Tangan Artha dengan cekatan menata piring di atas meja makan, setelah merasa puas dengan tatanan yang ia susun, Artha kembali menuju dapur dimana Gladis tengah memanaskan air untuk membuat kopi dan s**u hamil.
“Perlu apa lagi?”
“Enggak ada, udah selesai ini.”
Artha mengangguk, tak langsung pergi. Dirinya malah menunggui Gladis disamping wanita itu.
Artha bangun pagi hari ini, sepuluh menit setelah Gladis bangun. Padahal bisa ia pastikan jika dulu sebelum Gladis ada dihidupnya dan tinggal bersamanya, sarapan dan bangun pagi adalah ketidak mungkinan bagi Artha. Gladis merubah kebiasaan buruk itu, wanita itu dengan ketelatenannya membuat Artha tidak hanya bangun pagi saja malah bisa membantu untuk menyiapkan sarapan.
Artha sendiri mulai tergantung dengan Gladis, dirinya tidak akan bisa tidur sebelum memastikan Gladis ada di sampingnya. Entahlah, aneh saja jika melihat sisi ranjangnya kosong. Bahkan sabtu setelah Gladis dari Bandung, Artha belum bangun saat Gladis sampai, akunya ia baru bisa tidur pukul empat dini hari. Malam saat makan malam pun, Artha tidak akan mau memakan masakan orang lain hanya mau masakan Gladis. Pernah sekali dirinya tak berhenti mual karena harus membeli nasi goreng saat Gladis malas memasak, padahal Gladis yang juga ikut makan biasa saja malah menurutnya lebih enak dari pada buatannya sendiri.
Aneh, disini Arthalah yang sering terkena sindrom ibu hamil, banyak sekali ngidamnya. Moodnya yang tak beraturan, juga morning sickness yang dialami oleh suami dari Gladis itu. Gladis merasa beruntung untuk yang satu ini.
“Nanti kedokternya jam dua siang.”
“Iya.”
“Nanti gue jemput ke kantor, jangan kelupaan.”
“Enggak bakal, kan gue cuma masuk setengah hari.”
Hari ini Gladis hanya akan mengurus beberapa dokumen sebelum besok mendatangi event yang sudah menyita banyak waktunya. Maka dari itu Artha mengajaknya ke dokter, lantaran menepati janji mereka untuk datang setelah dua minggu yang lalu mereka cek up. Sebenarnya hanya perlu satu bulan sekali untuk kembali cek up, tapi karena Gladis kelupaan datang dibulan kedua dokter memintanya kembali datang setelah dua minggu. Hanya sekali supaya dapat memastikan dengan benar perkembangan sang janin.
“Event besok berangkat pagi ya, Tha.” Gladis berucap sambil menyodorkan kopi milik Artha setelah sebelumnya sudah diaduk,
“Iya-iya bawel.” Artha menerima cangkir kopinya, lalu melangkah menuju meja makan mendahului Gladis dibelakang.
“Biasanya gue sendiri, taun – taun lalu nenek gak pernah mau.”
“Hm?”
“Gue iri aja liat Dante yang bisa ngajak bokap nyokapnya, Flo juga diajak.”
Artha terdiam. Hal sensitif tentang orang tua memang enggan Artha bahas dengan Gladis, lelaki itu takut membuat Gladis sedih jika membahas hal – hal seperti itu.
“Ya kan besok sama gue, udah ijin seharian buat lo kok!”
“Makasih ya!”
Gladis tersenyum lebar, menghipnotis Artha agar ikut tersenyum juga. Sepertinya ia tersadar jika senyuman Gladis sangat menyejukkan, sedap untuk dipandang, tak membosankan. Artha terus menatap ke arah Gladis, hatinya tanpa sadar berjanji akan selalu menjadi penonton untuk setiap senyum lebar Gladis mulai hari ini.
>>
“Janinnya sehat, Gladis makannya ditingkatkan lagi ya. Masak baru nambah sekilo sih?!” Dokter perempuan yang sedari awal menjadi tempat Gladis memeriksa kandungan sedikit mengomel mengetahui kenaikan berat badan Gladis hanya sedikit.
