Upacara pernikahan itu berlangsung dengan singkat dan sederhana. Si pendeta, dua pengantin -Rea dan Darius tentu saja-, cincin -semua prosesi pernikahan ini memang serba sederhana, kecuali cincinnya yang jauh lebih berkilau dan mewah daripada cincin pertunangan yang diberikan Darius beberapa hari yang lalu-, dan saksi -yang tentu saja Alan, Keydo, dan Bumi yang masih melemparkan tatapan 'kau berutang banyak penjelasan padaku' nya ke arah Rea.-
Rea mengenakan gaun selutut berpotongan sederhana, berwarna peach -warna yang disukai Darius untuknya-, tanpa tali dan berlipit dari d**a sampai ke pinggul yang menampakkan kulit leher dan bahu Rea yang telanjang. Dengan kelopak-kelopak bunga mawar merah yang melambai-lambai di kakinya karena angin laut yang berhembus lembut mengelili mereka. Wajahnya dirias natural dan rambut disanggul berantakan tapi tetap terlihat anggun dan disemat mawar merah. Tidak lupa buket bunga melati berpita peach yang membuatnya tampak begitu manis sekaligus cantik.
Sedangkan Darius, ia mengenakan setelan peach yang rapi dan senada dengan gaun yang dikenakan Rea. Tidak lupa sepotong mawar merah yang disematkan di saku depan d**a. Rambut yang sedikit panjang hingga menyentuh kerah di sisir ke belakang. Membuatnya terlihat begitu tampan dan menggoda. Lebih dari biasanya. Haruskah seorang pria tampak lebih tampan dan seksi dari biasanya saat menikah?
Di pantai pribadi yang entah ada di mana, di bawah gerbang lengkung berselimut bunga yang dihiasi pita peach dan merah. Di depan pendeta dan para saksi, Darius mengucapkan sumpahnya. Suaranya terdengar sangat yakin, kuat dan tegas. Sama sekali tidak menutupi bahwa ia sangat mencintai seorang Andrea Wilaga yang akan segera menjadi istrinya, Andrea Farick. Setiap kata yang diucapkan, dan mata yang terkunci pada Rea, semua menunjukkan betapa besar cinta pria itu untuk sang mempelai wanitanya.
Sampai kemudian pendeta menyatakan bahwa mereka sudah sah menjadi sepasang suami dan istri, di detik berikutnya Darius sudah menunduk untuk meresmikan pernikahan itu dengan sebuah ciuman yang sangat panas dan basah. Membuat upacara itu terasa intim dan sangat pribadi.
Seakan masih belum puas dengan ciuman itu, kemudian tangan Darius melingkar di sekeliling pinggang Rea, menariknya supaya lebih dekat padanya. Dan dengan sentuhan yang cepat dan keras, tapi lembut, ia mencengkeram rambut Rea untuk memiringkan kepala wanita itu. Sekali lagi mencium Rea seperti hidupnya tergantung pada semua ini.
Rea hanya bisa mengikuti alur yang dipimpin Darius. Mengabaikan perasaan malu karena deheman pendeta dan siulan Alan serta Keydo di sekeliling mereka. Ia merasa seperti ada rasa keputusasaan dari ciuman Darius. Seakan-akan hanya dirinyalah yang dibutuhkan oleh pria itu. Tetapi apapun alasannya, pada saat ini, Rea tak pernah merasa begitu diinginkan dan didambakan seperti Darius menginginkan dan mendambakannya selama ini. Membuat Rea terhanyut dan membalas ciuman Darius dengan semangat yang sama. Entah apa yang mendorong kedua tangannya terangkat, menggenggam dan menenggelamkan jemari di rambut Darius hingga membuat rambut pria itu kusut.
Merasakan balasan ciuman dari Rea, membuat d**a Darius bergemuruh dalam artian yang menawan, membuatnya semakin mengeratkan pelukan di sekeliling pinggang dan punggung Rea. Semakin gencar merasakan bibir Rea yang seperti surgawi, panas, dan seksi baginya. Menghirup semua aroma dari tubuh wanita ini yang begitu menggairahkannya.
Lidah mereka saling melilit, gairah dan hasrat meledak di antara kedua tubuh itu. Sebelum kemudian Darius melepas mulutnya dari Rea dan menatap wanita itu. Mencengkeram emosi yang tidak bisa disebutkan namanya.
"Kau milikku. Seutuhnya," bisik Darius di antara napasnya yang terengah. Menempelkan dahinya di dahi Rea, seakan tidak rela sedikit saja menjauh dari istrinya. Ya, istrinya. Ia benar-benar tidak menyangka semua ini bisa menjadi kenyataan. Seperti mimpi dan membuatnya melayang. Yahhh, sebesar itu efek Rea untuknya. Dalam hati dan raganya. Selalu sebesar ini dan semakin bertambah setiap hari, jam, menit, dan detiknya.
Wajah Rea yang sudah memerah karena ciuman mereka, semakin memerah lagi oleh kalimat penuh keposesifan Darius. Belum lagi rasa malu pada sosok-sosok di sekeliling mereka berdua, membuat wajahnya tidak bisa lagi lebih merah daripada saat ini.
Darius menjauhkan diri dari Rea ketika si pendeta mengulurkan daftar registrasi gereja dan sertifikat pernikahan yang harus mereka berdua tanda tangani. Sedetik setelah Rea menyelesaikan tanda tangan, Darius langsung menyerahkan kedua dokumen itu pada Keydo. Tatapan matanya seakan tahu jika Rea yang memegang dokumen itu, wanita itu akan mendaftarkan surat gugatan perceraian mereka sewaktu-waktu Rea punya kesempatan lari darinya.
Rea hanya mencibir, walaupun prasangka Darius itu memang sempat terpikirkan olehnya. Akan tetapi, mengingat ancaman Keydo, semua rencana itu jadi sia-sia saja.
Setelah mengucapkan selamat untuk pernikahan mereka, Keydo melangkah pergi dengan membawa kedua dokumen itu. Saat itulah ia sadar, sekarang ia benar-benar sudah menjadi milik Darius seutuhnya. Seperti janji yang diucapkan pria itu beberapa menit yang lalu.
Andrea Farick.
Ia tidak pernah sedetikpun membayangkan akan menyandang nama itu. Tidak sekalipun saat ia menjalin hubungan dengan Darius setahun terakhir ini.
"Aku mau berbicara dengan Bumi." Rea menarik diri dari rengkuhan lengan Darius di pinggangnya ketika pria itu menerima ucapan selamat dari Alan. Tanpa meminta persetujuan Darius, Rea sudah berjalan mengikuti langkah Bumi yang menjauhi pantai.
***
"Kau berhutang banyak penjelasan padaku," kata Bumi ketika keduanya sudah duduk di teras suite yang sediakan Darius khusus untuk para saksi pernikahan mereka.
Rea mengangguk sedikit, mulutnya masih membeku tidak tahu harus memulai darimana penjelasannya untuk Bumi.
"Aku mendapat kabar kau berada di rumah sakit karena keguguran. Kau bahkan tidak menceritakan padaku tentang kehamilanmu."
"Apa kau akan menghakimiku?"
"Kecuali kau sudah mengetahui kehamilanmu dan kau sengaja menggugurkannya, kau tahu aku tidak akan berkomentar apa pun tentang pernikahanmu yang mendadak ini atau pun yang lainnya, bukan?"
Okey. Inilah reaksi yang memang akan dikatakan Bumi. Rea menggigit bibir bagian dalam sebelum berkata dengan hati-hati, "Tidak seratus persen benar. Tapi aku mengaku bersalah."
"Apa?" Bumi menarik salah satu alisnya ke atas. Napasnya tertahan sejenak membayangkan kesalahan apa yang mungkin bisa dilakukan wanita ini. Namun, melihat wajah penuh penyesalan di wajah Rea, membuatnya berusaha menahan amarah. "Jadi? Berapa persen kebenarannya?"
"Berjanjilah padaku untuk tidak membenciku," mohon Rea lagi.
Tarikan di alis Bumi semakin menaik. "Aku tidak tahu. Dan aku harap kau tidak mengecewakanku."
Sejenak Rea terdiam. "Maafkan aku sempat mengecewakanmu."
"Apa yang terjadi dengan 'sempat mengecewakanku' itu, Rea?" Wajah Bumi seketika membeku. Dadanya sesak dan kepanikan bercampur kekhawatiran serta kekecewaan mulai menyelimutinya.
Rea menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku ... aku sempat memikirkan untuk melenyapkan anak Darius."
Seketika wajah Bumi langsung membeku. Kilatan amarah langsung muncul di bola matanya yang hitam. Bercampur tatapan kekecewaan yang menyakitkan pada wanita yang sangat dipercayainya ini.
"Tapi aku bersumpah keguguran ini bukan karena kesengajaanku, Bumi," tambah Rea terburu-buru saat menyadari tatapan Bumi yang seakan menjauh darinya walaupun tubuh pria itu masih tetap berdiri di tempat.
"Aku mohon jangan membenciku," mohon Rea penuh kepanikan. Air mata langsung membasahi pipinya ketika Bumi membuang wajah dari Rea, seakan pria itu benar-benar menjauh darinya berkilo-kilo meter jauhnya.
Bumi hanya diam. Dia benar-benar kecewa dengan sikap Rea. Bagaimana mungkin seorang wanita yang sangat dipercayainya ini mampu mempunyai pikiran untuk melenyapkan darah daging wanita itu sendiri.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan jika kau menjauh dariku, Bumi," lirih Rea penuh keputusasaan. Ia sudah kehilangan Raka. Kehilangan anak yang tidak Rea sadari pernah ia miliki, yang kini menyisakan perasaan bersalah yang cukup menyita ruang hatinya. Apa sekarang dia harus kehilangan orang yang sangat ia sayangi. Satu-satunya keluarga yang ia miliki.
"Aku benar-benar minta maaf, Bumi."
"Kenapa kau harus minta maaf padaku, Rea?!" bentak Bumi. Matanya kini menggelap oleh amarah. Tidak memedulikan air mata yang mengalir di pipi Rea. Bahkan wajah Rea yang mematung karena syok dan ketakutan. Ia terlalu marah pada wanita itu.
Tubuh Rea gemetar. Ini pertama kalinya Bumi berbicara padanya dengan suara setinggi itu. Apa yang telah ia lakukan pada sahabatnya ini? Apakah sekecewa itu Bumi padanya.
"Kau begitu egois, Rea," desis Bumi. "Baiklah. Aku tidak akan mengungkit tentang masalahmu dengan Darius dan Raka. Aku kecewa padamu tapi aku masih bisa mentolerirnya karena kita memang tidak bisa memilih pada siapa hati kita bertaut. Tapi, aku benar-benar tidak bisa memaafkan seorang wanita yang bahkan tidak punya hati untuk darah dagingnya sendiri."
Rea membuka mulutnya. Namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Tidak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan untuk menyangkal kalimat Bumi. '...tidak bisa memaafkan seorang wanita yang bahkan tidak punya hati untuk darah dagingnya sendiri.
"Tidak setelah kau tahu apa yang pernah terjadi padaku. Tidak juga setelah apa yang pernah terjadi padamu," tandas Bumi geram. Kemudian membalikkan badan dan melangkah meninggalkan Rea yang masih mematung di tempat.