Prolog - Awal Mula

2415 Kata
Srek srek srek …. Suara sikat yang beradu dengan cucian terdengar riuh di telinga. Belum lagi suara gemericik air yang mengguyur dan membasahi tubuh di balik pintu kamar mandi yang berjajar rapi di sepanjang blok itu. Ditambah para santri putri yang berbaris mengantre di luar masing-masing pintu yang juga menciptakan keributan. Di antara mereka, ada yang asyik bergosip, ada yang melakukan olah vokal, ada yang berteriak-teriak karena tidak sabar menunggu temannya di dalam, dan ada pula yang memilih berdiri menyandar di tembok sambil melalar hafalan nadhom. “Neng Zulfa, yakin tidak mau mencalonkan diri jadi ketua pondok putri tahun ini?” tanya seorang santri bernama Dewi sambil terus bergelut dengan cucian yang disikatnya. Santri putri berparas ayu di samping Dewi itu menggeleng, tangannya juga sibuk menyikat. “Tidak, De. Aku tidak pantas mencalonkan diri jadi ketua pondok,” jawabnya seperti gumaman. “Banyak yang lebih pantas dariku.” Suara lirihnya itu membuat Dewi, sang sahabat yang juga merupakan seorang abdi ndalem menoleh. “Kenapa, Neng?” Dewi menghentikan gerakan tangannya. “Neng Zulfa, kan, salah satu santri berprestasi di pesantren ini,” Dewi menyentakkan cucian sebelum melanjutkan, “pasti bakal terpilih kalau maju!” tandasnya. Zulfa hanya diam dan terus mendengarkannya. “Di antara santri putri lainnya, Neng Zulfa adalah kandidat ketua pondok terbaik di sini. Apalagi Neng Zulfa kan punya darah biru,” dukung Dewi lagi. Dewi berhenti menyikat dan lantas menatap Zulfa. Menanti respons sahabatnya yang merupakan putri seorang kiai besar di daerah Kediri itu, tetapi Zulfa tak segera merespons. Mata Zulfa malah menatap kosong ke depan, menerawang dinding berlumut yang kian hijau di depannya itu. “Aku banyak kesalahan, De,” sahut Zulfa akhirnya, pelan tetapi masih jelas terdengar. “Ya sudahlah, aku ke kamar dulu, ada cucian yang tertinggal.” Zulfa bangkit, membasuh tangannya yang berbusa dengan air kemudian pergi. *** “Ada apa ini, Zul? Kenapa hafalanmu amburadul begini?” tanya Ustaz Imam di depan kelas pada Zulfa. “Kata para ustaz dan ustazah kamu juga sering tidak memperhatikan pelajaran akhir-akhir ini. Ada apa? Kamu punya masalah?” Ustaz Imam meletakkan buku nadhom Alfiyah yang dipegangnya ke meja. Zulfa menunduk. Diam. Entah tidak berani menjawab atau memang tidak ingin. Matanya terus menatap ke ubin kelas. Kedua tangannya tak henti meremas jari-jemarinya satu sama lain. “Saya jadi ragu kamu bisa mewakili pesantren kita di lomba lalaran antarpesantren salafiyah tingkat nasional jika kamu terus begini.” Ustaz Imam terdengar kecewa. “Dewan asatidz sangat berharap banyak darimu, Zulfa. Jadi, perbaiki hafalanmu, ya?” Beliau menarik napas dalam lalu bersandar di kursinya. “Enggeh, Ustaz.” Zulfa manggut. “Insyaallah,” lanjutnya tanpa berani mengangkat wajah. “Neng, ada yang mau kutanyakan!” Tiba-tiba Dewi menarik tangan Zulfa seusai tadrisud diniyah, mengajaknya duduk lagi di kelas yang sudah sepi ditinggal kembali ke asrama oleh santri putri lainnya. Mereka sudah mengantuk dan ingin beristirahat di kamar masing-masing. Jam dinding kelas sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB. “Di mana Neng Zulfaku yang selama ini?” tanya