Normalnya Gladis harus lebih gemuk dari sekarang, kehamilannya sudah memasuki bulan ketiga tapi badannya masih terlihat biasa saja seperti dahulu, tidak ada tanda jika dirinya hamil. Mungkin karena kebiasaan makan Gladis yang masih sama, tak ada ngidam berlebihan yang Gladis rasakan. Apalagi akhir – akhir ini dirinya sangat sibuk, banyak kegiatan yang menguras tenaga, jadi jika janinnya sehat itu sudah membuatnya bernafas lega.
“Kamu gak ada ngidam, Dis?” tanya kembali sang Dokter,
“Kadang – kadang, Dok.”
“Kamu itu gak ngidam, gak kena morning sickness.”
“Yang kena saya, Dok!” saut suara di samping Gladis.
Artha menyahut setelah lama diam hanya memperhatikan bagaimana Gladis berbicara dengan sang Dokter. Dirinya tak berbohong, merasakan morning sickness dan ngidam memang sedikit melelahkan, tapi Artha sejauh ini menikmati saja keadaannya.
“Wah wah, jarang lho saya ketemu kasus kayak kalian. Gladis kok gak pernah cerita?”
Gladis akui jika sang dokter sangat pintar membuat pasiennya merasa nyaman. Bahkan tak ada kecanggungan antara mereka, berbicara pun sudah seperti layaknya teman.
“Ehmm... Itu baru – baru ini kok, Dok, kita juga baru sadar."
“Terus saya kasih resep ke kamu apa ke Artha?”
“Masak saya harus minum obat hamil sih, Dok?!”
Mereka tertawa. Lantas Dokter tersebut kembali menuliskan resep obat untuk ditebus di apotik nanti.
“Yaudah saya kasih ke Gladis aja, ini ada obat sama vitamin ya, Dis.” Sang Dokter menyerahkan kertas yang harus mereka tebus di apotik bawah.
“Oh iya, Dok, saya bakal sibuk minggu – minggu ke depan ini. Gak bakal ganggu janinnya kan, Dok?” Gladis bertanya sambil menerima selembar kertas dari sang Dokter.
“Yang terpenting kamu jangan sampe kecapekan, terus makannya tambah lagi.”
“Iya, Dok.”
Mereka berdiri sesudah bersalam dengan sang dokter, dan berlalu keluar ruangan. Masih ada satu tugas untuk menebus obat, beruntung hari ini tidak terlalu ramai di apotik. Kali ini tugas Artha untuk menebus.
Hanya sebentar Gladis menunggu Artha, setelahnya mereka kembali ke mobil untuk pergi meninggalkan rumah sakit tersebut.
“Mau jajan gak?”
Artha tau sekali Gladis tidak akan makan makanan berat sebelum makan malam tiba, tapi mengingat jika sang dokter berkata Gladis terlalu kurus untuk seorang ibu hamil, Artha akan berusaha membuat Gladis bertambah berat badan. Mungkin juga dia harus sering membawakan jajanan selepas pulang kerja.
“Gak.”
Singkat Gladis. Wanita itu tengah sibuk membuka w******p guna meneliti lagi persiapan event yang diadakan besok di Bandung.
“Beli es krim mau?”
“Di Kulkas ada deh, Tha, tapi boleh juga. Gue mau Magnum.”
Artha mengangguk senang. Lantas berhenti di sebuah minimarket yang tak jauh dari rumah sakit.
“Mau ikut masuk?”
“Gak deh, Lo aja”
Artha keluar mobil, dengan membiarkan mesin mobil terus berbunyi. Gladis memperhatikan dari dalam mobil, bagaimana lelaki itu memilih es krim juga mengambil beberapa makanan lain. Artha kentara sekali ingin membuat dia naik berat badan, padahal dia tau jika Gladis jarang sekali makan saat sore hari.
