Mereka berdua berhenti mengecat sekitar pukul empat sore. Gynta pergi kekamarnya begitupun dengan Vino untuk mandi. Didalam kamar mandi mereka berdua saling menggerutu dan tersenyum mengingat tingkah mereka. Wajah dan pakaian Vino sudah penuh dengan cat sedangkan tangan dan pakaian Gynta yang penuh dengan cat. Sepanjang mereka melakukan pekerjaan rumah, mereka justru bersenang-senang bersama. Mereka tidak sadar kalau inilah pertama kalinya mereka tertawa bersama tanpa ada argumen-argumen yang biasa mereka lakukan.
Vino keluar dari kamar sekitar pukul lima sore. Seperti tidak terjadi apa-apa, mereka kembali bersikap seperti biasanya. Vino berjalan melewati Gynta yang sedang menonton televisi.
"Hei." Panggil Gynta saat Vino akan keluar.
Vino mengabaikannya sehingga Gynta pun bangkit dan menyusul Vino. Gynta melihat Vino berjalan menuju mobilnya.
"Kau mau kemana?" Tanya Gynta.
"Menemui Amy." Jawab Vino dan masuk kedalam mobil. Vino membuka kaca mobil dan melihat Gynta masih berdiri didepan pintu. "Kau tidak perlu menungguku."
Setelah mobil Vino menjauh Gynta pun masuk kedalam rumah sembari bergumam seorang diri. "Siapa juga yang akan menunggu. Lebih baik dia pergi saja dan tidak usah pulang lagi."
Gynta berjalan menuju kamarnya. Dirinya berniat akan menyiapkan makan malam tepat pukul tujuh malam saja. Saat didepan kamar Vino, tangan Gynta perlahan membuka knop pintu kamar tersebut karena merasa penasaran. Dirinya mendapatkan kamar mirip anak berusia lima tahun sedangkan kamar Vino seperti yang diinginkannya. Lelaki itu memang sulit diajak bernegosiasi, memberikan kamar pada Gynta tanpa menanyakan terlebih dahulu dekorasi kamar yang disukainya.
Kamar Vino hanya mempunyai dua warna saja, hitam dan putih. Ranjangnya yang menempel didinding hitamnya sedangkan dinding yang menghadap kamar berwarna putih. Gynta pun masuk mengendap-endap kedalam kamar Vino karena lelaki itu tidak mengijinkannya masuk kedalam kamarnya. Padahal Gynta tidak akan mencuri apapun, dia hanya ingin melihat saja.
Gynta membuang napasnya kasar saat berhasil terkagum-kagum dengan dekorasi kamar Vino. Sangat berbanding terbalik dengan kamarnya. Ranjang kamar Vino berukuran king size, sedangkan Gynta Queen Size. Sebenarnya Gynta tidak mempermasalahkan ukuran ranjang, tapi-
"Sedang apa kau dikamarku?"
Gynta terkesiap saat mendengar suara suaminya itu. Dia berdiri tepat didepan pintu balkon dan berniat ingin melihat pemandangan diluar balkon kamar tersebut. Tapi, sepertinya Gynta harus menelan keinginannya itu. Mendengar langkah kaki mendekat kearahnya, Gynta masih membelakangi Vino.
"Kau ingin mencuri?" Tanya Vino dan sukses membuat Gynta berbalik menatapnya.
"Apa? Mencuri? Apa kau sudah gila menganggap seorang istri mencuri sesuatu dikamar suaminya?" Balas Gynta tak terima. Sebenarnya dia ingin protes tentang kamarnya, tapi setelah berpikir dua kali dan twntu saja jawabannya Vino tidak-akan-mungkin bersedia mengganti kamarnya. Sehingga Gynta hanya ingin melihat kamar Vino saja.
Seulas senyum hinggap dibibir Vino. Sebuah senyuman yang membuat Gynta menampar pipinya, menarik bibirnya menggunakan tang. "Seorang suami istri? Sejak kapan kau menganggapku sebagai suamimu? Bukankah suami istri itu tidur dalam satu ranjang? Apakah kau datang kekamarku karena ingin tidur denganku?"
"Kau terlalu percaya diri, Mr. Masech." Desis Gynta dan keluar dari kamar Vino dengan sejuta rasa kesal pada lelaki itu.
Baru beberapa jam yang lalu mereka tertawa bersama. Sikap Vino juga sedikit ramah padanya pagi tadi. Apakah saat ditengah jalan tadi dia menabrak pembatas jalan dan membuat kepalanya membentur sesuatu? Lelaki itu memang sulit ditebak. Selalu membuat Gynta bingung dengan sikapnya yang mudah berubah setiap detik. Menuduh istrinya mencuri? Astaga. Gynta membanting pintu kamar saat menutupnya. Didalam kamar dia mengumpat dan bersumpah seorang diri. Apa itu karma? Tinggal serumah dengan lelaki yang mempunyai sikap seperti bunglon?
Berbeda dengan Gynta, Vino justru mengambil ponselnya yang tertinggal diatas meja kecil samping ranjang. Ponselnya tepat berada didepan frame potonya bersama dengan sahabat kecilnya dulu. Mungkin kalau Gynta melihat foto itu, dia pasti akan menertawakannya. Menyimpan foto masa lalunya yang sudah belasan tahun hingga dirinya menikah. Oleh sebab itu, dia tidak suka jika Gynta dan siapapun itu masuk kedalam kamarnya. Terlebih jika menceramahinya atau menanyakan sesuatu mengenai foto itu. Selesai mengambil sesuatu yang tertinggal, dia pun kembali pergi karena Amy ingin bertemu dengannya.
"Lihat saja. Aku tidak akan pernah lagi masuk kedalam kamarmu! Kalaupun suatu saat nanti kau sakit atau semacamnya, aku tidak akan pernah masuk kekamarmu dan membantumu. Biarkan saja, salah sendiri kau menuduhku mencuri." Gynta mengucapkan sumpah serapah saat mendengar mobil Vino mulai melaju pergi.
"Astaga." Desah Gynta.
¤¤¤
Jam tujuh malam Gynta keluar kamar. Keadaannya masih sepi, sepertinya Vino memang akan pulang terlambat. Seiring langkahnya menuju dapur, dia berusaha untuk tidak memikirkan lelaki itu. Setidaknya, jauhkan semua pikiran tentang lelaki itu dalam kepala Gynta. Dia tidak ingin hilang nafsu makan untuk malam ini. Gynta hanya menyantap apel dan beberapa potong roti. Menurutnya, jika dia memasak sesuatu dan memakannya seorang diri itu tidak menyenangkan.
Saat Gynta berhasil memakan satu buah apel, dia mendengar ponselnya berdering. Dengan satu tangannya masih memegang satu lapis roti, dia berjalan menuju kamarnya untuk mengangkat telepon.
"Gynta." Sapa Maria diseberang sana.
"Maria, eh maksudku Mom." Jawab Gynta segera membenarkan panggilannya.
"Kau sedang apa?"
Gynta duduk ditepi ranjang. "Menikmati makan malam." Jawabnya dan menggigit roti ditangan satunya.
"Dengan Vino?"
Gynta terdiam sesaat. Apa yang harus dia jawab? Apakah mengatakan kalau Vino pergi setelah menuduhnya sebagai pencuri? Atau berbohong padanya kalau Vino saat ini sedang duduk manis didepannya dan ikut makan malam dengannya?
"Apa Vino sedang pergi?"
"Iya. Dia sedang ada urusan, Mom." Jawab Gynta setelah mendapatkan pertanyaan kedua kalinya.
Gynta mendengar Maria bergumam kesal pada putra semata wayangnya itu yang sekarang menyandang sebagai suami untuk Gynta. "Besok aku ingin berkunjung kerumah baru kalian. Sepertinya besok Vino libur kerja, bukan?"
"A-apa? Besok?"
"Iya. Kenapa Gynta?"
"Ah,,, tidak apa-apa. Iya, nanti aku akan katakan ini pada Vino."
"Aku tidak ingin mengganggu makam malammu, nanti aku akan menghubungimu lagi Gynta."
"Iya."
"Selamat malam."
"Selamat malam." Balas Gynta dan menurunkan tangannya setelah Maria memutuskan sambungan teleponnya.
"Bagaimana ini?" Gumam Gynta cemas. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Membicarakan masalah ini dengan Vino, lelaki itu sepertinya tidak setuju.
Gynta tertegun saat mendengar deru mobil memasuki halaman rumahnya. Mau tidak mau dia memang harus mengatakan hal ini pada Vino. Setidaknya, untuk besok saja Vino harus merubah dirinya sendiri menjadi Vino yang pernah berbuat baik pada Gynta.
Dengan ragu Gynta melangkah menuruni anak tangga dan melihat Vino sedang berdiri didepan meja makan. Lelaki itu menuangkan segelas air putih dan meminumnya. Sampai ditengah-tengah tangga, Gynta berbalik badan berniat mengurungkan niatnya. Satu langkah maju menaikki anak tangga, dirinya menghela napas pelan dan berbalik kembali menatap Vino. Sekarang lelaki itu sedang duduk menghadap arah dapur yang justru membelakangi Gynta. Gynta mengernyit memperhatikan Vino. Ada sesuatu yang sedang dipikirkan lelaki itu.
Sepertinya Vino yang sekarang bisa diajak berbicara. Sekali lagi Gynta menarik napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya menemui pria berkepribadian ganda itu. Gynta berjalan tanpa menimbulkan suara sehingga Vino tidak menyadarinya sampai wanita itu berdiri tepat dibelakangnya.
"Besok Maria akan berkunjung kemari." Ucap Gynta to the point tanpa menatap Vino. Dia masih merasa kesal dengan lelaki itu.
Setelah sadar Vino tidak mendengarkan ucapannya, Gynta melirik kearah lelaki itu. Lelaki itu masih diam. Apa dia sedang melamun? Batin Gynta. "Vi-Vino! Besok ibumu akan datang! Kau tidak mendengarkanku?!" Gynta sedikit menaikkan suaranya.
"Lalu?" Hanya satu kata itu saja yang diucapkan Vino dengan amat sangat datar seakan tidak merasa terganggu atau merasa ucapan Gynta sebuah masalah besar.
"Iya?" Gynta menaikkan alisnya dan menatap Vino, tak percaya mendengar pertanyaan Vino yang enteng itu.
"Lalu kenapa? Bukankah kau dekat dengan Mom ku? Kau pasti senang." Imbuh Vino acuh dan kembali menuangkan air putih itu kedalam gelasnya lalu meminumnya.
"Kau mabuk?" Pertanyaan retoris. Tentu saja Vino tidak sedang mabuk. Tapi, keapa dia terlihat biasa saja mengetahui ibunya akan datang?
"Sejak kapan air putih itu bisa membuat orang mabuk, hah? Bodoh sekali."
"Kau tidak tahu maksudku? Kenapa kau terlihat tenang-tenang saja? Bagaimana kalau ibumu tahu kalau pernikahan kita tidak nyata?"
Vino mendongak dan menatap Gynta yang berdiri didepannya menatapnya kesal. "Tidak nyata? Ah, kau benar. Aku lupa masalah itu." Jawab Vino dan tertawa pelan. "Sudahlah, jangan terlalu pusing memikirkan hal itu. Aku sudah menyiapkan semuanya."
"Maksudmu?" Gynta merasa bingung dengan ucapan Vino.
"Ah, kau ini!" Desah Vino dan beranjak lalu melenggang menaiki anak tangga sedangkan Gynta mengikutinya dari belakang.
Mereka berdua berhenti tepat di depan pintu kamar Vino. Bukan pintu kamar Vino yang dibuka, melainkan pintu yang letaknya tepat didepan pintu kamar Vino. Gynta terkejut saat dirinya dan Vino masuk kedalam kamar tersebut. Kamar itu persis seperti kamar pasangan suami istri. Ada perlengkapan pakaian laki-laki dan perempuan didalam lemari pakaian tersebut. Ada meja rias yang menempel didinding tepat didepan ranjang. Sopa sepertiga juga ada disana.
"Besok aku akan pergi, jadi kau bisa bersenang-senang dengan Momku." Ujar Vino.
Gynta tertegun mendengar ucapan Vino. Kemana lagi lelaki itu akan pergi? "Memangnya kau akan pergi kemana?"
"Ke suatu tempat." Jawab Vino. "Selagi aku pergi, kau jangan masuk kedalam kamarku lagi." Imbuhnya dengan nada sedikit mengancam.
Gynta mendesah kesal mendengar ancaman lelaki itu. "Memangnya, kau akan pergi dengan siapa? Teman wanitamu?"
"Iya. Lagipula tidak mungkin aku akan pergi denganmu. Aku tidak ingin mengeluarkan energiku berlebihan karena aku akan pergi jauh."
"Maksudmu?"
"Kenapa kau masih bertanya maksudku? Tentu pergi dengan Amy itu lebih baik jika aku harus tinggal denganmu disini bersama dengan ocehanmu itu."
Gynta terkekeh pelan. Ada apa dengan lelaki ini? "Bunglon."
"Apa?"
"Pikirkan sendiri. Benar. Lebih baik kau peegi saja. Kalau perlu kau tidak usah pulang." Jawab Gynta dan langsung keluar ruangan.
¤¤¤
Gynta menyiapkan semuanya sejak pagi tadi. Bahkan Vino sudah pergi saat matahari belum terbit. Tanpa pamit lebih dulu, lelaki itu pergi begitu saja menemui teman wanitanya. Maria bilang dia akan datang jam sembilan pagi. Selesai menyiapkan sarapan, dia berniat akan ke mini maeket untuk membeli sesuatu.
Vino masih melajukan mobilnya menuju ketempat tujuannya. Amy masih tertidur disampingnya. Dia akan membangunkan Amy setelah mereka sampai di Rotterdam. Membutuhkan waktu hampir empat jam untuk sampai di Rotterdam. Mungkin dia bisa melajukan mobilnya lebih cepat, tapi Vino tidak ingin terburu-buru. Dia tidak ingin terjadi sesuatu sebelum dia menemui seseorang yang menjadi tujuannya. Saat mendengar kabar dari Amy kemarin kalau orang tua angkat sahabat kecilnya itu sudah kembali ke Belanda beberapa minggu yang lalu meskipun sekarang mereka berdua tinggal di Rotterdam membuat Vino ingin menemuinya dan menanyakan kemana mereka memberikan Tata pada orang tua angkatnya yang baru.
"Amy." Panggil Vino pelan saat mereka sudah memasuki kota Rotterdam.
Perlahan Amy membuka matanya. Dia menegakkan tubuhnya dan menyender kembali di punggung jok mobil. "Kita sampai dimana?"
"Sudah di Rotterdam." Jawab Vino.
"Oh, sebentar." Amy mengambil ponselnya dan mengecek pesan singkat yang diterimanya dari seseorang. "Di daerah Roth Hollem." Amy membaca pesan singkat tentang alamat sepasang suami istri yang didapatnya.
Vino mengecek layar gps di mobilnya. Ternyata mereka harus menempuh perjalanan sekitar 13 km lagi untuk sampai di daerah tujuannya. Sepanjang jalan Vino hanya berharap agar orang tua angkat itu bersedia memberikan info keberadaan sahabatnya itu.
Vino memperlambat laju mobilnya setelah sampai di kota tujuannya. Dirinya dan Amy memperhatikan kanan kiri jalan untuk mencari rumah yang mirip dengan foto didalam ponsel wanita itu. Sepertinya Vino harus lebih bersabar. Tidak mudah mencari satu rumah dideretan ratusan rumah. Kalau saja orang itu memberikan alamat lengkapnya, mungkin Vino dan Amy tidak terlalu kesusahan seperti ini.
Mobil Vino sudah memasuki empat gang namun tidak menemukan rumah yang dicarinya. "Kau yakin, orang itu tidak bohong?" Tanya Vino.
"Ya Tuhan, Vin. Tidak mungkin dia bohong padaku." Jawab Amy. Sebenarnya dia juga sedikit meragukan informasi yang didapatnya dari teman kencannya yang seorang detektif.
Vino hanya menghela napas mendengar jawaban Amy. Dia hanya tidak ingin usahanya sia-sia saja saat mencari sahabatnya itu. Vino tertegun saat mendengar pekikan Amy.
"Vin, Stop stop stop!"
Apakah semua wanita akan berteriak histeris saat sedang dengannya? Padahal laju mobil Vino hanya 20km/jam, tapi kenapa Amy meminta menghentikan mibilnya dengan pekikan?
"Itu." Amy menunjuk ke sebuah rumah dengan halaman sedang. Rumah itu didominasi warna coklat kayu.
Vino menghentikan mobilnya dan langsung turun dari mobil diikuti Amy. Mereka berdua melenggang memasuki halaman rumah tersebut. Rumah itu terlihat sangat sepi. Vino mengetuk pintunya ragu. Tak lama seorang wanita berusia memasuki kepala enam itu nampak dari balik pintu. Kelopak matanya sedikit mengeriput. Dia tersenyum ramah pada Vino dan Amy.
"Selamat siang." Sapa Vino.
"Iya. Silakan masuk." Vino dan Amy memandang satu sama lain saat wanita itu mempersilakannya untuk masuk.
Mereka bertiga duduk diruang tamu. Wanita itu hanya diam memperhatikan tamunya.
"Apa anda Mrs. Paris?"
"Iya. Apa ada sesuatu sampai membuat kalian bertamu kemari?"
Vino membalas senyuman ramah wanita itu. Benar, sepertinya Vino memang sudah menemukannya. "Saya Alvino Masech, kami dari Amsterdam."
"Amsterdam?" Kening wanita itu berkerut.
"Iya, saya datang kemari ingin bertanya mengenai seorang bocah perempuan yang dulu pernah tinggal bersama anda di Amsterdam."
Wanita itu terlihat berpikir. "Bocah perempuan?"
Vino mengangguk. "Iya. Namanya Tata. Anda mengenalnya kan?"
"Tata?"
Vino mengangguk kedua kalinya.
"Ah iya, aku ingat. Maksudmu..." Kalimat wanita itu menggantung karena batuk. Nampaknya wanita itu sedang kurang sehat.