Awalnya Rea mengira Darius hanya mempermainkan permintaannya dan iia sudah mempersiapkan rencana untuk bisa menemui Raka. Sepertinya memang ada beberapa hal yang perlu mereka bicarakan setelah keributan di kantor Darius beberapa hari lalu.
Akan tetapi, ternyata Darius menepati janji yang pria itu ucapkan. Tepat pukul tujuh malam, Ben mengantarnya ke Cavena el. Sesampainya di sana, Rea berdiri sejenak menunggu mobil Ben menghilang di ujung jalanan untuk memastikan keberuntungannya. Siapa tahu pria itu masih memata-matainya atas perintah Darius dan tanpa sepengetahuannya. Hingga sepuluh menit Rea menunggu dan Ben tidak menampakkan diri, ia pun melangkah memasuki cafe berkelas yang dipilih Raka sebagai tempat mereka bertemu.
Rea memegang handle pintu private room yang ada di hadapannya. Menarik napas sambil menutup mata selama beberapa detik, menata perasaannya dengan sebaik-baiknya untuk melepaskan Raka. Hanya itu pilihan yang ia miliki saat ini dan Rea tak mau mengambil resiko apa pun.
Ketika pintu terbuka, ia berpapasan dengan seorang pelayan yang akan keluar. Pelayan itu minggir untuk memberinya jalan. Kemudian melihat Raka dan meja yang sudah penuh dengan pesanan, sepertinya Raka tidak berniat hanya sekedar berbicara sebentar.
"Hai, kau sudah datang." Raka tersenyum cerah sambil berdiri dari duduknya ketika menyadari kedatangan Rea.
Rea hanya tersenyum kecil. Ia tidak tahu kenapa, seperti ada yang berbeda dengan Raka. Entahlah ...
Mungkin karena ... Raka sudah tahu dia hamil anak Darius dan pria itu tidak lagi bisa melihatnya sama seperti sebelumnya. Atau ... dirinya yang menyadari bahwa ia benar-benar akan kehilangan pria ini. Entah dirinya yang melepaskan Raka ataukah Raka yang akan melepaskannya. Atau malah mereka berdua saling melepaskan genggaman itu, Rea tidak tahu. Yang jelas, inilah akhir dari cinta mereka.
"Duduklah?" Suara Raka membuyarkan apa pun itu yang berkecamuk di kepala Rea.
Rea mengerjap, melihat Raka yang sudah berdiri di salah satu kursi dari empat kursi yang mengelilingi meja bundar itu dan sudah menarik kursi itu untuknya duduk. Dengan langkah penuh keraguan, Rea mendekati Raka dan duduk di kursi tersebut. "Terima kasih."
Raka membalas ucapan terima kasih Rea dengan senyuman yang semakin melebar. Lalu, duduk di kursi sebelah Rea dan bertanya, "Apa kau haus?"
Rea menggeleng sekali. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa atas sikap Raka yang ramah, lembut, dan penuh perhatian. "Kau tidak perlu memesan makanan sebanyak ini," ucapnya melirik makanan-makanan yang tersaji memenuhi meja.
"Aku mengundangmu kesini untuk berkencan, Sayang." Raka mengulurkan tangan untuk menggenggam jemari Rea. Masih dengan mata berbinar-binar.
Perasaan berbunga-bunga itu tak bisa Rea tahan, tapi seketika lenyap ketika rentetan kalimat penuh ancaman Darius berkelebat di kepalanya. Mengingatkan Rea akan niat kedatangannya kemari. Mata Rea mengerjap tersadar dan menarik tangannya dari genggaman Raka dengan sehalus mungkin karena takut menyinggung perasaan Raka. "Raka, kukira kau salah paham dengan kedatanganku ini."
Seketika senyum di wajah Raka menghilang. Wajahnya tampak memerah karena marah, tapi pria itu berusaha menyembunyikan kemarahannya di depan Rea. "Baiklah. Mungkin makanannya akan sia-sia. Tapi kau bisa menghabiskan minumannya, bukan?"
Rea melirik jus strawberry yang disodorkan Raka. Salah satu jus kesukaannya, tapi bukan hal itu yang paling penting. Ia menerima minuman itu karena tatapan kehancuran yang terlihat jelas di mata Raka. Setidaknya ia tidak memberikan penolakan lainnya pada Raka. Rea mengangkat gelas itu dan meminumnya beberapa teguk.