Gladis tersenyum kecil, sebenarnya bukan karena dia ingin menjaga berat badan atau ingin tetap ideal setelah melahirkan, dirinya hanya tak begitu nafsu makan. Berbeda dengan Artha yang Gladis yakini sudah naik beberapa kilo, suaminya tak pernah berhenti makan jika bersantai di rumah.
Pintu dibuka dan menampilkan Artha tengah membawa satu kresek makanan yang baru saja dia beli. Banyak, Gladis tak terlalu yakin jika dia bisa menghabiskannya dalam satu waktu.
“Nih!” Artha menyodorkan es krim Magnum pesanan Gladis “Gue mau beliin yang kacang, tapi takut lo gak suka.”
“Gue lebih suka original sih, makasih.”
Gladis membuka bungkus es krim lalu memakannya perlahan, sambil memperhatikan Artha yang juga memakan es krim. Berbeda dengan Gladis, Artha memilih es krim scops rasa vanila dan stroberi.
“Makan diluar yuk!”
Tiba – tiba saja Artha mengajak Gladis ditengah kesibukan masing – masing dengan es krim. Gladis ingin menolak, dirinya punya menu khusus malam ini.
“Padahal gue ada menu baru..”
Memasang wajah super memelas agar kemauan Artha diundur besok saja.
“Eh?... Yaudah deh makan dirumah aja.”
“Gue mau bikin japchae dari Korea.”
“Khas Korea?”
“Iyalah masak khas Manado?”
Makan malam kali ini terkesan sekali untuk Gladis, senyumnya tak pernah luntur ketika Artha begitu menyanjung masakannya. Bibir lelaki itu lihai sekali dalam membuat orang besar kepala. Ditambah dengan lahapnya Artha menyantap japchae serta spicy chicken wings buatan Gladis malam ini.
“Gak pernah gagal masakan lo, gak rugi gue gak jadi makan di luar,” puji Artha setelah menyelesaikan makan.
Satu mangkuk besar japchae yang Gladis buat ludes dimakan Artha dan dirinya, kini perut mereka sudah kenyang dan hanya tinggal menunggu kantuk datang. Gladis memilih menonton TV sambil menunggu Artha selesai mencuci piring, hari ini giliran suaminya.
Akhir – akhir ini Gladis mencoba menonton series film dari luar negeri, bukan drama Korea yang memang sering ia tonton. Series Hollywood tentang detektif legendaris, padahal dirinya yakin tak pernah menyukai film ber-genre ini sebelumnya.
“Seru ya?”
Gladis sedikit kaget saat Artha dengan tiba – tiba tidur berbantal pangkuannya, wajahnya langsung menghadap perut Gladis yang berbalut kain piyama. Suaminya ini beberapa kali menegur akan genre film yang Gladis suka akhir – akhir ini, asal kalian tau saja kalo Artha sudah menamatkan film ini 10 kali. Seru katanya.
“Iya seru,” jawab Gladis.
Bukannya ikut menonton film, Artha malah menenggelamkan wajahnya pada perut Gladis, sebelah tangannya juga ikut merangkul pinggang Gladis. Hal itu membuat Gladis yang awalnya bersandar nyaman memajukan sedikit tubuhnya, tangannya juga bergerak mengelus kepala Artha.
Hal seperti ini bukan hal baru, Artha bahkan pernah sampai ketiduran dengan wajah masih membenam pada perutnya. Gladis nyaman saja diperlakukan seperti ini, malah ia merasa senang.
“Dis perut lo kok gak buncit – buncit sih?”
“Mana gue tau, lagian masih tiga bulan, Tha.”
“Iya sih.” Artha menarik wajahnya, dengan binar cerah matanya menatap lekat perut Gladis. Sedikit tak percaya jika darah dagingnya sedang bertumbuh disana, dirinya bahkan tak tau kenapa sangat yakin bakal menyayangi makhluk belum terwujud itu, rasanya ingin segera melihat wajah sang buah hati secepatnya.
“Cepet keluar ya, Dik, Ayah udah gak sabar pengen ketemu kamu,” suara bisikan Artha yang masih mampu didengar oleh Gladis.
>>