Pagi ini Gladis dan Artha tidak masuk kantor masing – masing. Ada agenda untuk datang ke rumah sakit, karena istri Cakra alias Naura sudah melahirkan anak pertama mereka tadi malam, dan pagi ini mereka berjanji akan menjenguk anak lelaki pertama sahabatnya itu. Semua akan datang, pengecualian untuk Edward yang berada di Bali. Mungkin juga Gladis akan sekaligus cek up kandungan.
Kehamilan Gladis sudah memasuki usia 4 bulan, sudah terlihat buncitnya. Melihat itu membuat Artha senang dan suka sekali mengelus pinggiran perut Gladis, ataupun menciumi perutnya. Artha bahkan punya waktu tersendiri untuk menyapa darah dagingnya yang masih bertumbuh diperut Gladis tiap hari, dia akan berbicara banyak kata dengan wajah menghadap penuh pada perut buncit milik istrinya. Sesekali juga memutar lagu untuk anaknya. Gladis yang harus ditahan untuk kegiatan itu hanya bisa pasrah sambil menonton Drakor yang sedang ia ikuti atau menikmati acara tv.
Kalaupun sedang capek, Artha akan menyuruh Gladis untuk tiduran diatas kasur saja, sedangkan dia bermain – main sendiri. Sering kali Gladis mendengar kata “adk” yang Artha tujukan pada calon anak mereka. Seperti,
“Adek, Ayah tadi dimarahin Buna tau!”
Artha sedang mengadukan kekesalannya pada sang anak. Gladis jadi tahu jika Artha telah memiliki nama panggilan untuk mereka satu sama lain.
Kembali lagi pada Cakra dan Naura. Pasutri itu memberi Nama Jenggala untuk sang anak pertama. Gala yang tampan seperti sang ayah. Gladis sampai tak berkedip saat pertama kali melihat wajah anak itu tengah tertidur pulas dalam dekapan sang ibu.
“Gala ganteng banget ya, Ra?” ucap Gladis tak berhenti mengangumi.
“Iya nih kayak bapaknya,” imbuh Flora.
“Kalo besar gue jodohin sama anak gue boleh kali ya?”
Gladis hanya bercanda dengan ucapannya, ditanggapi oleh tawa kecil oleh Naura. Padahal dia sendiri belum tahu jenis kelamin sang anak. Ucapannya tak begitu serius kok.
Sedangkan Flora melempar tatapan sinis ke arah Gladis seolah tak terima dengan ucapan wanita itu sebelumnya. Mereka tengah mengerubungi Naura dan Gala yang berbaring di atas bangkar. Sedangkan Bagas, Cakra, dan Dante tengah mengobrol di sofa. Artha tak ada di ruangan, suami dari Gladis itu tengah mengambil nomer antrian untuk cek up kandungan Gladis.
“Emang anak lo cewek?” Tanya Flora yang memang tertarik dengan obrolan ibu dan calon ibu ini.
“Masih empat bulan, belom bisa liat jenis kelaminnya.”
“Yeee gitu mau jodohin, kalo cowok gimana??”
“Kan kalo cewek. Sewot banget, najis!”
Naura yang melihat interaksi antara Gladis dan Flora hanya tertawa, rasa – rasanya dia menyesal tak mengenal mereka sejak lama. Ia akui jika sahabat – sahabat dari suaminya sangat seru dan baik, mereka tak punya topeng untuk menutupi kebusukan diri. Murni bersahabat tanpa ada maksud lain didalamnya.
“Ra, mau gendong!”
“Boleh!”
Jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas saat Artha datang dan langsung masuk ke dalam ruangan sambil membawa sebuah kertas nomer antrian. Langkahnya menuju ke arah Gladis yang masih menimang Gala dalam gendongan.
“Udah gendongnya, bentar lagi waktunya periksa,” ujarnya pada Gladis.
“Lama banget? Kemana aja?”
“Ada tadi ke toilet dulu abis ngambil antrian?”
“Ohh... Yaudah ayo.”
Gladis memberikan Gala kembali pada ibunya, yang sebelumnya sudah ia bubuhi kecupan pada pipi bayi tampan itu. Gladis berjalan mengambil tas yang berada di sofa, sekaligus akan pamitan.
“Gue balik dulu ya!”
“Iya."
Bertepatan dengan itu, Helena masuk dengan santai. Wajahnya langsung menatap ke arah Artha dan yang lain seolah memberi salam.
“Maaf ya gue telat.”
“Ayo!” Gladis yang masih memperhatikan Helena ditarik keluar oleh Artha. Antrian mereka akan dipanggil sebentar lagi.
>>
“Kalo habis ini makan diluar enak deh kayaknya!” monolog Gladis saat sedang berjalan bergandengan dengan Artha.
Mereka menyelesaikan pemeriksa dengan cepat dan tengah menuju apotik untuk menebus obat. Dokter berkata jika bayi mereka sehat, berat badan Gladis juga mulai naik sebagaimana normalnya para ibu hamil.
Ada dua foto USG yang mereka terima, satu untuk disimpan Gladis dan satu lagi untuk disimpan Artha. Kesepakatannya tidak akan melihat jenis kelamin sampai bayinya lahir, tidak masalah. Artha tampak bahagia, Gladis bisa melihat bagaimana binar wajah Artha melihat USG tadi.
“Langsung ke mobil aja, biar gue yang nebus obat.”
Tumben. Biasanya Artha akan membiarkan dia menunggu didekat apotik. Tapi mungkin saja Artha khawatir dia kelelahan.
“Makannya?” Bukannya protes mulutnya malah mempertanyakan perihal makan siang mereka.
“Iya nanti makan di luar cantik!” Artha mengusak kepala Gladis gemas, “Yaudah sana ke mobil.”
Gladis mengangguk dan segera berlalu menuju parkiran. Tapi kabar buruknya dia melupakan kunci mobil yang dibawa oleh Artha, alhasil dia hanya bisa bersandar di mobil sambil menunggu Artha datang.
Selama menunggu, Gladis memilih menghabiskan waktu dengan bermain ponsel. Setelah usai dengan event kemarin Gladis lebih memberi jarak untuk dirinya dengan ponsel, ia lebih memilih membaca buku dan menonton film. Lagi pula ada tv Netflix yang menganggur di apartemen.
Tiba – tiba ada tangan menepuk pundaknya, membuat Gladis sedikit terjingkit kaget. Gladis kira Artha, tapi malah Bagas yang muncul dihadapannya.
“Kok lo disini?” Pertanyaan pertama yang Bagas lontarkan pada Gladis,
“Nungguin Artha nebus obat.”
“Apotik lagi sepi.”
“Ya mungkin ke toilet dulu.”
Bagas terkekeh, memikirkan bagaimana polosnya jalan pikiran Gladis.
“Lo suka sama Artha ya, Dis?”
“Kenapa nanya gitu?”
“Enggak, tapi bakal lebih baik kalo lo ga bawa perasaan sama Artha.”
“Dia suami gue kali, Gas.”
“Cerai aja abis lahiran.”
“Dosa lo!”
“Menjauhkan yang buruk dari yang baik itu gak dosa. Sekarang dengerin gue” Bagas tampak ingin berbicara serius, terlihat dari kedua tangannya yang sekarang bertengger pada pundak Gladis “Jangan suka apalagi jatuh cinta sama Artha, gue saranin buat pisah setelah anak lo lahir.”
“Ngomong tuh yang bener!”
“Gue serius!”
“Gak tau lah gue, kemarin Edward sekarang elo.”
“Nah banyak kan yang sepemikiran sama gue?”
“Gak jelas lo.”
Bagas melepaskan tangannya pada tubuh Gladis. Pikirnya akan percuma jika ia bilang sekarang pada Gladis, ada waktu lain yang lebih tepat memberi tahu sahabatnya ini.
“Yaudah gue mau kerja lagi.”
“Iya tiati.”
“Inget ucapan gue.”
Bagas berujar sambil berjalan ke arah mobilnya. Lelaki itu masih slengekan, padahal keluarganya termasuk dalam keluarga yang taat beragama. Karakter Bagas memang tak bisa diduga oleh siapapun, menjengkelkan, tapi dia masih menjadi sahabat lelaki favorit Gladis.
“Bye!”
Bagas balas melambai ke arah Gladis yang masih berdiri disamping mobil Artha.
Aneh rasanya jika dua orang mengatakan hal yang sama pada Gladis, apalagi ini menyangkut rumah tangganya. Gladis tak pernah menuntut apapun pada Artha, bahkan cinta sekalipun enggan Gladis tuntut karena bisa dipastikan jika dirinya juga tak mencintai Artha. Keduanya hanya saling nyaman dan ketergantungan.
Banyak orang bilang jika hal paling buruk dalan rumah tangga adalah perselingkuhan dan KDRT. Artha tak pernah sekalipun memukul Gladis, berarti hanya perselingkuhan yang menjadi ancaman besar bagi rumah tangganya. Tapi Gladis sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mempercayai Artha sepenuhnya, tak harus curiga dengan Artha karena itu melelahkan.
Artha memiliki pekerjaan yang mengharuskan dia bertemu dengan banyak orang, dia bisa memaklumi karena sama – sama memiliki pekerjaan yang padat dan diharuskan bertemu dengan banyak orang. Gladis tak begitu rewel dengan waktu yang Artha miliki untuknya, menurutnya bertemu saat pagi sebelum bekerja dan malam sebelum tidur sudah cukup. Mereka memiliki karier juga aktivitas untuk dijalani masing – masing.
“Dis?” Gladis menengok kebelakang, menatap Artha yang baru datang sambil menenteng kresek berisi obat yang baru saja ditebus. Ini kedua kalinya Artha cuti kerja setelah pernikahan, sebelumya Artha juga cuti saat akan menghadiri event kantor Gladis.
Mungkin hanya pemikiran teman – temannya terlalu negatif mengingat jika mereka menikah karena paksaan. Gladis tak perlu mencurigai Artha karena sejauh yang ia lihat Artha memperhatikan dirinya dengan baik. Tak ada hal buruk.
“Gue bisa percaya kan sama Lo” pertanyaan dari bibir Gladis meluncur begitu saja setelah ia duduk di dalam mobil.
“Kenapa tanya gitu?”
“Ya mau tanya aja. Bisa gak?”
“Menurut lo aja gimana?”
“Yeee malah tanya balik!!”
Artha tertawa renyah, tangannya bergerak mengelus perut Gladis. Gemas sekali rasanya melihat Gladis akhir – akhir ini semakin berisi. Pipinya selalu menjadi spot bagi Artha untuk dicubiti.
“Udahhh ayo makan, gue laper!”
>>