Zulfa Zahra El-Faza Selesai dengan urusan kami, kulihat Gus Fatih merapikan sarungnya dengan mataku yang setengah terpejam. Ia kemudian pergi mematikan lilin-lilin kecil di sekitar kamar yang tersisa seperempat bagian lalu kembali menghampiriku yang masih setia terkulai di atas tempat tidur kami yang masih penuh bunga. Susah payah aku mencoba berdiri. Namun, sia-sia karena tenagaku rasanya benar-benar sudah terkuras habis. “Ayo tak gendong saja!” Gus Fatih bicara. Ia mengulurkan kedua tangannya ke arahku. Namun langsung terhenti berkat gelengan kepala yang kuberikan. Melihat Gus Fatih yang menatapku iba seperti ini membuatku terharu sekaligus ingin menangis. Aku tahu, Gus Fatih pasti sama lelahnya sepertiku, tetapi dia malah berbesar hati mau mengurusku. Padahal sebagai istri, aku yan