Bab 20

1359 Kata
Boston, Massachusetts November, 2006 La Toya terbangun dalam keadaan pening. Seisi perutnya terasa dikocok dan ia ingin muntah saat itu juga. Begitu La Toya membuka kedua mata dengan lebar dan melihat ke sekelilingnya, ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan – lebih mirip kamar seorang feminin. Di bagian sudut ruangan terdapat sebuah bangku dan meja rias yang tampak tua dan hampir lapuk. Di sudut lainnya ada sebuah lemari kayu berukuran besar. Tidak ada jendela ataupun ventilasi di ruangan itu, jadi udaranya terasa panas dan sesak. Dindingnya yang dicat dengan warna merah pekat menambah gelap suasana. Ruangan itu hanya diterangi oleh lampu tidur berwarna keemasan yang diletakkan di dekat meja rias. Ranjang yang ditempatinya terasa empuk. Ranjang itu juga dilapisi oleh beledu berwarna putih yang hampir kusam. Dan sesuatu yang terasa mengganggu indra penciumannya adalah aroma di dalam ruangan itu yang berbau antara paduan lili dan anyelir. La Toya tidak bisa menahan dirinya untuk tidak muntah saat itu juga. Ia bangkit duduk dari atas ranjang kemudian muntah di bawah kakinya. Seolah penyiksaan itu belum cukup, kepalanya terasa semakin pening. Ia berusaha mengingat kembali kejadian terakhir yang dialaminya sebelum ia sampai di tempat itu. Saat itu La Toya ingat kalau ia sedang dalam perjalanan pulang. La Toya memiliki janji temu dengan Dante di kediamannya. Mereka akan menghabiskan malam dengan berbagi cerita dan menonton siaran televisi favorit mereka. Kemudian, begitu sampai di rumah, La Toya kehilangan kuncinya. Ia mencari-cari kunci itu di dalam Jaguar-nya. Begitu menemukannya, La Toya berbalik dan mendapati seseorang menyekapkan sesuatu ke hidung dan mulutnya. Aroma itu tajam dan hal terkahir yang bisa diingat La Toya adalah fakta bahwa seseorang telah menculiknya. Oh Tuhan! La Toya merasakan serangan panik seketika. Matanya mencari-cari ke sekitar. Ia berusaha menemukan jalan keluar di sana, tapi hanya ada sebuah pintu yang tertutup rapat di sudut ruangan. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya, La Toya berjalan ke arah pintu itu dengan sempoyongan. Ia memutar kenopnya, berpikir kalau pintu itu tidak terkunci. Hasilnya nihil. Pintu dikunci dan dalam setiap detiknya ia menjadi semakin kalut. La Toya berteriak meminta tolong. Tidak ada orang yang menjawab. Di mana ia sekarang? Sudah pukul berapa sekarang? Apa Dante sedang mencarinya? Siapa orang yang tega melakukan hal itu padanya – menculiknya? Apa kesalahannya? La Toya berjalan mondar-mandir dengan gelisah di dalam ruangan itu. Ia berusaha keras memikirkan jalan keluar. Ketika tidak juga menemukannya, La Toya putus asa dengan menjalankan apa yang pertama terbesit dalam benaknya. Ia menggunakan kursi kayu di meja rias untuk menghancurkan engsel pintu. Bunyi dentingan yang keras memenuhi seisi ruangan. Dalam usaha pertama, ia gagal. Pintu itu seolah dirancang khusus untuk para tahanan. La Toya mencobanya untuk kali kedua. Ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghancurkan pintu. Hasilnya tidak begitu baik, kursinya terlempar dan La Toya terhuyung jatuh ke belakang. La Toya menangis tersedu-sedu. Ia merasakan ada sesuatu yang berubah dari dirinya. Mengangkat tangannya, La Toya mengusap wajah dan melihat bekas memerah di telapak tangannya. Bergerak dengan cepat ke arah meja rias, La Toya berteriak histeris melihat penampilannya. Seseorang telah menghias wajahnya dengan make-up tebal. Eyeliner yang dipakaikan di atas matanya kini luntur terkena air mata. Bekas menghitam itu turun sampai ke wajahnya. Bibirnya mengenakan lipstik berwarna merah terang yang menjijikan. Sedangkan sapuan blash on di wajahnya membuat tampilan La Toya jauh dari biasanya. Hal yang paling mengerikan adalah gaun ketat setinggi lutut yang menonjolkan setiap bagian tubuhnya. Penampilan itu bukan membuatnya terlihat cantik, justru tampak seperti p*****r di abad ke sembilan belas. La Toya menghapus sisa make up di wajahnya dengan punggung tangan. Nyalinya menciut begitu mendengar suara pintu yang digeser terbuka. Seluruh perhatian La Toya kini tertuju ke arah pintu itu. Berusaha meredam ketakutannya, ia meremas kedua tangannya dan bergerak menjauh ke arah sudut. Begitu pintu di buka, cahaya dari lampu tidur menyinari wajah seorang pria di ujung pintu. Pria itu mengenakan sebuah mantel tebal dengan butiran salju yang jatuh di atasnya dan sebuah jins juga sepatu hitam berukuran besar. Wajahnya sedikit merah karena kedinginan. Satu tangannya menenteng sebuah bungkusan plastik sementara satu yang lain menggenggam kunci pintu. Hal yang paling mengerikan adalah ketika pria itu menyeringai lebar ke arah La Toya. Pria itu kemudian membuka penutup kepala mantelnya dan memperlihatkan sosoknya yang mengerikan. Sepasang bola mata hitamnya yang dingin dan dalam. Pria itu mengenakan sebuah kupluk hitam yang menutupi rambut gelapnya. Garis rahangnya tinggi dan tegas. Tubuhnya yang besar telah mendominasi seisi ruangan. Kakinya yang panjang dan besar menimbulkan suara berdebum di lantai kayu ketika ia berjalan masuk dan menutup pintu di belakangnya. La Toya bergetar ketakutan saat pria itu bergerak ke arahnya. Pria itu masih tersenyum memandanginya. La Toya merasa ditelanjangi. Pakaian ketat itu membuatnya tidak nyaman. Oh Tuhan, apa ia telah berurusan dengan seorang pemerkosa? Apa pria itu menculik untuk memperkosanya? "Apa yang kau lakukan dengan dirimu?" tanya pria itu. Anehnya, suaranya terdengar penuh kelembutan. "Kenapa kau selalu terbangun dengan wajah berantakan?" La Toya bergeming. "Tapi tidak masalah, kau tetap cantik." Setiap kali pria itu mengambil satu langkah lebih dekat, di saat yang bersamaan La Toya mengambil satu langkah mundur. “Apa yang kau lakukan padaku?” tanya La Toya dengan suara bergetar. “Siapa kau?” Pria itu bergeming memandanginya. Dan ketika La Toya berpikir pria itu akan menyerangnya, ia justru menjulurkan tangan sambil mengatakan, “aku Ted.” La Toya bergetar memandangi tangan pria itu. Pria itu masih menunggunya menyambut genggaman tangan yang besar, namun ketika La Toya tidak juga melakukannya, pria itu menurunkan tangan kembali ke sisi tubuhnya. “Sejujurnya aku bosan kau selalu menyanyakan pertanyaan yang sama dan kita mengulanginya lagi dan lagi. Kau selalu berpura-pura tidak mengenalku dan.. astaga, aku tetap menyukaimu. Jadi, tidak masalah jika aku harus mengulangnya lagi dan lagi. Jika itu maumu, maka aku akan mengawali ini lagi. Hai, aku Ted!” Darah di sekujur tubuh La Toya mengalir deras sampai ke kepalanya. Bulu romanya meremang saat ia mendengarkan laki-laki itu bicara. Namun, sejauh yang didengarnya, ia tidak bisa memahami satu kalimatpun. Apa yang dimaksudkan pria itu kalau mereka telah melakukan hal yang sama berulang-ulang. Apa pria itu berpikir kalau La Toya adalah orang lain? Apa pria itu sudah gila? “Apa maumu?” Pria itu menundukkan kepalanya kemudian menggeleng perlahan. “Aku tidak tahu. Kita hanya terus bersenang-senang.” “Aku tidak mengerti yang kau katakan, Ted.” “Kau paham Holly. Kau selalu paham. Kita akan bersenang-senang, kemudian aku akan menjadikanmu milikku selamanya. Itulah yang akan kita lakukan.” Holly? Pria itu memanggilnya Holly? Siapa Holly? “Aku bukan Holly.” Pria itu tertawa rendah. “Kita tidak sedang bermain teka-teki.” “Apa maksudmu?” La Toya mengeraskan suaranya. Setiap detik, semakin ia frustrasi, semakin kuat perlawanannya pada pria itu. “Aku bukan Holly! Demi Tuhan! Keluarkan aku dari sini! Aku akan menghubungi polisi, mereka akan menangkapmu, sialan! Keluarkan aku dari sini!” “Diam! Diam!!” seruan pria itu berhasil membuat La Toya bergeming ketakutan. Pria itu mendekat dan La Toya belum sempat menghindar ketika pria itu menjatuhkan bungkusan yang digenggamnya kemudian mencengram kedua lengan La Toya dan mengguncangkan tubuhnya dengan kuat. “Tidak! Jangan sentuh aku!” protes La Toya, tapi kekuatannya saja tidak mampu menyandingi kekuatan seorang pria yang ukurannya dua kali lebih besar dari La Toya. Ketika pria itu menariknya untuk kembali ke atas ranjang, La Toya menggigit tangan pria itu. Usahanya membuat pria itu menarik kembali tangannya secara impulsif dan begitu ada peluang, La Toya berlari ke luar ruangan. Dengan kaki telanjang, La Toya berlari menyusuri lantai kayu. Ia melirik ke belakang dan mendapati pria itu mengejarnya dengan cepat. Tidak ada waktu, bergerak atau kau akan mati sekarang. Satu tangannya menggenggam susuran kayu ketika ia menuruni tangga untuk sampai di lantai bawah. Ia menyapukan pandangannya ke sekitar. Bagunan apa itu? Kenapa tidak ada cahaya lampu? Terlalu banyak ruangan. Di mana pintu keluarnya? La Toya baru berniat untuk mengambil langkah menuju sebuah lorong sebelum pria itu menangkapnya. Ia terpekik kaget saat lengan besar itu melingkari perutnya. Kakinya menendang-nendang dengan penuh perlawanan dan ketika ia bebas, tubuhnya terasa limbung. La Toya masih bergerak dan sebelum ia sempat mencegahnya, pria itu menyerang dari belakang. Ia membenturkan kepala La Toya pada dinding hingga kesadaran La Toya perlahan di tarik menjauh dari tubuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN