Aku Bertahan

1013 Kata
Langkahnya terhenti. Gadis itu memilih berbalik menuruni eskalator menuju pintu keluar. Tadinya ia sudah memutuskan untuk pergi ke ruang tunggu saja namun sisi keprimanusiaan-nya menghalangi. Akhirnya, menuntunnya pada laki-laki yang sudah menungguinya tak jauh dari pintu keluar. Sebenarnya laki-laki itu sudah was-was karena takut jika perempuan itu benar-benar tak kembali. Namun saat melihat sosok itu muncul, ia merasa harapan itu ada meskipun sedikit. Setidaknya gadis ini masih bisa menghargainya dengan kemunculannya. Ia tersenyum seraya menghembus nafas lega.  “Kamu udah makan?” “Udah.” Jawaban ketus itu dibalas Fadli dengan senyum. “Kalau begitu, temani aku makan ya.” Caca hanya mengangguk dan dengan enggan ia berjalan di samping laki-laki ini. Kedua-nya berjalan dalam diam. Fadli pun tampak tak berusaha membuka suara. Ia terhanyut dalam bahagia meski hanya sementara ini. Hingga keduanya sampai di KFC. Fadli memilih tempat itu karena mengingatkan pada masa kecilnya. Ia jadi ingat Fadlan dan Aisha. Haah kalau begini ia ingin pulang ke rumah namun malas jika harus bertemu Maminya. “Kamu gak mau pesan minum atau snack?” Caca menggeleng. Tangannya sibuk memainkan ponsel. Fadli hanya menatapnya dengan pasrah kemudian berjalan menuju area pemesanan makanan. Setelah memesan makanan, ia kembali duduk di depan gadis itu dengan bertopang dagu sambil tersenyum. Gadis ini memang sangat cantik. Namun bukan itu yang membuatnya tertarik. Karena tak ada alasan apa pun yang tepat untuk menggambarkan betapa menariknya gadis ini. Terlepas dari sikap jutek akutnya. Ah, Fadli hampir lupa. Gadis ini juga galak. Hahaha. “Setelah ini, kamu gak ada niat untuk kerja di Jakarta?” tanya Fadli. Caca menurunkan ponselnya hingga terbaring di atas meja. Ia hanya mengendikkan bahu dengan cuek. “Kalau kamu berminat kerja di sini, aku punya bebera—" “Gak perlu. Aku gak suka masuk kerja dengan cara seperti itu,” potong gadis itu dengan dingin. “Maksudku bukan begitu,” kilah Fadli. Ia takut gadis ini salah paham. Ia sangat tahu jika gadis ini sangat sensitif akan cara seperti itu. Namun ia hanya ingin membantu. “Aku tahu. Tapi tak perlu. Aku bisa usaha sendiri.” Detik berikutnya Fadli memilih diam. Ia tahu bagaimana perjuangan gadis ini. Gadis sederhana dari kota terpencil. Merantau ke tanah Jawa, memperdalam ilmu sambil mengadu nasib mencari uang. Gadis itu bahkan kuliah tanpa bantuan orangtua sedikit pun. Hingga dua tahun yang lalu mereka dipertemukan. Di depan Changi Airport. Fadli hanya tersenyum geli mengingat hal itu. Ia sangat tahu betapa gigihnya wanita itu saat bertanya pada petugas di sana untuk menanyakan alamat tempat tinggal. Meski dengan penguasaan bahasa Inggris yang agak payah untuk ukuran wanita cerdas seperti dia. Boleh saja ia cerdas dalam segala hal namun dalam bahasa, gadis itu memilih menyerah. Karena ia memang agak payah dalam hal itu. Tapi kini keahlian Inggrisnya banyak meningkat. “Apa kamu gak bisa kerja di sini? Ku rasa peluang untuk lulusan seperti kamu sangat besar di sini, Ca.” Gadis itu terdiam. Sorot matanya menyatakan bahwa ia sedang berpikir. Sementara Fadli berusaha mempengaruhinya. Tentu saja hal itu akan ia lakukan. Mana tahan ia berpisah jauh dengan gadis ini. Bahkan selama gadis itu tinggal di Singapura pun, hampir setiap minggu Fadli selalu mendatanginya. Walau harus pulang dengan kecewa karena gadis itu tak sekali pun memerdulikannya. Gadis itu menggeleng. Sebenarnya ia juga ingin bekerja di Jawa dibanding pulang ke kampungnya. Kalau saja itu bukan permintaan ibunya. Fadli menatap nanar punggung gadis yang kian menjauh itu. Dalam hati ia berdoa agar gadis ini kembali dan memilih hidup dengannya. Namun pemikiran itu salah karena gadis itu memilih masuk dan mengabaikannya. Lagi. Ia sakit untuk yang ke sekian kalinya. Namun perih dari sakit itu seakan sudah kebal menghajarnya. Hingga ia hanya tersenyum tipis lalu mengeluarkan ponselnya. Hati-hati di jalan. :-) Kemudian berjalan menuju taksi kosong yang sedang membutuhkan penumpang. Tatapannya kembali pada ponsel yang dipegangnya. Belum ada balasan. Ia menghela nafas. Sampai kapan ia bisa bertahan? Terkadang ia berpikir untuk menyerah. Namun magnet gadis itu terlalu kuat. Hingga menariknya kembali. Ia hanya bisa menunggu kapan gadis itu menerimanya. Apa tak cukup waktu dua tahun yang telah ia curahkan pada gadis itu? Sekali lagi. Ia menghela nafas. Mengabaikan rasa perih pada luka yang untuk sekian kalinya menganga. Hingga luka itu semakin lebar. Ia menyandarkan punggungnya, mencoba meng-hapus segala rasa perih luka itu. Mencoba bertahan untuk ke sekian kalinya. Hingga alunan lagu terdengar di seantero taksi yang ditumpanginya. Aku bertahan karna ku yakin cintaku kepadamu.. Sesering kau coba tuk mematikan hatiku.. Takkan terjadi karna ku tahu kau hanya untukku.. Aku bertahan ku akan tetap pada pendirianku.. Sekeras kau coba tuk membunuh cintaku.. Dan aku tahu kau hanya untukku Aku Bertahan (Rio Febrian) Rasanya ia ingin berteriak saat itu juga. Betapa dahsyatnya lirik itu menyenggol hatinya. Ya Tuhaaaan.... Ia membuang nafas sambil mengacak rambutnya dengan frustasi. Tak ia perdulikan pada tatapan aneh milik supir taksi di depannya. Getaran ponsel ditangannya menyadarkannya. Dengan ragu ia membuka kunci pada layar ponsel itu. Senyumnya terkembang saat melihat apa yang baru saja ia terima. Iya. Kamu juga. Walau hanya dengan tiga kata. Namun cukuplah bagi lelaki itu untuk tetap bertahan meski tak tahu sampai kapan. Aku rela bertahan jika itu karenamu. Kebimbangan itu sering melandanya. Ingin melangkah maju namun batal lagi untuk ke sekian kalinya. Cermin masa lalu itu memang selalu mengajarkannya untuk maju ke depan. Namun terkadang ketakutan itu menjalar melebihi batas kemampuannya. Takut-takut ia membalas pesan dari Fadli. Ah... kalau saja ia yang menjadi lelaki itu mungkin sudah ditinggalkannya perempuan sepertinya. Keras kepala padahal di dalamnya ia rapuh sekali. Rapuh karena nyatanya ia tak bisa menerima lelaki itu namun enggan pula menolaknya. Egois? Katakanlah begitu. Karena nyatanya egois telah menjadi sifat alami manusia. Setelah membalas pesan dari Fadli, berikutnya ia mulai mengecek akun-akun di sosial media yang ia punya. Namun tak ada satu pun pemberitahuan di sana saking seringnya ia membuka akun itu. Detik berikutnya ia menyandarkan punggung di kursi seraya menunggu waktu boarding. Getar ponsel mengagetkannya. Jarinya bergerak membuka ponsel dan termangu saat membaca apa yang baru saja diterimanya. Aku tak tahu bagaimana perasaanmu padaku. Tapi tanpa ku beritahu pun, kau tahu bagaimana perasaanku. Dua tahun, Ca. Dan rasa itu tak pernah berubah sedikit pun. Aku gak akan memaksamu untuk menjawab dengan cepat. Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku selalu menantimu. Cepat-cepat ia tutup ponselnya dan memasukkannya dengan kasar ke dalam tas kecil. Ia mendongakkan wajahnya—menatap langit-langit ruang tunggu bandara. Dulu pun begitu. Laki-laki yang ia cintai juga seperti itu. Namun kenyataannya, ia tetap ditinggalkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN