuhnya menghantam tanah dengan keras. "Ian, kamu datang!" seruku. Aku begitu senang melihatnya datang dan melindungiku. Aku benar-benar senang. Wajahku yang semula layu dan banyak bekas tangisan, kini mulai tersenyum lebar. "Untung saja kalian seorang wanita, kalau bukan, sudah kuhabisi kalian semua!" "Berani-beraninya kalian mengganggu Alea. Dan kamu—" Sambil menunjuk ke arah seseorang yang saat ini berada di lantai. Kemudian mengambil spidol yang sempat ia buang, ia mencarinya di tong sampah, ketika sudah ketemu, Ian mendekatkan tubuhnya ke wanita tersebut. "Kamu mau melakukan apa?" tanya perempuan itu dengan perasaan was-was. "Kenapa? Kamu nggak mau seragam dan wajah kamu dicoret seperti Alea? Kamu takut?" ucap Ian. Aku yakin, ia tidak hanya sedang menggertak. Sorot kemarahan tergambar jelas di kedua matanya. "Ian, hentikan! Kamu tidak perlu membalas perbuatannya," ucapku, berusaha menghentikan Ian. Aku hanya tidak ingin Ian melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Sejujurnya, Ian datang dan membelaku, itu semua sudah cukup. Ian menoleh ke belakang dan menatapku, ia juga terlihat begitu kesal. "Bahkan Alea sendiri menginginkanku untuk melepaskanmu." Lalu kembali menghadapkan wajahnya pada perempuan itu. Ian memulai dengan menarik garis panjang di seragam miliknya. Menggambar beberapa motif bunga, kemudian menutup gambaran tersebut dengan puluhan coretan yang tidak terhitung jumlahnya. "Jangan lakukan ini lagi, tolong!" rintihnya. Ian tidak peduli, ia terus melakukannya. Sedangkan kedua temannya, kini sudah melepaskan tanganku. Mereka semua menatap takut, bisa ditebak, mereka pasti sedang membayangkan bagaimana jika Ian juga melakukan hal yang sama pada mereka berdua. Tidak kusangka, ternyata nyali mereka begitu ciut. Setelah cukup puas, Ian menghentikan aksinya. "Ini baru peringatan, jika aku menemui kamu dan teman-temanmu melakukan hal yang sama pada Alea, aku tidak akan pernah melepaskanmu," ancam Ian. Perempuan itu mengangguk, keringat dingin bercucuran memenuhi wajahnya saat ini. Ian berdiri dan membiarkan mereka bertiga untuk pergi. Kedua rekan perempuan itu yang begitu setia, ia mencoba membantu temannya untuk babgun, lalu membawanya pergi dari hadapan kami berdua. Aku kembali menatap Ian, rasanya aku begitu merindukannya. Wajahnya yang sudah sangat lama tidak aku lihat, kini tengah berdiri di hadapanku. "Ian, kamu datang, kamu datang untuk menyelamatkanku. Terima kasih banyak, Ian," ucapku. Aku langsung berlari ke arah Ian dan memeluknya. Aku memeluknya erat, setidaknya rasa rindu yang menggebu di dalam hatiku kini tersalurkan dengan puas. Untuk pertama kalinya, aku berani memeluk Ian. Aku memeluknya dengan sadar, aku menyukai pelukan hangat yang juga Ian berikan, aku tidak memikirkan soal gengsi ataupun soal status kami berdua yang hanya sebagai teman dekat. Akan aku tekankan sekali lagi, aku begitu senang melihat Ian yang ternyata masih mengingatku. Ian melepas pelukannya, lalu menatap kedua mataku lekat-lekat. "Sampai kapan kamu menjadi perempuan lemah seperti ini?" tanya Ian, berhasil membuat jantungku yang semula berdegup kencang, kini terasa berhenti seketika. "A-apa maksud kamu?" tanyaku, meskipun aku sudah mendengarnya dengan jelas, entah kenapa hatiku masih butuh penjelasan dari Ian. "Kenapa kamu begitu senang diperlakukan seperti ini terus sama mereka? Apa nggak bisa kamu sedikit saja melawan mereka!" Ian menatapku dengan serius, begitu juga denganku. Aku tidak percaya Ian bisa mengatakan itu semua. Aku mulai membuang muka, mengernyitkan dahi seraya berusaha merapikan rambut. "Jawab pertanyaanku, kenapa kamu hanya diam saja," tegas Ian. Baru saja aku senang karena kedatangan Ian, namun nyatanya, pria itu justru menganggapku lemah dan hanya bisa diam. "Kedepannya, apa pun yang terjadi kepadaku, kamu tidak perlu datang dan membantuku," kataku. Itu lebih baik jika kedatangannya hanya untuk mengataiku. Ian memegang kedua tanganku dan menghentikan kesibukanku, "Apa maksud kamu? Aku hanya ingin kamu melindungi dirimu sendiri ketika aku tidak ada di sampingmu!" "Kamu pikir gampang melawan mereka bertiga. Satu lawan tiga, apa itu hal yang imbang?" bentakku pada Ian. Ian terdiam tanpa kata. Kemudian gantian aku yang menatapnya dengan tatapan tajam. "Apa kamu bilang tadi, aku harus bisa melindungi diriku sendiri ketika kamu tidak ada di sampingku?" Lalu aku tersenyum mentah di hadapan Ian. "Haha, iya. Aku tahu, kok. Akhir-akhir ini kamu memang sangat sibuk dengan urusanmu sendiri. Aku juga yakin, cepat atau lambat, kamu tidak akan pernah punya waktu untuk bersamaku." Ian kaget mendengar ucapanku, bagaimana mungkin seorang Alea mampu berkata dingin seperti itu pada Ian. "Apa maksud kamu Lea?" Aku berjalan maju mendekat pada Ian, "Kejarlah kebahagiaanmu sendiri dan jangan pernah mempedulikanku lagi!" Meskipun aku tidak benar-benar menginginkan hal itu, tapi hatiku terasa sakit mendengar perkataan Ian. Dulu, ia selalu berkata kalau Ian akan terus bersamaku. Ia tidak pernah mempermasalahkan kelemahanku, karena ia selalu bersedia melindungiku. Namun saat ini, ludah yang telah ia keluarkan, Ian jilat kembali dengan begitu mudah. Ingin rasanya aku teriak, Ian kamu telah berubah! Kamu bukan Ian-ku yang dulu. Aku menahan setengah mati air mata yang ingin keluar dari kedua sudut mataku. Sebisa mungkin aku menahannya. Aku tidak ingin jika Ian semakin menganggapku lemah dan tidak berdaya. "Bukan begitu Lea, kamu sudah salah paham denganku. Aku hanya ingin kamu menjadi wanita yang kuat," ucap Ian. Ia bersikap seolah aku yang sudah salah paham dengannya. Padahal, aku sendiri juga sudah tahu dari Dimas kalau dirinya sekarang tengah mengejar perempuan lain, hingga jarang bersamaku lagi. "Apa susahnya kamu jujur, aku juga tahu kalau kamu mungkin sudah bosan denganku." Aku pun sadar diri, semua ini salahku, karena selama ini aku terlalu bergantung pada Ian. Ian terkejut, pria itu bertingkah seolah tidak mengerti dengan maksud perkataanku. Padahal aku tahu, dia sedang bersandiwara dan menyembunyikan semuanya dariku. "Sudahlah, kamu memang keras kepala. Jika tadi aku tidak datang, maka—" "Maka aku sudah habis dimangsa oleh mereka, begitu, kan? Baiklah, kamu ingin aku berterima kasih?" Aku mengeratkan kedua rahang, hatiku sangat panas, hingga tidak bisa mengontrol amarah yang begitu sesak di dalam d**a. "Aku sangat berterima kasih kepadamu. Dan selanjutnya, kamu tidak perlu datang untuk membantuku. Aku bisa menjaga diriku sendiri." Aku segera menyeret kakiku untuk menjauh dari Ian. Membalikkan badan, dan mengeluarkan air mata yang keluar dari mataku. Aku sudah tidak tahan untuk menahannya. "Lea, tunggu. Kamu sudah salah paham!" teriak Ian. Tapi aku tidak ingin berbalik dan mendengarkan penjelasannya lagi. Aku sudah cukup tahu, kalau Ian sudah berubah. Seharusnya aku tidak bisa tetap sama, berpikir bahwa hubungan kita tidak akan berubah. Seharusnya aku menyadari bahwa suatu saat nanti aku dan Ian akan memiliki jalan masing-masing. Namun tetap saja, perasaan ketika diri telah ditinggalkan tidak bisa membuatku senang. Aku tidak menyangka aku akan merasakan perasaan tertinggal itu lagi, dan itu pun dari Ian, teman yang aku pikir akan selalu menjadi orang yang siap setia di sisiku. Mungkin hanya aku yang berpikir berlebihan dalam hubungan di antara kita. Aku harus sadar diri, karena Ian sejak awal memang bukan milikku. Aku merindukan Ian yang dulu! Aku tetap melangkah pergi, tidak perduli dengan teriakan Ian yang memanggilku. Aku begitu fokus dengan air mataku yang sempat jatuh, juga hatiku yang telah patah, hingga tanpa kutahu ada seseorang yang tengah berjalan melawan arah dariku. Tanpa menyadarinya, aku akhirnya menabrak tubuh itu dengan cukup keras. "Owh!" "Ugh!" Kami sama-sama mengaduh kesakitan setelah menerima tabrakan itu. Sungguh, kurasakan bahuku yang sakit. Beruntung aku tidak sampai terjatuh karena orang itu langsung menarik tanganku. "Huh? Lea? Kau tidak apa-apa?" Aku langsung menyadari pemilik suara itu. Dia adalah Dimas, dan aku terkejut sekaligus tidak percaya melihat Dimas di sini. Kenapa selalu ada Dimas di setiap situasi buruk yang aku alami? Buru-buru aku mengalihkan wajah menghindari tatapan Dimas yang sepertinya mulai menyadari air mataku ini. "Alea, apa kau menangis?" tanya Dimas langsung memberikan perhatiannya padaku. "Tidak. aku--" "Alea! Kenapa kau mengabaikan panggilanku? Kita belum selesai bicara!" Terdengar seruan Ian yang langsung memotong ucapanku. Baik aku dan Dimas langsung menoleh ke arah Ian yang sudah berada di dekat kami. Aku langsung memalingkan muka menghindari Ian. Tanpa menunggu pria itu, aku memilih untuk pergi meninggalkan mereka berdua. Samar-samar aku mendengar suara Dimas yang berbicara dengan Ian. "Apa lagi yang kamu lakukan sama Alea?" Suara Dimas terdengar begitu tegas, seolah dia tengah menginterogasi Ian. Setelah itu aku tidak mendengar pembicaraan mereka karena jarak yang semakin jauh. Meski begitu aku tetap merasa bersyukur karena Dimas membuat Ian berhenti mengejarku.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN