"Hai, ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?'' tanya Nicholas menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Caroline yang terbengong.
"Kau mendengarku? Terpesona eh!" Nicholas menyeringai tipis saat melempar kata terakhirnya.
"Ya." Dan entah sadar atau tidak, kaya ya keluar dari mulut Caroline.
Membuat Nicholas terkekeh geli. ''Really?'' Godanya semakin gencar.
Dan Caroline yang masih dalam mode terjerat pesona pria itu secara terang-terangan mengangguk. Hingga di satu detik kemudian kesadaran menghantamnya, menggeleng-gelengkan kepala, Caroline merutuk kesal pada dirinya sendiri. Caroline bodoh, bodoh!
"Ahh memalukan, kau mempermalukan harga dirimu sendiri Caroline!'' gerutunya pelan, tapi masih bisa di dengar Nicholas yang terkekeh geli.
This woman is really attractive!
Caroline terlonjak kaget saat tubuhnya yang tidak siap dengan secepat kilat tertarik ke depan hingga menabrak d**a bidang Nicholas. Lelaki itu kemudian membawa mulutnya tepat di samping telinga Caroline.
"Jadi, kau berpikir aku tampan, hm?''
Dan Caroline terbelalak. Ouhh, harga dirinya sudah benar-benar jatuh karena kecerobohannya sendiri. Kenapa mulut blak-blakan sekali, astaga!
"Ahhh, tidak seperti itu, kau salah paham." sahut Caroline dengan gelengan kepalanya, mencoba menolak kata-kata lancangnya beberapa menit lalu untuk mempertahankan sisa-sisa harga dirinya.
"Tidak usah mengelak, beauty. Mata dan Pendengaranku saksinya, kau terus melihatku dengan pandangan-eumm well, terpesona. Dan bahkan mengakuiku tampan langsung dari mulutmu sendiri."
Itu benar!
Astaga malu, Caroline kau bener-bener bodoh!
Caroline menggerutu kesal. "Tau ah, Gelap!"
Mendengar nada kesal Caroline membuat Nicholas gemas sendiri, apa lagi dengan ekspresi wajah merah itu. Tidak tahan Nicholas menghadapkan tubuh wanita itu padanya. Kemudian, wajah pria itu lambat laut mulai mendekati wajah Caroline di bawah cahaya temaram tempat itu. Hidung mereka saling bersentuhan, jalur udara mereka saling bersahutan menghantarkan hawa hangat beraroma mint juga lavender.
"Kau pun cantik Caroline William—cantik sekali."
Blus
Tanpa bisa dicegah, rona merah memalukan hinggap di pipi Caroline yang memanas.
Ohgod! Nicholas memujinya! Batinnya kegirangan tidak percaya.
Senyum tipis yang terlihat tulus muncul di kedua sudut bibir Nicholas melihat wajah salah tingkah Caroline yang coba disembunyikan. Tangan Caroline kemudian terangkat menyentuh wajah Nicholas dan mengelusnya lembut.
"Nicholas, kita bertemu seminggu yang lalu, tapi entah kenapa kau membuatku penasaran selama itu dan sampai detik ini pun," Caroline menghentikan ucapannya sejenak. "Dalam mimpi kau hadir mendatangiku dan mengajakku pada sebuah gelombang rasa penasaran yang tidak berujung. Kau tahu aku perempuan yang tidak suka bertele-tele untuk menyadari bagaimana perasaanku sendiri, aku perempuan berumur 21 tahun, aku sadar apa yang tengah aku rasakan sekarang. Aku memang tidak tahu siapa dirimu. Tapi entah kenapa hati dan pikiranku selalu terbayang dirimu dan setelahku atur lagi untuk mengartikannya, aku sadar ini terlalu cepat, aku juga bingung, tapi aku tak bisa memungkiri bahwa hatiku-tertarik padamu."
Nicholas yang masih setia mendengarkan menatap serius Caroline, bisa ia lihat perempuan di hadapannya itu mengatakan hal jujur.
Tapi secepat inikah perasaan perempuan ini padanya. Setelah menolaknya mentah-mentah di pertemuan kedua, dan secepat ini perempuan itu mengatakan apa yang di inginkannya tempo lalu dan-well, Nicholas tak menyangkal, bahwa sampai sekarang dia masih mengharapkan jawaban itu. Dan tanpa ada malu-malu seperti perempuan lainnya, Caroline terkesan blak-blakan.
Tapi ya itu tadi, Caroline mengungkapkan perasaannya dengan sungguh-sungguh, tidak main-main, Nicholas bisa merasakannya.
Caroline mungkin anti mainstream, langsung mengatakan isi hatinya tanpa tahu akibatnya. Tapi wanita itu lebih menyukai perbuatan itu, alasannya? entahlah cuma hati Caroline saja yang tahu.
"Tertarik?"
Hanya ketertarikan yang diungkapkan Caroline.
Dan entah kapan ada masanya ketertarikan itu akan berubah, bila memang dirinya selalu menunjukkan respons positif pada pria itu. Kapan dan sampai di mana perasaan tertariknya itu akan tumbuh menjadi sebuah perasaan sesungguhnya.
Caroline mengangguk mantap. "Bisa dibilang seperti itu, aku tertarik padamu."
"Kau yakin?"
Caroline mengangguk. "Bahkan setelah pertemuan terakhir itu aku selalu berharap tuhan mempertemukan kita kembali." ucap Caroline tanpa malu sama sekali.
Nicholas mengangkat sebelah alisnya, detik kemudian suara pekikan kecil Caroline terdengar saat tiba-tiba tangan Nicholas merangkul dan membawa dirinya pada dekapan pria itu.
"Nic."
Lirih Caroline dalam delapan Nicholas, pipinya kembali memanas dan Caroline yakin rona merah semerah tomat matang hinggap kembali di sana membuatnya malu sekali apa lagi mengingat pengakuannya yang tanpa malu-malu beberapa saat lalu.
Dan Caroline tidak percaya bisa mengungkapkan perasaannya yang bersifat privasi itu. Dan untung saja Nicholas tidak bisa melihat wajahnya, bisa mati dia menanggung malu yang tiba-tiba menyeruak seluruh akal sehatnya.
Beberapa saat kemudian, Caroline mulai berani mengangkat kepalanya menatap wajah Nicholas yang juga menatapnya.
"Kau menyukaiku?" bisik Nicholas membuka suaranya.
"Suka?"
Nicholas tersenyum dan dengan tiba-tiba menarik pinggang Caroline sampai menabrak d**a bidangnya yang langsung membuat sang empu memekik kaget. "Pada pertemuan kedua kita, mungkin aku terlalu cepat, namun aku bersungguh-sungguh akal hal itu."
Cup
Nicholas mengecup pipi kanan Caroline yang langsung terpaku kaget.
"Nic,"
Dengan senyum tipisnya yamg menawan, Nicholas membawa jari-jemarinya pada bibir Caroline sambil menggeleng pelan seakan menyuruh wanita itu diam.
"Dan akan aku pastikan, bahwa aku bisa merubah rasa tertarik itu menjadi rasa suka—our love. I am promise, Caroline William."
***
Sedangkan di RS, Raquel masih belum sadar. Bocah kecil menggemaskan itu terus saja menutup matanya, menghiraukan seorang wanita yang tidak lain ibunya sendiri yang terus menatap sedih putrinya.
Mata Rachel memerah dan membengkak efek dari tangisannya, di sampingnya ada Alardo yang tengah meminjamkan bahunya untuk menjadi sandaran kepala Rachel.
Alardo ikut sedih dengan calon anaknya itu, jujur di lubuk hatinya, meski Raquel bukan anak kandungnya tapi Alardo tidak berbohong dengan kasih sayangnya pada Raquel selama kurang lebih dua tahun ini. Dia menganggap bocah itu seperti anaknya sendiri, menyayanginya tulus, toh juga Raquel menggemaskan dan asyik membuat dirinya bisa dengan mudah menerima bocah itu.
Tapi apa setelah Papa dari bocah itu muncul posisinya akan terganti? Alardo risau? Jelas, karena pria itu adalah papa kandung Raquel sekaligus pria masa lalu Rachel.
Dia mencintai Rachel, perasaannya tidak berbohong, dia bahkan menunggu selama dua tahun untuk wanita itu dan melepaskan keberengseknya hanya untuk bersama Rachel.
