Bab 33

1342 Kata
Pertanyaan Dale membawa Maggie kembali pada kesadaran. Ada kesedihan yang tampak jelas dalam sepasang bola mata berwarna violet itu. Kesedihan yang hanya tergambarkan oleh orang-orang yang mimpinya direnggut dari dirinya sendiri. "Hal yang mengerikan terjadi," sahut Maggie, suaranya masih terdengar tenang, namun Dale menangkap sekilas bibirnya yang bergetar akibat kesedihan yang dirasakannya. "Nenekku meninggal karena usianya dan dua tahun setelahnya ibuku juga meninggal karena sakit. Sebagai anak pertama dalam keluarga Russell, ayahku menyerahkan semua bisnisnya untuk kutangani. Dia menyekolahkanku dan membimbingku sejak usiaku tujuh belas tahun hingga hari kematiannya. Satu-satunya hal yang kulakukan hanyalah menuruti semua yang dia inginkan, menjalani bisnis ini dan mengembangkannya. Kate berbeda. Dia tidak melakukan semua itu. Dia suka bersenang-senang dan dalam sekejap, kami menjadi begitu jauh. Aku tidak mengenalnya seperti Kate yang dulu lagi. Dia mungkin memiliki anggapan yang sama denganku, jika tidak, dia tidak akan berusaha menjauhiku." "Apa itu juga yang menjadi salah satu penyebab kau tidak pernah hadir dalam foto bersama Kate?" Maggie mengangkat kedua alisnya sebelum Dale menunjukkan semua bingkai foto itu ke arah Maggie. "Di mana kau saat Kate bersenang-senang? Apa kau tidak pernah menghabiskan waktu sedikit saja bersama adikmu?" Sekarang kedua mata Maggie tampak berair. Dale tahu betapa keras usaha Maggie untuk menahan tangisannya. Keinginan untuk mendekap wanita itu dan memberinya kekuatan begitu besar hingga nyaris tak tertahankan. Namun, alih-alih melakukannya, Dale membatu di tempat dan hanya diam memandangi Maggie. Ada sesuatu yang berbeda tentang Maggie yang baru dilihatnya saat ini. Karakter Maggie sangat jauh dari penggambaran seorang kakak yang begitu menyayangi adiknya. Tapi tindakan Maggie dan rasa frustrasi yang dialaminya sejak menghilangnya Kate telah menunjukkan sisi dalam diri Maggie yang lain. Sisi yang mungkin disembunyikan wanita itu dari dunia. "Di kantor," jawab Maggie. Wajahnya menunduk dan bibirnya bergetar. "Di ruang kerjaku. Kate bilang aku terlalu bersenang-senang dengan duniaku hingga aku lupa siapa diriku. Aku selalu membencinya saat dia mengatakan hal itu. Tapi, ketika dia menghilang, aku tahu kalau dia benar. Ini kesalahanku. Kalau saja aku lebih memperhatikannya.." "Kau menanggung beban yang lebih berat dari yang bisa kau tanggung. Bisnis ini, seluruh warisan Russell, juga tanggungjawab sebagai seorang kakak sekaligus orang tua untuk Kate. Kau manusia biasa, kau tidak bisa sekaligus menanggung semua itu." Maggie tersenyum sedih ke arah Dale. Kedua matanya tampak sayup. "Itu adalah kata-kata paling baik yang pernah aku dengar dari mulutmu, detektif." Kata-kata berikutnya membuat wajah Maggie bertekuk. "Walaupun aku tidak sepenuhnya berterus terang saat mengatakan kalau kau cukup hebat untuk menanggung semua itu." "Hanya karena kau tidak biasa memuji seseorang, kau tidak bisa bertindak semaumu tanpa memikirkan perasaan orang lain." Dale mengangkat kedua alisnya dengan jahil. "Oh? Kupikir kau wanita tanpa kompromi yang tidak memedulikan perasaan." "Dan kau adalah pria paling egois di muka bumi!" Dale tertawa cukup keras sehingga membuat Maggie membatu di tempat. Kalau saja laki-laki itu tidak terlihat begitu maskulin, Maggie pasti sudah memprotesnya. "Kau adalah orang ketiga setelah kakakku yang mengatakan hal itu." "Aku perasaan siapa yang pertama?" "Itu tidak penting." "Itu penting." "Jika itu berarti akan memberimu bahan untuk mengejekku, Maggie.." "Panggil aku Miss Russell!" potong Maggie dengan cepat. "Kenapa aku tidak boleh memanggilmu Maggie?" "Aku tidak suka kau memanggilku Maggie." "Apa panggilan itu terlalu akrab untukmu?" "Tidak!" "Lalu apa salahnya aku memanggilmu Maggie?" Wajah Maggie memerah karena malu. "Diam, detektif!" "Panggil aku Dale!" Maggie tersenyum dan Dale tertawa keras. "Kau menikmatinya, kan?" "Ya," ledek Dale. "Ini tidak lucu!" Ketika Maggie memelototkan mata ke arah pria itu, Dale langsung menghentikan tawanya. "Maafkan aku," kata Dale, ia berdeham. Berusaha mengabaikan situasi tidak menyenangkan itu, Maggie bergerak menjauh ke ambang pintu. "Apa kau kelaparan? Aku hanya punya kentang goreng yang tersisa. Pondok ini letaknya sangat jauh dari kota, kalau aku memesan makanan dari luar, itu akan membuang waktu berjam-jam." "Kalau begitu kita makan kentang." Maggie berbalik memunggungi Dale dan baru berjalan beberapa langkah meninggalkan pria itu ketika Dale menghentikannya dengan pertanyaan ringan. "Apa kau bisa memasak Maggie Russell?" Maggie mendengar hal itu sebagai hinaan Dale yang lain. Menggertakkan giginya dengan kesal, Maggie menanggapi Dale tanpa berbalik ke arahnya. "Aku pernah bercita-cita menjadi koki saat aku masih kecil." Ia kemudian berjalan meninggalkan Dale tanpa menunggu responsnya. Tapi dari belakang, Maggie masih bisa merasakan pria itu tersenyum atas tanggapannya barusan. Membayangkan bagaimana Dale tersenyum membuat wajah Maggie terasa hangat. Sialan Dale! *** Monroe mendatangi pondok itu setiap sabtu malam. Ia melakukannya secara rutin. Tapi saat ini bahkan masih Kamis malam, terlalu awal untuk memanjatkan doa. Tapi Monroe tidak peduli. Ia sudah berjanji akan datang kapanpun diperlukan. Sore tadi Janice menghubunginya. Wanita itu meminta Monroe untuk bermalam dengannya selepas Janice pulang bekerja, tapi Monroe terpaksa harus menolak tawaran itu karena ia sudah sangat merindukan Hillary. Akibatnya, ia berkendara dengan tergesa-gesa pada sore pukul lima untuk sampai di pondok tua yang tak berpenghuni. Monroe menghentikan Mercedez hitamnya begitu ia memasuki pagar besi dan dinding setinggi dua meter yang menutupi pondok itu. Ia mematikan mesin mobilnya dan membiarkan lampunya tetap menyala. Lampu dari mobil itu menyorot ke sebuah bangunan kayu tua yang hampir reyot dimakan usia. Dindingnya mengalami kerusakan parah, jendelanya pecah dan halaman pondok itu dipenuhi oleh sisa salju yang belum mencair. Segala sesuatu masih terletak di tempatnya seperti tangga kayu di halaman depan, timbunan kayu bakar yang bersandar pada salah satu sudut bangunan, sebuah ember, kail, peralatan berkebun juga sepasang bot yang tampak kotor ditutupi oleh tanah. Sementara dedaunan kering yang seingatnya telah ia sapu menjadi satu timbunan, kini berserakan kembali di halaman depan. Monroe menatap bangunan itu dalam beberapa detik. Pikirannya terbagi untuk hal-hal yang menghantuinya selama ini. Kejadian itu sudah sepuluh tahun berlalu, tapi rasanya ia baru mengalaminya kemarin. Kematian Holly adalah pertanyaan untuk khalayak orang, tapi kematian Hillary adalah hal lain untuk Monroe. Menyadari bahwa wanita itu tidak akan kembali lagi padanya adalah kenyataan terpahit. Monroe selalu mengingat kenangan indah saat mereka masih bersama. Masa-masa ketika ia mengenal Hillary sebagai gadis polos yang tak berdosa. Tapi setelah bertahun-tahun, Monroe mendapati wanita itu tidak lagi sama. Hillary-nya tidak lagi sama. Ia adalah p*****r! Dan Monroe membenci Hillary karena itu. Tapi jika dipikirkan kembali, wanita itu tidak sepenuhnya bersalah. Hillary bersedia menjual dirinya karena keterbatasan ekonomi mereka. Kalau saja Monroe tidak memutuskan hubungan dengan orangtuanya saat itu, hidupnya tidak akan melarat dan Hillary tidak perlu memikirkan hal-hal seperti kebutuhan pangan mereka. Semua akan baik-baik saja. Tapi tentu saja, semua itu juga salah Hillary. Bukan Monroe yang meminta semua itu. Hillary memutuskan hidupnya sendiri, tanpa mempertimbangkan keputusan Monroe. Wanita itu membunuh darah daging Monroe dalam rahimnya dan secara menjijikan, berselingkuh dengan laki-laki lain. Hillary-nya yang bodoh! Monroe memukul setir dengan kepalan tangannya. Membiarkan rasa sakit itu mengalihkan perhatiannya dari wanita yang terus membayang-bayangi hidupnya. Ketika rasa sakit itu semakin tak tertahankan, Monroe menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan. Tangannya tergerak untuk meraih sebuket lilac yang diletakkannya di bagian kursi penumpang. Ia menghirup aroma segar dari bunga itu dan ketika merasa cukup siap, Monroe bergerak membuka pintu mobil. Kakinya melangkah turun dan ia berjalan masuk untuk sampai di bagian belakang pondok itu. Monroe memastikan semua pintu tertutup rapat. Ia tidak ingin ada seseorang yang melihatnya. Untuk memastikan hal itu, Monroe mengintip dari balik tirai keemasan yang menutupi salah satu jendela. Suasana di luar masih tampak hening dan terkendali. Setelah semuanya aman, kakinya melangkah menyusuri lorong dan memasuki sebuah ruangan yang panjang dengan sebuah pintu kayu yang terkunci di sudut paling kiri. Tangannya merogoh ke dalam laci tempat ia menyimpan kunci untuk membuka pintu menuju ruang bawah tanah. Monroe menggunakan kunci yang sama untuk membuka pintu kemudian menekan tombol lampu di salah satu sisi dinding. Cahaya keemasan dari lampu yang mulai redup itu menerangi tangga kayu berdebu dan ruangan yang dipenuhi oleh sarang laba-laba. Suara bedebum yang keras terdengar setiap kali Monroe memijakkan kakinya di atas lantai kayu. Satu tangannya bertengger di atas susuran tangga, sementara sebuket bunga lilac berayun di tangannya yang lain. Begitu Monroe mencapai anak tangga, ia membuka sebuah peti kayu yang sudah tersimpan selama sepuluh tahun di dalam sana. Saat Monroe mengerahkan tangannya untuk membuka peti itu, semua kengerian yang dirasakannya seakan bergabung menjadi satu dan memunculkan sesuatu yang sangat ia takuti di masa lalunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN