Aku dihukum rindu
Terpasung dalam janji lalu
Dan dia dihantam luka yang menderu
terpenjara dalam ingkar ku.
_______________&&&______________
Pagi itu Adiva dikejutkan dengan seorang siswa bertubuh besar dengan mata tajam seperti elang, alis tebal, dan bibir berwarna pink kontras dengan kulit terangnya, ia duduk di bangku Adiva dengan seringai yang tak terbaca. Dalam hati Adiva akui siswa itu cukup menarik, lesung di pipi kirinya saat tersenyum menjadi nilai plus tersendiri baginya.
"Kamu kenapa ada di sini?" Tanya Adiva dengan jari telunjuk mengarah kepadanya, perlahan Adiva mengeja dengan keras name tag yang tercetak di seragam putihnya, ALDEBARAN MALIK.
"Jangan bilang kamu tidak mengenal siswa populer sepertiku?" Jawabnya dengan sikap angkuh sambil berdiri lalu mendekati Adiva.
"Emang kamu siapa?" Tanya Adiva tak acuh dan semakin tak mengerti.
"Dia Aldebaran ketua Rubrik majalah sekolah kita Adiva, aku kan pernah cerita padamu!" Sela Safira dengan berbisik yang tanpa Adiva sadari tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya.
"Panggil aku Al," ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Adiva. Adiva masih terdiam menatapnya tajam, mana mungkin ia sampai tak mengenal siswa satu sekolah dengannya.
"Adiva Dania Khanza," ucap Al dengan lancar sambil menarik kembali tangannya yang masih terulur karena tidak ada sambutan dari Adiva. Al seolah bermonolog karena Adiva tak kunjung meresponnya.
"Kamu sungguh kejam Adiva, bagaimana bisa kamu tidak pernah mengenalku, padahal aku sudah mengenalmu dengan baik sejak kita masih di kelas 10 bahkan kita satu grup saat MOS dulu," terangnya. Adiva masih bergeming namun ekor matanya tak lepas mengikuti gerak-gerik Al yang berdiri di hadapannya.
Tet...tet...tet... Suara bel sekolah tanda masuk berbunyi nyaring, seketika semua siswa dan siswi bersiap masuk ke dalam kelas masing-masing karena pelajaran akan segera dimulai.
"Aku akan sering ke sini, oya semoga kamu suka dengan puisi dan bunga dariku," ucapnya lalu mengedipkan sebelah mata dengan tangan kanan terangkat memberi hormat pada Adiva. Terdengar gelak tawa Aldebaran saat melenggang ke luar dari kelas Adiva.
Adiva masih berdiri mematung saat Safira menarik tangannya karena Bu Farah guru Fisika mereka sudah memasuki kelas. Adiva segera tersadar setelah terduduk di bangku lalu ia mencoba merogoh ke dalam laci bangkunya dan benar saja seperti biasa, sepucuk kertas berisi puisi beserta setangkai bunga mawar putih di sana.
"Dek ayo kita sholat isya berjamaah dulu," suara bariton seorang pria yang entah sejak kapan duduk di sebelah Adiva tiba-tiba membuyarkan lamunannya. Suara bariton milik Azzam Aulian Putra yang kini resmi menjadi suaminya.
"Maaf saya lagi udzur Ustadz," jawab Adiva sambil menyeka buliran air mata yang membasahi pipinya dengan gugup. Azzam mengulas senyuman lalu membelai puncak kepala Adiva dengan lembut sebelum pergi. Tubuh Adiva seketika membeku dengan perlakuan lembut Azzam. Dengan perasaan rancu Adiva menatap punggung Azzam yang tengah berjalan ke arah kamar mandi hingga menghilang di balik pintu.
Segera Adiva membersihkan sisa make up di wajahnya lalu berganti dengan baju terusan bergambar Doraemon berwarna biru, tokoh kartun idolanya. Ia tatap wajah sendu di balik cermin dengan saksama, seketika senyuman khas Al dengan lesung di pipi kirinya hadir di sana, kembali air mata Adiva berjatuhan tanpa mampu ia bendung. Bahkan belum sempat ia mengucapkan sepatah kata perpisahan untuk kekasihnya itu. Ia remas dadanya yang terasa sesak sambil memejamkan mata, berulang kali ia mengucap istighfar dalam hati. Adiva tersadar saat logikanya memperingatkan ia bukanlah Adiva yang dulu, ia sudah menjadi istri sah seseorang bernama Azzam.