Dewi menggerakkan ujung dagunya ke depan. Zulfa mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang dikatakan Dewi. “Maksud kamu?” tanyanya. Dewi menghela napas, kedua tangannya meraih salah satu tangan Zulfa kemudian menggenggamnya erat. “Aku tidak ingin basa-basi, Neng. Apa yang Neng sembunyikan dariku?” tanya Dewi menatap mata Zulfa tajam. Zulfa diam. “Neng sedang menyembunyikan sesuatu, kan?!” seru Dewi lagi setelah lama tak segera mendapat jawaban. Zulfa memalingkan wajah. Dengan cepat ia menarik tangannya dari Dewi lalu memperbaiki posisi duduknya. “Tidak ada, De. Tidak ada yang kusembunyikan,” elaknya. “Jangan bohong, Neng! Aku tahu ada yang Neng sembunyikan.” Dewi meraih tangan Zulfa lagi. “Aku ini sahabatmu, Neng. Aku tahu kalau Neng sedang menutupi sesuatu!” Gadis itu bersikeras. “Neng sering menyendiri sekarang, tidak memperhatikan pelajaran dan hafalan Alfiyahnya banyak yang lupa. Ada apa sebenarnya? Apa yang Neng sembunyikan?” Dewi terus mendesak. Zulfa memejamkan mata. Menghela napas kemudian kembali bicara, “Tidak ada yang kusembunyikan!” Kali ini matanya balas menatap tajam ke Dewi, suaranya meninggi. Dewi tertawa. Ia tahu persis kalau Zulfa sedang membohonginya. “Neng, Neng!” Kepala Dewi menggeleng. “Baiklah, kalau Neng tidak mau mengatakan yang sebenarnya padaku tidak apa,” cetus Dewi santai. “Aku yang akan mengatakannya,” sambungnya. Sambil menatap Zulfa yang acuh tak acuh padanya, Dewi merogoh saku rok, mengambil sesuatu milik Zulfa yang disimpannya di situ lalu menunjukkannya, “Aku menemukan ini!” Mata Zulfa langsung terbelalak. Benda yang ditunggunya datang beberapa hari ini dengan cemas ada di tangan Dewi. Dengan cepat ia berusaha meraih benda itu, tetapi dengan gerakan yang tidak kalah cepat juga Dewi menariknya. “Dari mana kamu mendapatkan itu?” Zulfa hampir meledak. Dewi meringis. Dilipatnya lagi benda itu seperti saat ia menemukannya di halaman depan sebuah buku. “Kalau begitu benar dugaanku,” gumamnya lirih. Dewi ingat, beberapa waktu lalu seorang anak kecil telah salah mengira kalau dirinya adalah Zulfa. Benda itu didapatnya terselip di halaman buku yang diberikan anak kecil itu. Dewi ingat benar, saat itu ia dan Zulfa sedang belanja di pasar atas perintah Bu Nyai. Zulfa sedang tidak bersamanya saat anak kecil itu datang. “Neng merasa tidak pantas dan tidak mau mencalonkan diri sebagai ketua pondok karena ini, kan? Karena ini juga kan Neng Zulfa mengatakan kalau Neng banyak salah?” terka Dewi dengan benda putih itu teracung di tangannya. Diam, Zulfa tidak bisa menyangkal. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, ia hanya membisu karena semua yang dikatakan Dewi benar. Zulfa akhirnya menghela napas. “Jadi apa yang akan kamu lakukan sekarang, De?” tanyanya dengan wajah tak bersahabat. “Kamu akan menunjukkannya pada semua orang?” tambahnya dengan satu alis terangkat. “Aku sudah salah langkah, De. Salah. Tidak bisa kembali. Sekarang hanya kehancuranku saja yang belum terjadi. Dan kamu bisa membantuku mewujudkannya dengan surat itu,” ucap Zulfa. Untuk pertama kalinya kepalanya tertunduk malu di hadapan Dewi, sahabat yang dimilikinya sejak di madrasah aliyah dua tahun lalu. Mata sendunya pun mulai berkaca-kaca. Di sisi lain Dewi menggeleng. “Neng bicara apa? Aku ini sahabatmu, Neng! Sebagai sahabat, tidak mungkin aku diam saja melihat sahabatku hancur, apalagi menjadi penyebab kehancurannya. Tidak, Neng! Aku tidak setega itu.” Mata Dewi ikut berkaca-kaca juga. Beberapa saat kemudian tercipta hening. Keduanya saling sibuk dengan pikiran masing-masing sampai salah satu dari mereka memulai konversasi lagi. Dan orang itu adalah Dewi. “Neng, jawab aku!” kata Dewi. “Apa benar Neng Zulfa dan Gus Fatih pacaran seperti yang kuketahui lewat surat tadi? Atau, kalian hanya iseng dan main-main?” tanya Dewi serius. Zulfa mengangkat kepala. Air mata terus leleh di wajah ayunya yang kian sembap, jatuh mengenai kerudung biru muda yang ia kenakan. Sambil terisak, ia menjawab juga pertanyaan Dewi, “Iya, De. Kami memang pacaran. Gus Fatih pemuda yang baik. Kami saling menyukai,” ungkapnya jujur. “Aku tahu, tidak benar kami melakukan semua ini. Jika orang-orang mengetahuinya, bisa-bisa nama baik orang tua kami tercemar. Itu jelas hal yang sangat memalukan baik bagi keluargaku maupun keluarga Gus Fatih sendiri. Aku sadar itu.” Zulfa terisak. “Tapi kami benar-benar saling mencintai, De. Percayalah! Kami sudah mencoba mengubur perasaan itu, tapi tak bisa.” Dewi geleng-geleng kepala. Mendengar cerita sahabatnya, matanya yang tadi hanya berkaca-kaca mulai menumpahkan lelehan hangat ke pipi. “Jadi sejauh apa hubungan kalian?” Dewi berusaha bertanya lagi. Zulfa menarik napas. Mata bulatnya mengarah pada Dewi, tetapi pandangannya menerawang masa lalu. “Gus Fatih dan aku bertemu pertama kali di ndalem, De. Saat itu Gus Fatih baru boyongan dari pondoknya. Aku yang waktu itu sedang disambang oleh Abah dan Umi hampir bertabrakan dengannya saat izin pergi ke kamar mandi. Akhirnya kami dikenalkan dan sejak itu Gus Fatih mulai mengirimiku surat dan aku juga membalasnya,” ungkap Zulfa yang kemudian bercerita panjang lebar mengenai hubungannya dengan Fatih, gus muda berwajah rupawan, terkenal memiliki intelektual tinggi yang tidak lain adalah putra Kiai dan Bu Nyainya sendiri. Dewi terus menyimak cerita Zulfa sambil menahan napas, mencoba menenangkan hatinya dan memikirkan jalan terbaik untuk Zulfa. “Aku sudah mendengarkan Neng bercerita dan aku mempercayainya, Neng. Sekarang Neng Zulfalah yang harus percaya padaku!” putus Dewi sembari menarik napas. “Ikutlah bersamaku menghadap Bu Nyai Fatimah!” katanya yang langsung disambut gelengan oleh Zulfa. Namun ia tetap bersikeras. *** Malam yang dingin masih menyelimuti Zulfa yang sedang menjalani takzirannya. Perlahan Zulfa menyapu peluh di keningnya yang bercucuran dengan lengan baju. Matanya masih menahan kantuk sebenarnya, tapi dengan air di kamar mandi ndalem yang belum juga penuh setelah diisinya berkali-kali membuatnya harus tetap terjaga, menimba air dari sumur samping kamar mandi itu sampai terisi penuh. Berbeda dengan santri putri lain yang dihukum mengenakan jilbab khusus takzir sepanjang masa hukuman. Zulfa tidak mengenakannya. Bahkan hukuman yang diterimanya pun berbeda. Kalau santri putri lain yang melanggar aturan dengan pacaran biasanya dihukum harus salat tepat waktu dan berbaris di shaf depan setiap hari, membaca surah at-Taubah di halaman pesantren yang panas setiap hari Jumat, bertanggung jawab membersihkan dan mengumpulkan sampah, maka hukuman Zulfa lain. Ia harus bangun setiap hari pada pukul dua dini hari untuk mengisi kamar mandi ndalem sampai penuh. Bukan dengan keran atau pompa air yang biasa dipakai, tetapi dengan menimba. Lalu paginya, ia harus membantu santri putri yang hari itu piket membersihkan seisi pondok. Selain itu, ia juga bertanggung jawab mencuci piring bekas makan seluruh santri putri di dapur ndalem. Hukuman yang berat, tetapi Zulfa tetap sepenuh hati menjalaninya. Zulfa sadar, takziran yang diterimanya adalah untuk kebaikannya sendiri. Salah satu pembelajaran penting dalam hidupnya. Tidak melulu ia berada di atas. Seperti manusia lainnya ia juga melakukan kesalahan. Dan sebagai orang yang bersalah, ia harus menebus kesalahannya, yaitu dengan menjalani takziran sebagai hukuman. Banyak nilai positif yang diperoleh Zulfa berkat takziran tersebut. Ia yang dulu jarang salat malam sekarang selalu melakukannya karena harus bangun lebih awal. Selain itu ia juga menjadi semakin giat, tubuhnya juga semakin gesit dan sehat karena banyak bergerak. Sedang Fatih, Zulfa tahu dari Dewi, Fatih juga menjalani takzirannya sendiri. Fatih harus menggantikan Kiai Adnan sang abah mengajar ngaji kitab di pondok putra setelah Subuh dan Asar. Ah, Zulfa menepis perasaan yang menyeruak begitu mengingat Fatih. Sejak ditakzir, ia berusaha melupakan putra kiainya itu. Menepis impian untuk menjalin hubungan lebih dengannya. *** Sebulan berlalu. Zulfa maupun Fatih telah selesai dengan hukuman takzir sirri-nya. Sengaja takziran itu dijalankan secara sembunyi-sembunyi agar tidak mencemarkan nama baik keluarga besar Zulfa maupun Fatih yang merupakan kiai ternama di Kediri dan Jombang. Selain hukuman yang telah rampung dijalani Zulfa, pemilihan ketua pondok putri pun telah usai. Seperti yang diprediksi banyak santri, Zulfa terbukti terpilih menjadi ketua pondok. Sebenarnya Zulfa tak berminat, terlebih mengingat kesalahan yang baru diperbuatnya. Zulfa merasa tak pantas. Namun, karena Bu Nyai Fatimah yang mendorongnya agar maju sebagai kandidat, ia pun tidak memiliki pilihan lain selain menurut. Bu Nyai tampaknya sengaja melakukan itu agar Zulfa bisa belajar bertanggung jawab dan bisa bersikap dewasa. Beliau sangat mafhum, terlepas dari sebutan Neng yang ada pada namanya, Zulfa adalah santri yang memiliki perangai baik yang selaras dengan prestasinya. Reputasinya bagus dan dia juga banyak disenangi oleh santri putri lainnya. Bahkan di kalangan santri putri senior sekalipun yang kebanyakan sudah menjadi ustazah. Kabar baik juga datang dari lomba lalaran antarpesantren salafiyah tingkat nasional yang diikutinya. Zulfa berhasil mendapat juara dua. Memang bukan juara satu, tetapi prestasinya itu tentu membanggakan dan sangat istimewa untuknya. Zulfa ingat bagaimana ia terus berusaha keras menghafal bait demi bait nadhom Alfiyah yang berjumlah 1002 itu. Bagaimana ia mengulang menghafal bait-bait nadhom yang pernah dihafalnya tetapi sempat ia lupa, juga usahanya menyempurnakan kekurangan hafalannya yang semula masih 970 bait menjadi 1002 bait. Ia bersyukur karena mau mendengarkan Dewi untuk menghadap Bu Nyai dan mengakui