"Kau kesini hanya untuk bicara," lirih Raka mengerti akan sikap Rea yang mulai menjaga jarak.
"Dan aku tidak tahu harus berbicara apa," sambung Rea sama lirihnya dengan suara Raka. Wajahnya tertunduk dan meremas kedua tangan di atas paha.
"Apakah kita harus berakhir seperti ini?"
"Aku minta maaf, Raka." Sekali lagi hanya kata itu yang mampu Rea ucapkan.
"Kita bisa melarikan diri."
"Aku tidak bisa."
"Kau tidak mempercayaiku."
Rea mendongak sambil menggeleng. "Bukan seperti itu."
"Kelihatannya seperti itu," tandas Raka.
Mulut Rea membuka, tapi tidak ada suara apa pun yang melewati bibirnya.
"Aku tahu inilah yang akan kudapatkan dari pertemuan kita ini. Aku tidak bodoh, Rea." Suara Raka semakin meninggi.
"Raka, aa ... "
"Tapi dengan bodohnya aku masih menyiapkan semua ini dengan harapan bahwa kau masih memercayaiku. Harapan yang kutahu tidak pernah ada."
Rea merasakan sudut matanya yang memanas mendengar kalimat Raka yang penuh luka. Ia tidak tahan dengan tatapan kepedihan dan ketidakberdayaan Raka yang sangat melukai dirinya. Ia sangat paham perasaan seperti apa itu. Lebih dari cukup. "Aku minta maaf, Raka."
"Kau tahu aku tidak butuh maafmu!" bentak Raka muak.
"Hanya itu yang bisa kuberikan padamu."
Selama beberapa detik keduanya hanya saling pandang, tanpa suara dan penuh keheningan yang sangat menyesakkan d**a masing-masing.
"Bisakah sekali ini saja kau memercayaiku, Rea?" tanya Raka memulai kembali pembicaraan mereka. Suaranya melembut.
'Percayalah, aku ingin bisa memercayaimu, Raka. Tapi aku benar-benar tidak bisa. Bukan karena aku tidak bisa. Mungkin ... ' batin Rea menjawab.
'Mungkin karena aku terlalu takut. Terlalu pengecut mengenai apa pun itu tentangmu.'
'Atau ...'
"Kau tahu aku sudah memperingatkanmu, bukan? Jangan sekalipun kau pernah berpikir akan melenyapkan anakku atau aku akan membuatmu benar-benar menyesal pernah memikirkan tentang rencana busuk yang ada di kepalamu itu."
"Jadi sebaiknya lupakan Raka dan apa pun itu yang kalian berdua rencanakan di belakangku."
"Kau memang kesayanganku, Rea. Tapi jika kau mengkhianatiku, kau tahu benar bayaran yang akan kau terima. Karena aku tidak pernah mengampuni pengkhianat."
"Kau milikku, Rea. Ingat itu baik-baik."
"Aku akan memberimu kebebasan asalkan kau bisa kupercayai. Jadi bersikaplah yang manis sebagai kesayanganku. Karena jika kau mengkhianatiku, aku pastikan bukan hanya kau saja yang menerima akibatnya."
Kembali rentetan kalimat ancaman Darius beberapa hari yang lalu memenuhi kepalanya. Atau mungkin ...
Ia yang terlalu takut akan ancaman Darius?
"Kau tahu kita harus berakhir, Raka." Suara Rea sangat lirih.
"Kumohon, Rea." Raka mengulurkan kedua tangannya untuk menarik kedua tangan Rea kembali ke dalam genggamannya.
Rea memaksakan diri menatap mata Raka. Tahu bahwa permohonan Raka tidak akan berakhir dengan mudah. Ia benar-benar harus melepaskan Raka jika tidak ingin pria ini menderita karena dirinya. Tekadnya harus lebih besar daripada permohonan Raka.
"Aku ... aku tidak bisa. Aku ... tidak mau, Raka." Bersamaan dengan keluarnya kalimat itu, Rea merasakan sebuah bola besar yang dipaksakan masuk ke dalam tenggorokan.
Kalimat penolakan Rea kali ini benar-benar mampu membuat wajah Raka menjadi pias. Ia tersenyum, jenis senyuman yang hambar dan dingin.
Cekleekk ...
