Chapter 21 - Merindukanmu

1193 Kata
Satu minggu kemudian. "Good morning everybody!" Teriak Caroline ceria, tampilannya di pagi hari ini tampak sempurna dengan celana andalannya yaitu jeans. Well, dia lebih suka celana daripada rok atau dengan kata lain semacam dress dia lebih suka berpenampilan casual. "Morning Aunty." Sahut Reo—anak laki-laki dari sahabatnya, Nasya. "Oh halo Kak, Kakak sudah pulang!' Caroline sedetik terkejut saat mendapati penghuni baru yang merupakan pemilik dari rumah yang ia tumpangi ini. "Hmm.. Kau masih sama sejak sebulan yang lalu, cantik." ucap Justin—Ayah dari Reo dan suami dari Nasya. "Well, aku memang cantik." sahut Caroline dengan tawa percaya dirinya, "Kau bahkan dulu mengejar-ngejarku sebelum akhirnya bersatu dengan si lemot itu." "CAR, aku bisa mendengar ya!" Bersama itu sahutan lain mengintrupi, membuat Caroline semakin tergelak, sedangkan Justin hanya menggeleng-geleng saja. "Tidak mengejar-ngejar juga." sahutnya datar. "Car, tutup mulutmu atau aku akan menendangmu keluar dari rumahku!" Nasya muncul dari arah dapur dengan semangkuk sup di tangannya, raut wajah wanita beranak satu itu tampak kesal. "Oke, oke." "Kau juga!" Caroline terkekeh geli saat melihat Nasya tengah memelototi suaminya. "Dia memang cantik baby, tapi dia kalah dengan kecantikanmu, kamu tahu? Kamu sangat cantik sekali di mataku!" gombal Justin membuat pipi Nasya bersemu sedangkan Caroline seakan mual mendengarnya. Well, sejak seminggu yang lalu Caroline memang tinggal di rumah Nasya. Dan soal Justin, kenapa dia memanggil Kakak karena memang lelaki itu tujuh tahun lebih tua darinya dan satu fakta Justin pernah menyukainya dan sebelum bertemu Nasya-istrinya lelaki itu terlebih dulu mengenalnya dan saat itu dimulailah liku-liku kisah cinta Nasya. Well, dia mungkin penghubung dari jalan kisah dua insan itu bersatu. Beberapa menit kemudian sarapan telah selesai. Caroline tampak ingin menyampaikan sesuatu. "Emm... Sebelumnya. Nasya, Kak-" Carolina menatap bergantian sahabatnya dan suaminya itu. "Terima kasih untuk kebaikan kalian mau menumpangku tinggal di sini. Aku benar-benar berterima kasih, dan aku sadar aku tidak ingin merepotkan jadi aku akan pindah secepatnya." "Pindah? Kenapa? Aku senang kau ada di sini, Car." kata Nasya. "Terima kasih untuk itu, tapi aku tidak ingin merepotkan. Aku pun sudah mendapat tempat tinggal baru yang cukup untukku tempati." "Baiklah kalau itu maumu, kita bisa apa tapi yang penting jaga dirimu Caroline." Kata Justin—pria itu memang baik dan menganggap Caroline seperti adiknya. *** Di perjalanan menuju tempat kerjanya Caroline tengah bertelepon dengan seseorang. "Sudah," katanya tersenyum saat menjawab pertanyaan dari seberang telepon. "Kamu di mana?" tanyanya kemudian. "Oh. Oke." "Aku merindukanmu Nic." Dan ternyata Caroline tengah bertelepon dengan Nicholas Matthew. Well, selama seminggu ini pun Caroline lebih sering berhubungan dengan Nicholas secara tidak langsung seperti berhubungan lewat telepon—seperti sekarang ini, karena untuk bertemu secara langsung sangat sulit apa lagi pria menolak untuk melakukan pertemuan. "Aku juga merindukanmu, lima hari kita tidak bertemu." "Mau bertemu?" "Bolehkah?" tanya Caroline tanpa menutupi nada kebahagiaannya. "Yaa. Akan kujemput besok tepat jam tujuh malam." "Oke, aku menunggumu." Setelahnya sambungan pun terputus dan tepat saat itu dia sampai di tempat kerjanya. "Hai, Caroline." Sapa Daby saat Caroline sudah memasuki cafe tempatnya bekerja. "Hai juga, Dab." Balas Caroline menyapa. "Kau tampak bahagia sekali," kata Daby menatap Caroline yang wajahnya tampak bersinar dan berbinar-binar. "Apakah terlihat jelas?" tanya Caroline sambil menangkup ke dua pipinya. Daby mengangguk mantap. "Bukan terlihat lagi jelas wajahmu itu berbinar-binar bahagia." Dan Caroline hanya menanggapinya dengan senyuman lebar. Yaps, dirinya memang tengah dalam keadaan bahagia karena lelaki itu. *** 07.00 PM. Caroline dengan style celana jeans hitam dipandu kemeja birunya tampak memasuki sebuah mobil hitam yang di dalamnya terdapat seorang pria yang tidak lain Nicholas. "Hai." Sapa Caroline setelah berada di dalam mobil dan di detik selanjutnya mobil pun melaju meninggalkan pekarangan rumah sahabatnya-Nasya. "Nic." "Hmm." "Nicholas!" untuk kedua kalinya Caroline memanggil Nicholas dengan naik satu oktaf. "Hmm." Dan jawaban itu membuat Caroline kesal. "Apa kau tidak bisa merespons dengan kata selain hm?" Kata Caroline emosi. Ingin sekali Caroline membuka lebar mulut pria itu sampai ternganga memperlihatkan pita suaranya agar bisa mengatakan kalimat panjang meski itu hanya empat bait. Nicholas benar-benar irit bicara! "Hai, Nic!!" Caroline terpekik saat secara tiba-tiba dengan kecepatan kilat tubuhnya telah berpindah posisi—Hell, Ia menduduki Nicholas dengan wajah yang saling berhadapan l. "Kenapa kau selalu membuat jantungku berdetak tak karuan!" Nicholas menyeringai akan pengakuan itu, kepalanya bergerak menuju samping daun telinga kanan Caroline, berbisik dengan intonasi sensual. "Mulutmu itu selalu membuatku penasaran akan rasanya. Boleh ku cicipi?" Caroline melotot. "Mulutmu!" Nicholas terkekeh samar, kepalanya bergerak mendekati telinga Caroline. Kemudian berbisik serak—menggoda wanita itu. "Kiss?" "No!" Tapi Nicholas malah menunjukkan seringai tipis misterius. Dan sedetik kemudian dengan kecepatan yang tidak mampu diprediksi Caroline, bibir lelaki itu telah mendarat manis di atas bibir Caroline yang terbengong, cengo. Sampai kesadaran menyambarnya bagai petir yang menyambar. Mata Caroline melotot sempurna, terkejut apa lagi saat ciuman Nicholas semakin ganas—memorak-porandakan mulutnya bak ombak mengamuk. Dan anehnya, setelah tiga kali mencoba melakukan aksi pemberontakan, Caroline pada akhirnya terbawa arus juga. "Aaw!" Sampai kemudian, ringisan dari Nicholas terdengar tak kala cubitan maut tersarang di paha kanannya. "Kau mau membunuhku!" geram Caroline dengan napas tidak teratur, kedua pipinya memerah dengan udara panas yang menjalari seluruh tubuh mau pun jiwanya. Dengan perlahan Nicholas memajukan kepalanya ke depan wajah Caroline yang tampak memukau dengan wajah memerah malunya itu. Sampai hidung mereka saling bersentuhan menghantarkan kata tambah dalam percikan-percikan kebahagiaan sampai deru napas dari masing-masing terasa menyejukkan. "Kau tahu, kau hebat juga dalam berciuman, kau benar-benar membuat—Aww Caroline!" Nicholas meringis di kalimat akhirnya yang terpotong karena cubitan maut yang dilayangkan Caroline pada pahanya. "Sakit hem! Mau lagi!" gerutu Caroline menatap tajam Nicholas. "Boleh juga, dan aku kembali mendapatkan bibir bungamu ini." balas Nicholas menantang dengan jari yang entah kapan sudah menyentuh bibir Caroline dan mengelusnya lembut. "Aku suka manis bungamu ini." Nicholas mulai kembali mendekatkan wajahnya pada Caroline. Tapi karenanya deringan yang mengganggu setelahnya membuat suasana romantis itu buyar. Nicholas mendengus kesal, melirik ponsel yang telah berada di tangannya dan memutuskan mengangkat panggilannya. "Ada apa?" tanyanya to the point pada seberang telepon. "Hm. Sebentar lagi aku sampai." Setelah mengucapkan beberapa kalimat terakhirnya itu, sambungan langsung terputus. Desiran napas beraroma lavender itu dirasakan Nicholas menyapu kulit lehernya membuat darahnya mendidih. Nicholas mengeluskan tangannya pada rambut panjang hitam nan lebat Caroline yang tampak santai menyembunyikan wajahnya di ceruk lehernya. Nicholas tersenyum saat bisa merasakan perasaan dari jantung wanita di pangkuannya itu sekarang-berdetak kencang seakan tengah melakukan lari maraton. 120 detik kemudian, Caroline yang merasa sudah bisa mengendalikan seluruh jiwanya mengangkat kepalanya dari ceruk leher Nicholas meski rona merah masih setia menghiasi kanan kiri pipinya. Caroline menatap dalam Nicholas yang juga tengah menatapnya, dan dari matanya Caroline bisa melihat ada pancaran sebuah perasaan yang jujur—yang dengan kata lain merupakan perasaan sederhana yang dimiliki dengan nyata lelaki itu. Nicholas di matanya sekarang tampak rapuh, mata itu pun memancarkan sebuah perasaan bersalah yang teramat dalam tapi sejauh ini pun lelaki itu bisa menutupinya dengan tampang dinginnya. Tangan Nicholas bergerak menarik tengkuk Caroline mendekat pada wajahnya. Dan- Cup Lelaki itu mengecup penuh kelembutan kening Caroline yang langsung memejamkan matanya meresapi rasa dari kecupan lelaki itu. Sampai akhirnya dengan jarak wajah yang sangat dekat, saling melemparkan tatapan dan seulas senyum tulus terbit dari masing-masing sudut bibir mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN