Dulu kita saling mencinta ternyata hanya untuk memberi duka lara
Dulu kita mengikat janji ternyata hanya untuk mengingkari
Dan kita pernah saling berpelukan ternyata hanya untuk sebuah kenangan
__________________&&&____________________
"Assalamualaikum.. Oh ternyata ada tamu," ucap Azzam yang seketika membuat Adiva mengangkat wajahnya begitu juga Al yang seketika menoleh ke arah sumber suara dengan menjawab salam secara bersamaan.
Kedatangan Azzam membuat kegugupan Adiva semakin bertambah, laki-laki dari masa lalu dan masa depannya kini berada tepat di hadapannya dan ia tidak tahu harus bersikap, seandainya ia memiliki kemampuan untuk menghentikan waktu pastilah sudah ia lakukan sekarang juga, menghilang.
"Ustadz Azzam?" Sapa Al dengan wajah terkejut. Namun ia segera berdiri dari tempat duduknya dan menyalami Azzam dengan tawaddu'. Gemuruh di hati Al semakin terasa kuat saat menatap Adiva lalu beralih kembali ke arah Azzam. Mencoba mengaitkan hubungan di antara mereka berdua.
"Kamu Al? Aldebaran Malik kan?" Tanya Azzam kembali, ia ingat Al adalah santri yang rajin dan cerdas, selama membimbingnya Azzam tidak pernah kerepotan bahkan Al tipikal santri yang mandiri dan kreatif.
"Iya Ustadz, saya Aldebaran," jawab Al singkat.
"Sayang tolong ambilkan ponsel Mas sebentar, tadi Mas lupa, sepertinya tertinggal di kamar, di atas nakas ya!" Ucap Azzam lembut, Azzam menangkap sesuatu yang berbeda dari istrinya, Adiva tampak gugup dengan wajah memucat.
Deg.. Azzam teringat, Adiva pernah mengigau dalam tidurnya memanggil nama Al, apakah mungkin Al yang kini berdiri di hadapannya adalah Al cinta masa lalu istrinya? Azzam menatap kembali Al yang sedang menatap nanar punggung Adiva yang sedang berjalan masuk ke dalam rumah, Azzam tahu itu bukan tatapan biasa. Hati Azzam sakit bagai ditikam belati, ia cemburu karena ada laki-laki lain yang mencintai istrinya begitu besar. Namun Azzam juga tidak bisa mengelak bahwa dulu ia adalah orang ketiga di antara hubungan Adiva dan Aldebaran.
Untuk mencairkan suasana Azzam mengajak Al duduk kembali, sambil menanyakan kabar dan kesibukan Al di rumah setelah ia boyong dari pondok pesantren. Al juga memberitahukan bahwa adiknya Aray saat ini tengah mondok di pesantren Al-Amin. Al menjelaskan bahwa dulu ia dan Adiva adalah satu angkatan di SMA A. Dahlan. Seketika senyuman getir terlukis di bibir Azzam kala menyakini jika laki-laki yang saat ini tengah berbicara adalah kekasih istrinya.
"Makasih Sayang," ucap Azzam saat Adiva memberikan ponsel miliknya, Adiva masih menundukkan kepala sedangkan Al masih menatap Adiva lekat dengan mata sendu. Panggilan Sayang yang ke luar dari bibir Azzam berhasil menghancurleburkan hati Al menjadi berkeping-keping.
Al segera tersadar saat mendengar panggilan sayang Azzam untuk kedua kalinya, gadis pujaan hatinya kini telah dimiliki oleh laki-laki lain. Tangan kanan Al mengepal kuat di bawah meja hingga buku-buku jarinya memutih, ia tahan kuat-kuat agar mampu menahan rasa kecewa dan amarahnya, ia berusaha tersenyum lalu segera berpamitan sebelum perasaannya meledak. Mendengar Al berpamitan Adiva segera menatap ke arah Al dengan mata berkaca. Ia masih merindukan laki-laki berlesung pipi yang kini menatapnya dengan gemuruh lara yang telah ia torehkan.
Adiva menelan salivanya dengan susah payah lalu memaksakan diri untuk tersenyum pada Al, ia pandangi punggung Al menjauh dari pandangannya hingga menghilang bersama motor yang ia kendarai. Dan semua sikap Adiva dan Al tak luput dari perhatian Azzam, meskipun hatinya juga terluka tapi ia berusaha bersikap tenang dan dewasa. Ia pernah merasakan sakitnya patah hati seperti yang Adiva dan Al rasakan dan tentu saja hanya waktulah yang mampu menjadi penyembuh luka itu. Azzam berjanji akan melakukan apapun agar Adiva benar-benar jatuh cinta padanya dan segera melupakan cinta masa lalunya.
"Sayang, Mas ke kampus dulu ya?" pamit Azzam yang seketika menyadarkan Adiva yang masih mematung menatap arah kepergian Al.
"Ngeh Mas hati-hati di jalan," balas Adiva dengan gugup, Adiva seperti tak kuasa menahan debaran hebat jantungnya saat kedua laki-laki terpenting dalam hidupnya bisa bersamaan berada di hadapannya tadi. Bahkan tadi Adiva sempat menumpahkan tangisnya sejenak sambil mencengkeram dadanya saat masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel milik Azzam.
Azzam membelai pipi Adiva lembut dengan berusaha tersenyum untuk menutupi rasa sakit di hatinya lalu melenggang pergi dengan membawa kepingan luka yang kembali menderanya.
Mungkin dulu Azzam mengalah membiarkan cinta pertamanya pergi bersama kekasih lamanya tapi untuk kali ini ia pasti akan memenangkan cinta yang telah terikat janji suci di hadapan Allah, Azzam yakin apa yang telah dipersatukan oleh Allah adalah suratan takdir, dan Adiva adalah takdirnya. Bukankah semua selalu diawali dengan yang pertama? Begitupun Azzam dan Adiva. Mereka bersatu setelah berlayar dan berlabuh di dermaga yang lain. Dan kini biarkan waktu yang menjalankan perannya sesuai suratan takdir.
Setelah berada di dalam kamar Adiva menangis sekuatnya, bagai jutaan belati menikam dadanya, sakit tak berdarah namun perihnya mampu menghentikan dunia Adiva seketika.
"Astaghfirulllohaladzim..." Tak henti Adiva mengucap istighfar saat kembali mengingat tatapan sendu Aldebaran yang mengoyak hatinya. Adiva tahu ini dosa besar tapi ia sendiri tidak mampu menipu hatinya. Ia masih mencintai Al. Laki-laki itu jauh lebih terluka dibandingkan dirinya.
"Maafkan aku Al," desis Adiva disela-sela tangisannya.
Adiva duduk di tepian ranjang sambil memeluk bantal untuk meredam tangisnya yang belum juga mereda, ia gigit sekuat tenaga ujung bantal agar suara tangisnya tak terdengar ke luar, ia khawatir jika tiba-tiba ibu dan ayahnya pulang dari pasar lalu melihatnya seperti ini.
"Adiva?" Suara panggilan ibunya berhasil membuatnya terkejut, ia segera berdiri lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membasuh wajahnya.
Ia pandangi mata sembab dari balik cermin di hadapannya, hembusan nafas berat Adiva menyatu bersama suara gemiricik air shower yang kini mengguyur tubuhnya, kembali tangis Adiva pecah dengan tubuh meluruh di atas lantai.
*****
Suara decitan lokomatif yang bergesekkan dengan rel tak berujung pun tidak berhasil mengusik kebekuan Aldebaran. Hatinya seperti tercabut dari rongganya, tak berasa. Kini sebelah sayapnya patah, hidupnya goyah tak seimbang.
"Adiva tak punya pilihan Al dengan perjodohan itu, ia tidak sampai hati untuk memberitahukan padamu, aku adalah saksi bagaimana ia berjuang dalam keterpurukannya. Adiva tidak bisa menolak karena ayahnya sudah menerima lamaran orang tua Azzam 3 tahun lalu, ia tidak bisa mengecewakan kedua orang tuanya apalagi kehormatan ayahnya dipertaruhkan. Sebenarnya Adiva dijodohkan dengan Hisyam adik Azzam namun karena kakaknya belum menikah jadilah Adiva menikah dengan Azzam."
Wajah sendu Adiva memenuhi pelupuk mata Al sembari ujung jari menuliskan nama Adiva dalam kaca berembun di sampingnya saat penjelasan Safira berdengung kembali dalam ingatannya. Ia usap kembali air mata yang menetes di pipinya, tak memperdulikan penumpang kereta yang duduk di kursi seberang. Ia bahkan tak perduli jika harus menjadi bahan tontonan penumpang lain yang mungkin melihatnya menangis. Terdengar helaan nafas kasar sebelum Al menyandarkan kepalanya pada punggung kursi lalu memejamkan mata untuk meredam sakit di dalam dadanya.
*****
"Dek ayo makan dulu tadi Mas beli nasi goreng di depan kampus," ucap Azzam sambil membelai bahu Adiva yang sedang melamun menatap luar jendela kamar. Pandangannya fokus mengikuti ritme gerimis yang menyapa dedaunan.
Tiga hari setelah pertemuannya bersama Al Adiva lebih banyak melamun dan merenung dan Azzam sengaja tidak mengusiknya, membiarkan Adiva melawan sendiri perang batin yang berkecamuk dalam hatinya karena Azzam yakin Adiva pasti akan memenangkannya. Memberikan ruang dan waktu adalah cara terbaik satu-satunya yang bisa Azzam lakukan.
"Oh iya Mas," balas Adiva sambil membalikkan tubuhnya setelah menyeka air mata yang bergulir di pipinya.
"Mas Azzam, Maafkan aku?" Ucap Adiva dengan terbata sambil menghambur dalam pelukan Azzam, tangisnya kembali menderas, Adiva sadar ia telah mendzolimi suaminya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan Sayang, sudah jangan menangis, mari kita mulai semuanya dari awal," balas Azzam lalu melepaskan pelukannya, ia tatap kedua netra Adiva dalam sambil tersenyum, ia kecup kening dan kedua mata Adiva yang membengkak secara bergantian. Ia belai bibir pink Adiva lalu memagut bibir itu sesaat dengan lembut.
Azzam menggandeng tangan Adiva menuju ruang makan lalu menarik kursi untuk Adiva. Azzam mengambil sendok dan piring untuk mereka berdua lalu memakan nasi goreng tersebut bersama, sesekali Azzam menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut Adiva. Sejak malam itu hubungan Azzam dan Adiva mulai menghangat.
Malam itu dengan hati lkhlas dan lega Adiva melayani Azzam, ia curahkan segala rasa hanya untuk suaminya. Mereka memadu kasih menikmati malam pengantin yang sesungguhnya, tidak ada lagi merasa terpaksa karena suatu kewajiban yang harus Adiva jalankan. Adiva lega setelah menceritakan semua kerisauan hatinya dan berterima kasih karena Azzam mau bersabar dengan memberikan waktu untuk dirinya berpikir dengan jernih. Dan sekarang Adiva yakin Azzam adalah jodoh terbaik yang dikirim Allah untuknya.
"Terima kasih Al karena kamu pernah hadir dalam hidupku, semoga Allah segera mempertemukanmu dengan perempuan yang jauh lebih baik dariku karena aku tau kau adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupku," gumam hati Adiva sambil memeluk Azzam dengan erat. Melepaskan segala beban di hatinya.
*****
Pagi itu setelah berbelanja kebutuhan dapur, sayuran dan berapa ikan segar Azzam berencana memasak bersama istrinya sambil berlahan mengajarinya. Azzam memaklumi istrinya itu masih muda dan manja, kedua mertuanya sudah memberitahunya bahwa Adiva memang tidak suka pekerjaan dapur ia lebih suka menghabiskan waktu di dalam kamarnya untuk menggambar di waktu senggangnya.
Azzam pernah melihat gambar-gambar hasil kreasi Adiva di laci meja kamarnya, ia akui gambar Adiva sangat bagus bahkan seperti nyata, pantas saja di meja belajarnya penuh dengan pencil warna, krayon, dan cat air. Hampir keseluruhan hasil kreasi tangannya berupa bunga dengan berbagai jenis dan warna.
Azzam membeku sesaat kala mengingat akronim AM di setiap sudut gambar hasil kreasi Adiva. Namun ia segera mengenyahkan pikiran negatif di otaknya saat mengingat komitmennya bersama Adiva untuk memulai lembaran baru. Biarlah semua menjadi kenangan Adiva ia tidak berhak mengusiknya lagi.
Dengan antusias Adiva mengikuti instruksi Azzam membuat ayam crispy, setelah mencuci bersih, ayam tersebut dicampur dengan bumbu yang sudah dihaluskan lalu dibiarkan untuk beberapa menit agar bumbu merasuk ke dalam daging ayam. Sembari menunggu Azzam menyuruh Adiva untuk mengupas kulit bawang merah dan bawah putih untuk membuat tumis daun bayam sedangkan dirinya yang menyiapkan sayur bayamnya.
"Aduh," rintih Adiva saat tak sengaja pisau mengiris ujung jarinya.
"Kamu nggak papa?" Tanya Azzam panik sambil meraih jari Adiva yang berdarah dan menekannya, lalu ia hisap dengan bibirnya secara perlahan.
Adiva menggelengkan kepala sambil meringis menatap Azzam yang tanpa rasa jijik menghisap darah yang masih ke luar dari jarinya. Setelah bersih Azzam segera mengambil obat di kotak P3K lalu memberi betadine dan plester untuk menutupi luka di jari Adiva.
"Maaf ya?" Ucap Azzam dengan rasa bersalah sambil membawa tangan Adiva ke bibirnya, mencium ujung jari Adiva yang sudah tertutup plester. Tanpa Azzam duga kedua tangan Adiva membingkai wajahnya lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir laki-laki itu.
"Terimaksih Mas," balas Adiva dengan tergelak saat melihat Azzam mematung dengan ujung jari menyentuh bibirnya.