Pintu ruangan terbuka. Memecah keheningan yang menyelimuti Raka dan Rea. Keduanya menoleh, mata mereka membelalak menatap sosok yang muncul di balik pintu itu secara bersamaan.
Keydo menyeringai, melangkah menghampiri pasangan itu dengan kedua tangan yang tenggelam di saku celana jeansnya dengan kesombongan dan tatapan menghina. "Tidak bisakah kalian mencari tempat yang lebih baik untuk berselingkuh?"
Rea segera menarik tangannya dari genggaman Raka. Takut bercampur marah.
"Dari sekian banyak cafe di kota ini dan kalian memilih cafeku untuk berselingkuh dari Darius? Sahabatku, Rea." Keydo melangkah mendekati kedua sosok itu dengan langkah pelan penuh dramatisir yang membuat Rea dan Raka muak.
'Cafe Keydo?'
'Sialan kau Darius!' geram Rea dalam hati. Pantas saja Darius menyuruh Ben pergi. Ternyata pria licik itu punya mata-mata lain.
"Ini bukan urusanmu, Keydo," desis Raka. Berdiri dari duduknya dan menatap tajam ke arah Keydo.
Keydo tertawa. "Bukan urusanku jika tempat ini bukan wilayah kekuasaanku."
Raka kehilangan kata-kata.
"Walaupun pada akhirnya tetap akan menjadi urusan Darius," tambah Keydo. Matanya menatap tajam ke manik mata Rea. Melemparkan tatapan penuh ancaman pada Rea.
"Ayo." Raka menarik tangan Rea, membawa wanita itu menuju pintu. Akan tetapi, sebelum mencapai pintu keluar, tiba-tiba langkahnya terhenti oleh genggaman tangan Keydo di tangan Rea.
"Lepaskan, Keydo!!" hardik Rea berusaha menarik lengannya dari cekalan Keydo.
"Kau boleh pergi, Raka," pintah Keydo pada Raka. Memegang tangan Rea semakin erat. Menandakan bahwa satu-satunya orang yang boleh keluar dari ruangan ini hanyalah Raka.
Raka mengangkat kaki mendekati Keydo, melemparkan tatapan membunuhnya pada pria itu yang malah dibalas dengan ekspresi tenang dan santai. Berbanding terbalik dengan ekspresi di wajahnya sendiri. "Lepaskan tangannya, Keydo!"
Keydo tertawa mencemooh. "Kau tahu Darius adalah sahabat terbaikku selain sepupumu, Raka. Bagaimana mungkin aku membiarkan orang lain membawa lari tunangannya di depan mata kepalaku sendiri? Walaupun aku sama sekali tidak habis pikir dengan ... tipe wanita idamannya."
Keydo sengaja mengamati tubuh Rea dari atas sampai kebawah dengan tatapan melecehkan. "Kecuali wajah dan tubuhmu, aku tidak bisa membantah tentang selera Darius."
"Kurang ajar kau!" geram Rea, menarik tangan kanannya dari Raka dan kemudian berayun menampar pipi Keydo.
Keydo sama sekali tidak menghentikan Rea dan menerima pukulan itu tanpa mengernyit. Sebelum kemudian tersenyum tipis seolah-olah tidak terjadi apa pun di antara mereka.
"Lumayan," komentar Keydo semakin membuat Rea berapi-api.
"Tunangan?" bisikan penuh ketidakpercayaan melewati bibir Raka. Ia hanya berdiri membeku ketika Keydo mengatakan bahwa Rea adalah tunangan Darius. Seperti sebuah godam yang dipukulkan ke punggungnya, memaksanya menyadari bahwa semua kepahitan ini benar-benar terpampang jelas di hadapannya dan ia tidak bisa mengelak lagi.
"Raka, aku ... " Rea berbalik dan merasa kehilangan suaranya.
"Apa kau sudah bertunangan dengan Darius?" tanya Raka, wajahnya semakin kacau dengan berita itu.
Rea membuka mulut, tapi belum sempat ia mengeluarkan suara, Keydo sudah menyahut, "Apakah Rea belum memberitahumu?"
"Diamlah, Keydo!" bentak Rea marah oleh ekspresi terkejut penuh kepura-puraan pria itu.
"Selain anak b******n itu, kebohongan apalagi yang kau sembunyikan dariku, Rea?" Raka menyuarakan pertanyaannya dengan suara yang semakin meninggi.
"Bukan seperti itu, Raka. Aku ... " Rea melangkah mendekati Raka, berusaha menenangkan pria itu yang tampak mulai dipenuhi amarah.
Raka mengangkat tangan, sebagai isyarat agar Rea tidak melangkah lebih dekat lagi. "Sepertinya kau benar. Kita harus berakhir, Rea. Mengakhiri sesuatu yang bahkan mungkin sudah lama berakhir."
"Raka ... " Rea berusaha mendekat meskipun cekalan tangan Keydo menahannya bergerak banyak. Ya, mereka memang harus berakhir, tapi bukan begini cara yang ia inginkan untuk mengakhiri hubungannya dengan Raka.
"Aku akan menganggap bahwa perasaanmu padaku hanyalah ketidaktahuanmu atas perasaanmu sendiri."
Rea terkesiap. Kalimat Raka membuat dadanya sesak. Air mata mengalir dari sudut mata tanpa bisa ia tahan. Bagaimana mungkin Raka menganggap perasaannya selama ini hanyalah ketidaktahuannya atas perasaannya sendiri?
"Tidak, Raka. Aku benar-benar mencintaimu," ratap Rea.
"Itu tidak cukup." Raka membentak. Membuat keduanya kini saling pandang penuh tatapan kepedihan bercampur kehancuran. Setelah selama beberapa detik hanya saling berpandangan dan penuh ketidakberdayaan, akhirnya Raka membalikkan badan, melangkah menuju pintu, dan menghilang dari ruangan itu.
Rea menghapus air matanya dengan kasar, menyadari bawa semuanya benar-benar sudah berakhir. Kepalanya menengok ke arah Keydo yang kini bersandar di dinding kaca dan menyilangkan kedua lengan di depan d**a. Sikap dan wajah pria itu masih tampak tenang dan santai, seakan menyaksikan adegan yang sangat menghibur di tengah-tengah kebosanan.
"Sialan kau, Keydo." Rea menghambur ke arah Keydo dan berniat melakukan apa pun untuk melukai tubuh pria itu. Meluapkan amarahnya, tapi kali ini dengan cekatan Keydo menangkap pergelangan tangan Rea. Melihat ke jemari Rea yang polos. "Menurutmu, apa yang akan Darius lakukan kalau tahu kau tidak memakai cincin pertunangan kalian?"
"Aku tidak peduli." Rea menarik tangannya dari Keydo dengan kasar sambil melangkah mundur seolah Keydo adalah virus yang harus dijauhi. Dan memang seperti itu.
"Kuharap kau bisa tidak peduli, Rea. Walaupun aku tidak yakin." Keydo menyeringai. Lalu, melangkah menuju pintu. Ia sudah melakukan permintaan Darius untuk menyapa kekasih pria itu. Lebih dari menyapa ia rasa.
Tiba-tiba Rea merasakan remasan yang sangat menyakitkan di perut. Membuatnya terhuyung ke belakang dan memegang kursi yang ada di sebelahnya. Kursi itu berderit dan menarik perhatian Keydo yang memegang handle pintu, membatalkan niat pria itu untuk keluar.
"Kenapa kau, Rea?" Keydo mengerutkan kening melihat Rea yang seakan-akan menahan kesakitan luar biasa di perut sampai napas wanita itu terengah-engah.
"Ke ... keydo," rintih Rea. Jemarinya mencengkeram perutnya ketika merasakan sakit itu semakin tak tertahankan. Bersamaan dengan cairan hangat yang mengalir di antara kedua kaki. Matanya berkunang-kunang. Dan ketika rasa sakit itu kembali muncul dengan rasa sakit yang lebih hebat lagi, sampai akhirnya membuat Rea kehilangan kesadaran.
Melihat cairan merah darah itu mengotori lantai di bawah kaki Rea, secepat kilat Keydo menghambur ke arah Rea dan menangkap tubuh Rea yang melayang jatuh. Setengah detik saja ia terlambat, Keydo yakin kepala Rea sudah akan membentur lantai. Dengan gerakan yang sigap, dia langsung menggendong tubuh Rea yang meluruh dan sudah tak sadarkan diri. Membawanya keluar dari ruangan itu.
Ia tahu. Bayi Darius dalam bahaya. Sesuai dengan firasat yang diberitahukan Darius beberapa saat yang lalu ketika menyuruhnya menyapa Rea.