Faktanya, Alardo sama seperti pria lain, bermuka dua bila masalah wanita, tapi semenjak dua tahun lalu sejak bertemu Rachel semua berubah dia menjadi lebih baik, tidak lagi mempermainkan wanita demi kepuasannya, tidak juga meminta pada Rachel demi memenuhi kepuasannya.
Rachel mengangkat kepalanya yang bersandar pada bahu Alardo saat mendengar dering ponsel dari saku lelaki itu.
Alardo langsung mengambil ponselnya dan tertera nama Crystal di sana. Pria itu mendengus dan memutuskan tidak mengangkat panggilan.
Rachel menengokkan kepalanya melihat siapa yang menelepon pria itu. "Angkat saja," kata Rachel kemudian.
"Tapi-"
"Angkat, siapa tahu penting." ucap Rachel menyela ucapan Alardo.
Dan akhirnya Alardo menurut, mengangkat panggilannya, mengobrol beberapa menit, sampai akhirnya lelaki itu bangkit dari duduknya.
"Mau pergi?" tanya Rachel.
Alardo mengangguk, wajahnya terlihat menyesal karena tidak bisa menemani wanita itu.
Rachel tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, pergilah aku baik-baik saja."
Alardo kembali mengangguk. Tapi baru juga beberapa langkah Rachel mengejarnya dan menghentikan langkahnya.
"Kapan kembali, menemaniku." kata Rachel menatap penuh harap pria di depannya itu.
Pria itu tersenyum. "Secepatnya."
Alardo lalu memeluk Rachel sebelum benar-benar pergi. Lelaki membatin dalam hatinya. Maaf, semoga berita besok tidak akan menyakitimu, kau harus percaya padaku, aku akan terus berusaha menghentikan kegilaan ini dan tetap berada di sampingmu, sampai kau benar-benar mencintaiku. Rachel.
Peninggalan Alardo, jantung Rachel berdegup kencang saat pandangannya melihat seorang pria yang sangat dikenalnya-tengah menatapnya tajam.
"Xavier,"
Pria itu terus melangkah maju, mendekati Rachel yang mundur dengan teratur.
"Jangan mundur, dan menghindariku," desis Xavier. "Dan lelaki itu siapa? Aku tidak suka melihat kau dengannya!''
Rachel menatap sinis. "Apa urusanmu. Kau bukan siapa-siapaku dan tidak berhak mengaturku!''
Saat Rachel akan bergegas pergi Xavier malah menarik pinggang Rachel sehingga menabrak d**a bidangnya dan mengurung wanita itu dalam perangkap tangannya yang kuat.
"Lepaskan b******n, aku tidak mau disentuh olehmu, lepas!" Rachel meronta-ronta mencoba lepas dari kukungan kuat Xavier tapi semua sia-sia pria itu malah menariknya pada pelukan lelaki itu.
"Maafkan aku, maaf."
Dan pertahanan Rachel runtuh, kata maaf Xavier membuat Rachel menangis terisak dengan pilu. Air mata membanjir dari pelupuk matanya. Wanita itu terlihat frustrasi dengan kemunculan lelaki yang telah menorehkan luka padanya.
"Ke-kenapa kau k-kembali?! Tidak cukupkah luka yang kau torehkan padaku!'' tangis Rachel masih mencoba lepas dari pelukan Xavier.
"Maaf-Maafkan aku. Aku benar-benar menyesal." lirih Xavier memohon dengan mengeratkan pelukannya seolah takut Rachel akan kabur darinya.
"Lepas! Lepaskan aku. Biarkan aku bebas, biarkan aku bahagia tanpa kehadiranmu!''
"Kumohon lepas, lepaskan aku!"
Dan dalam beberapa menit kemudian, Rachel tampak suara tenang dengan posisi masih di pelukan Xavier, wanita itu terlihat kelelahan di pelukan Xavier dengan wajah yang memerah dan juga mata yang membengkak, dan sebelum kesadarannya hilang, wanita itu sempat bergumam sesuatu.
Membuat Xavier yang mendengar gumaman itu terpaku sesaat. "Maafkan aku karena mengecewakanmu dan baru bisa kembali."