Klek... Pintu kamar mandi terbuka, sosok Azzam ke luar sambil mengibaskan rambut basahnya dengan handuk. Azzam menatap Adiva dengan tersenyum lalu mengambil handuk lain yang masih kering dari atas meja.
"Mandi dulu Dek biar segar tubuhnya," ucap Azzam yang seketika membuat Adiva menundukkan kepala sambil menerima handuk dari Azzam lalu segera masuk ke dalam kamar mandi.
Ia nyalakan shower untuk meredam suara tangisnya yang kembali pecah hingga ia merasa tenang. Selang 30 menit Adiva ke luar dari kamar mandi saat Azzam sedang duduk bersandar pada punggung ranjang sambil bermain ponsel miliknya. Dengan mengenakan bokser dan kaos putih oblong Azzam tampak lebih muda dari usianya. Pandangan Azzam beralih pada Adiva yang masih berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi. Azzam tersenyum lembut. Dengan perasaan ragu dan jantung bertalu-talu Adiva naik ke atas ranjang.
"Sini!" ucap Azzam menyuruh Adiva mendekat padanya sambil memukul tempat kosong di sebelahnya. Adiva berusaha menelan salivanya yang seperti tercekat di tenggorokan dengan jantung berdebar kian berirama, seandainya bisa menghilang pastilah Adiva sudah menghilang sedari tadi.
Azzam mengubah posisi duduknya menjadi bersila menghadap Adiva, ia telisik wajah cantik di hadapannya, Adiva terkesiap saat perlahan Azzam melepaskan jilbab instan yang dikenakannya.
"Dilepas saja Dek," ucap Azzam yang seketika membuat jantung Adiva semakin berulah. Azzam menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah Adiva ke belakang telinga. Lalu kedua tangannya merangkum wajah Adiva dan menjejakkan kecupan panjang di kening Adiva seraya melafalkan doa. Adiva memejamkan mata, merasakan tubuhnya yang dingin seolah membeku seperti balok es saat bibir Azzam menyentuh keningnya.
"Nggak usah takut Dek, aku sekarang suami sah kamu," terang Azzam setelah melepaskan kecupan di kening Adiva.
"Ngeh Ustadz," jawab Adiva dengan suara bergetar.
Azzam menajamkan pendengarannya dengan alis bertaut sambil memandangi mata bulat dengan bulu lentik itu.
"Ustadz? Mengapa Dek Adiva manggil gitu?" Tanya Azzam masih dengan perasaan heran.
"Ustadz lupa ya sama saya? Saya siswi Ustadz di MTs Darul Hikmah," terang Adiva dengan senyuman tersamar. Adiva sedikit mulai merasa rileks karena menjauh dari tema 'malam pertama', ketegangan yang sedari tadi ia rasa kini mulai mencair secara perlahan.
"Ah yang bener Dek?" Elak Azzam sambil memikirkan sesuatu dengan keras.
"Saya Adiva Dania Khanza Ustadz," jawab Adiva sambil mengulum senyuman saat melihat ekspresi Azzam yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Dani?" Jawab Azzam ragu sambil mengingat-ingat sembari memandangi wajah Adiva dengan saksama.
Azzam melebarkan matanya saat menemukan tahi lalat kecil mencolok di dagu sebelah kiri Adiva, Azzam mulai mengingat sekarang dengan siswinya yang sering ia hukum karena tugas hafalan yang tidak pernah lancar. Apalagi penampilan urakan dan tomboy Adiva yang dulu. Tapi, mengapa sekarang gadis itu bisa menjelma menjadi gadis yang sangat cantik dan anggun bahkan Azzam tak mengenalinya sama sekali.
Bukan tanpa alasan dulu Azzam memanggil Adiva dengan panggilan Dani, Azzam hanya merasa panggilan Dani lebih cocok dengan penampilan tomboy Adiva waktu itu. Azzam bahkan masih mengingat hukuman apa saja yang ia berikan pada Dani, mulai dari menghafal sambil berdiri di depan kelas, berlari memutari lapangan sekolah, berdiri di bawah tiang bendera, dan entah berapa juz Dani membaca Al-Quran sambil berdiri di depan kantor guru gara-gara tidak mengerjakan PR, itupun tidak pernah membuat Dani jera hingga Azzam mengatakan Dani sebagai siswi bebal.
"Saya Adiva Ustadz jangan panggil Dani lagi ya?" Pinta Adiva karena gara-gara Azzam juga Adiva dipanggil Dani oleh sebagian teman-temannya di sekolah. Dan ia tidak suka karena panggilan itu lebih cocok untuk panggilan anak laki-laki.
"Adiva, tapi jangan panggil saya Ustadz lagi ya? Panggil Mas Azzam saja," terang Azzam yang sejenak membuat Adiva tersenyum melupakan sejenak rasa sesak di hatinya.
"Sudah malam sebaiknya kita istirahat dulu, kamu pasti capek," ucap Azzam lalu merebahkan tubuh lalu diikuti oleh Adiva.
Dalam posisi Adiva yang membelakanginya Azzam menatap nanar punggung Adiva, ia tahu gadis itu pasti bersedih dengan pernikahan mereka, tangan Azzam terangkat ingin menyentuh bahu Adiva namun segera ia urungkan. Azzam beralih posisi menatap langit-langit kamar bernuansa biru itu dengan perasaan tak menentu.
Azzam pernah di posisi Adiva dan hanya waktu yang bisa menyembuhkannya. Azzam menghembuskan nafas kasar. Ia teringat bagaimana sakit hatinya saat calon istri yang hanya tinggal menghitung jam resmi menjadi istrinya kabur dengan mantan kekasihnya.
"Nak seminggu yang lalu ayah sowan ke rumah Ustadz Mansur Nawawi beliau setuju dengan keinginan Ayah untuk menjadikan putri beliau sebagai menantu," ucap Haidar dengan tatapan penuh harap, ayah Azzam saat sambang ke pondok pesantren Al-Amin. Azzam terkejut tapi ia menahan diri untuk tidak mendebat ayahnya kali ini.
"Lalu Yah?" Jawab Azzam pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan ayahnya.
"Ya tentu saja kamu yang akan bersanding dengan putri beliau Nak, ayah sudah tua Nak pengen segera menimang cucu, usia kamu juga sudah 35 tahun mau nunggu apa lagi?" Ucap Haidar dengan tatapan sendu, Azzam menghembuskan nafas kasar sebelum menjawabnya.
"Baiklah terserah ayah, Azzam nurut saja," balas Azzam pasrah, ia melihat guratan halus di bawah mata Haidar dan rambut putih yang mulai bertebaran di kepala pria tua itu membuat hati Azzam tak tega untuk menolak permintaannya lagi.
"Terima kasih Nak," ucap Haidar lalu memeluk Azzam dengan erah dan penuh haru.
Ustadz Mansur adalah guru idola Azzam saat ia masih duduk di bangku Aliyah, guru sabar dan berkharisma itu mengampu mata pelajaran Akidah Akhlak yang selalu mampu memukau dirinya dengan cerita-cerita para Nabi dan para sahabat Nabi. Azzam ingat, dulu saat Ustadz Mansur menjadi wali kelasnya di kelas 11 di MA Darul Hikmah, beberapa kali ia sowan ke kediaman beliau bersama kedua orang tuanya, saat itu Azzam melihat putri beliau yang masih berusia 2 tahun, ia sangat lucu dan menggemaskan bahkan Azzam sering menggendongnya saat sowan ke sana. Azzam tak pernah menyangka jika balita lucu itulah yang sekarang menjadi istrinya.
Lamunan Azzam seketika buyar saat ia merasakan pergerakan seseorang di sampingnya. Ia pura-pura memejamkan mata saat Adiva beranjak dari ranjang lalu ke luar dari dalam kamar secara perlahan. Setelah Adiva ke luar dari kamar Azzam bangun lalu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Selang satu jam Adiva kembali masuk ke dalam kamar saat Azzam sedang melaksanakan salat malam, Adiva kembali ke atas ranjang lalu memperhatikan punggung lebar di depannya yang sedang khusuk bermunajat dengan Sang Khaliq. Karena semalaman Adiva tidak bisa memejamkan mata, tiba-tiba saja pandangannya menjadi buram karena mengantuk, berlahan namun pasti ia terseret dalam mimpinya.
Setelah terdengar kumandang azan subuh Azzam segera melaksanakan salat subuh di rumah, setelah melipat sajadah Azzam menatap wajah Adiva yang sudah terlelap dengan tersenyum.
"Aku janji akan membahagiakanmu istriku," ucap Azzam lalu mengecup kening dan kedua mata Adiva secara bergantian, ia belai pipi Adiva dengan lembut lalu menarik selimut hingga ke atas d**a gadis itu sebelum ke luar kamar.