kesalahan. Kalau tidak mungkin ia tidak akan sampai pada titik ini, meski belum bisa sepenuhnya melupakan perasaannya kepada Fatih. *** “Neng!” tegur Dewi memghampiri Zulfa yang sibuk memeriksa berkas penting di kantor pondok putri. “Ada apa?” Zulfa menoleh. “Itu. Ada abah dan uminya Neng yang datang menjenguk,” terang Dewi. “Bu Nyai meminta Neng Zulfa segera ke ndalem!” Zulfa dan Dewi pun segera bertandang ke ndalem. Dewi menemani Zulfa sampai di depan ruang pertemuan lalu kembali ke dapur, melakukan tugas-tugas dapur bersama abdi ndalem lainnya. Sepeninggal sahabatnya, Zulfa merasakan detak jantungnya menggila, keringat dingin mulai mengguyur tubuhnya. Mendadak Zulfa gugup. Tidak biasanya abah dan uminya datang menjenguk. Biasanya yang datang adalah seorang khodam atau paling banter saudara-saudara lelakinya. Abah dan uminya baru akan pergi ke pondoknya saat mengantar Zulfa kembali mondok setelah liburan atau menjemputnya pulang waktu libur, tidak lebih. Setelah mengambil napas beberapa kali, Zulfa memutar kenop pintu ruangan yang ada di depannya perlahan. Ruangan besar yang juga menjadi saksi bisu sidangnya dan Fatih beberapa minggu lalu. “Assalamualaikum.” Hati-hati Zulfa mengucap salam. “Waalaikumussalam,” jawab seisi ruangan itu serempak. Di dalam Zulfa mendapati Abah dan Uminya duduk berdampingan dengan Kiai Adnan dan Bu Nyai Fatimah, Kiai juga Bu Nyainya. Mendengar jawaban ramah mereka, Zulfa merasa sedikit lebih tenang. Baru ia akan menghela napas, jantungnya kembali dibuat berpacu kencang mendapati kehadiran seseorang yang sedang berusaha dilupakannya di situ, Fatih. “Zulfa, ada yang ingin kami sampaikan padamu, Nak,” ujar Kiai Adnan setelah Zulfa duduk. Zulfa bisa melihat kiainya itu melihat sekilas ke arah Kiai Hisyam, abahnya. Zulfa juga bisa melihat bagaimana Kiai Hisyam tersenyum, mengangguk seperti memberikan suatu kode kepada Kiai Adnan yang kemudian langsung diutarakan maksudnya oleh Kiai Adnan sendiri, sebuah kesepakatan. “Hal ini sudah kami sampaikan pada Fatih, Nduk,” terang Kiai Adnan lembut. Zulfa pun tidak memiliki pilihan lain lagi selain menyimak tanpa berani melihat ke arah Kiai Adnan maupun abahnya seperti sebelumnya, terlebih ke arah Fatih. Ia hanya bisa mempertajam indra pendengarnya siap menangkap apa yang akan disampaikan. Sesekali ia hanya bisa melirik sebentar ke Uminya yang duduk tidak jauh darinya. “Hal ini mengenai kamu dan Fatih.” Zulfa hanya bisa menahan napas dengan d**a yang bergemuruh mendengar namanya disebut bersamaan dengan nama Fatih. Apakah dia akan mendapat hukuman tambahan? pikirnya. Belum Zulfa menghilangkan pikiran-pikiran buruknya mengenai hukuman tambahan yang mungkin akan diterimanya lagi dengan Fatih, Kiai Adnan menyambung kalimatnya yang langsung membuat Zulfa terbelalak tak percaya. “Kami sepakat untuk segera menunangkanmu dengan putraku, Fatih, Nduk,” kata Kiai Adnan. “Setelah apa yang terjadi, kami pikir akan lebih baik jika kalian dijodohkan,” tambah Kiai Hisyam. “Kalian harus segera diikat, Nduk. Gus Fatih juga sudah siap menikah. Kami hanya tinggal menunggu kesediaan kamu sekarang.” Zulfa benar-benar terkejut sampai seolah-olah terasa ingin pingsan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN