Bab 3

1439 Kata
Boston, Massachusetts Desember, 2006 Kediaman seorang pendeta bernama Jake Olin telah dipenuhi oleh kerumunan massa yang berusaha mengambil gambar pasca ditemukannya sebuah peti mati yang diletakkan seseorang di tanah kosong seluas dua puluh meter yang terletak di sekitar rumah sang pendeta. Saat fajar, sang pendeta mengaku bangun dan berniat untuk menyiram tanaman di kebunnya sebelum ia melihat sebuah peti mati tergeletak di sana. Ia tidak mengingat pernah meletakkan sebuah peti mati di sana. Dan di dorong oleh rasa penasaran, sang pendeta membuka peti itu kemudian ia dikejutkan oleh sosok mayat yang tergeletak di dalamnya. Hal pertama yang dilakukannya adalah mencari seseorang untuk meminta bantuan. Saat itu langit masih gelap dan kebanyakan dari para tetangganya baru bangun saat matahari terbit di atas kepala. Tidak ada seseorang yang berkeliaran. Dengan tubuh bergetar, Jake Olin akhirnya memutuskan untuk menghubungi polisi. Rumahnya langsung dipenuhi oleh mobil aparat dan ambulans juga awak media yang mengambil liputan khusus di sekitar sana. Jake Olin masih duduk tenang di rumahnya bahkan ketika keributan di luar pecah akibat berita itu tersebar di seluruh kompleks. Orang-orang berusaha menerobos masuk untuk menyaksikan secara langsung mayat di dalam peti yang ditemukan di rumah sang pendeta, tapi pihak kepolisian telah memblokade lahan kosong itu sebagai TKP. Tiga orang polisi ditugaskan untuk memundurkan awak media dan sejauh ini, segalanya masih terkendali. Jake Olin duduk berjam-jam di ruang depan rumahnya yang segera dipenuhi oleh lebih dari tiga orang polisi di sana. Gerard O'Neill sebagai sheriff ikut hadir untuk mendengar kesaksian Jake. Peter Jennings ditemani oleh rekannya Jesse Owens sebagai pemimpin penyelidikan duduk berhadap-hadapan dengan Jake. Salah seorang dari mereka terus mencatat semua kesaksian yang diberikan Jake. Sementara itu, Carl Sagan yang saat itu bertugas sebagai kepala keamanan di kompleks-nya, berdiri di sudut ruangan sembari menatap ke luar jendela untuk mengawasi keadaan. "Jadi, kau bangun pukul lima lalu kau keluar untuk menyiram tanaman dan kau menemukan peti itu tergeletak di lahan kosong." Peter mengulangi apa yang dikatakan Jake sebelumnya dan Jake membenarkannya dengan cepat. Pria berusia akhir lima puluhan itu tampak lemas setelah menghadapi menghadapi kekacauan yang terjadi di sekitarnya. "Ya," sahut Jake. "Kapan terakhir kali kau mendatangi lahan kosong itu?" "Malam sebelum aku tidur." "Pukul berapa?" Jake tertegun cukup lama saat ia berusaha mengulang kembali ingatannya. "Sekitar pukul sebelas." "Apa kau melihat orang yang berkeliaran di sekitar rumahmu pada pukul sebelas?" "Aku melihat Julia Green." "Siapa Julia Green?" "Dia seorang tetangga yang menempati bangunan di depan rumahku. Usianya sudah tujuh puluh tahun dan dia mengalami masalah kejiwaan. Dia sering berkeliaran di halaman rumahnya pada malam hari." Peter mengangguk kemudian mencatat informasi itu dengan cepat. Rekannya Jesse kemudian melanjutkan. "Ada orang lain selain Julia Green yang kau lihat malam itu?" Sang pendeta terdiam lagi untuk mengingat kemudian ia menyuarakan isi pikirannya. "Aku tidak yakin. Tapi aku melihat sebuah Toyota hitam terparkir di dekat lahan kosong itu." "Sebuah Toyota hitam?" Jesse mengulangi. "Ya." "Sejak pukul berapa?" "Aku melihatnya pada pukul sepuluh. Mobil itu terparkir di sana cukup lama." "Apa kau melihat seseorang yang mengendarainya?" "Tidak. Saat itu gelap. Mesinnya juga tidak dinyalakan." "Bagaimana kau mengenali jenis mobilnya?" "Sejenis Toyota Great Corolla." "Sebuah mobil keluaran tahun 90-an?" Jake Olin mengangguk. "Apa kau mengingat pelat nomornya?" "Tidak." "Apa lagi yang kau ingat?" "Yang ku tahu peti itu sudah ada di sana." "Apa kau menyentuh sesuatu di dalam peti?" "Tidak. Aku hanya membukanya. Setelah itu aku mencari seseorang yang bisa membantu. Tapi tidak ada siapapun, kemudian aku menghubungi polisi." Proses interogasi itu baru berakhir beberapa menit setelahnya. Peter meninggalkan rekannya untuk menggeledah seluruh bangunan tempat tinggal sang pendeta sementara ia bergabung dengan ahli medis di TKP. George Hale yang saat itu bertugas sebagai ahli medis tampak sibuk dengan catatannya. Laki-laki itu menggunakan peralatan medisnya yang disimpan dalam sebuah kotak untuk memeriksa jasad wanita di dalam peti. Kehadiran Peter kemudian telah mengalihkan perhatiannya. George mengangkat wajahnya dari jasad korban, mengangguk ke arah Peter kemudian bergeser untuk memberi detektif itu ruang. "Seburuk apa kondisinya?" Peter berdiri di samping peti mayat itu, mengelilinginya sembari memerhatikan jasad korban. Jasad wanita di dalam peti itu tampak pucat. Meskipun begitu sekujur tubuhnya bersih tanpa kotoran. Seseorang yang meletakkan jasad tersebut seolah telah merancangnya. Wanita itu mengenakan sebuah gaun pengantin berwarna putih dengan hiasan renda di lehernya. Rambut pirangnya yang ikal menggelombang, tergerai menyamping di samping lengan. Wanita itu juga mengenakan sebuah cincin perak di jari manisnya. Peter memerhatikan cincin itu lebih detail hingga ia menemukan sebuah inisal dengan tulisan 1994 J & R, tertera di permukaan logam cincin. Peter mengambil gambar cincin itu dengan cepat kmudian memusatkan kembali perhatiannya pada keseluruhan tubuh korban. Jasad itu telah diposisikan dalam keadaan yang anggun: mencerminkan sosok pengantin yang menemukan kedamaian. Kedua tangannya di letakkan di atas perut dan tepat di pertemuan tangannya, seseorang telah meletakkan rangkaian bunga lili putih yang masih tampak segar. Dengan kedua mata yang tertutup rapat, wanita itu seolah mencerminkan sosok yang baru saja menemukan kedamaiannya. Peter mengenakan sarung tangannya dan berhati-hati ketika meneliti tubuh bagian atas korban. Ia berusaha menemukan bekas luka, tapi tubuhnya benar-benar bersih. Sebelum ia menyimpulkan cara kematian wanita itu dengan cepat, Peter memberi George kesempatan untuk menjelaskan kondisi mayat. "Wanita ini mati karena kehabisan nafas." Peter memerhatikan bagian leher jasad itu lebih detail. "Tidak ada bekas cekikan tangan seseorang di sini." "Tidak. Bukan dengan itu. Saluran pernafasannya tersumbat. Ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama adalah racun dalam tabung oksigen yang mematikan, dan kemungkinan kedua, ia kekurangan udara." "Maksudmu seseorang membekap mulutnya?" "Kemungkinan itu bisa menjadi pertimbangan." "Bagaimana dengan organ dalam tubuhnya? Yang kulihat mayat ini tidak memiliki luka fisik, setidaknya yang tampak. Apa ada luka dalam semacam memar.. atau infeksi?" "Tidak. Kematiannya murni karena kehabisan nafas." "Berapa lama waktu selang kematiannya?" "Bukti fisiknya mengatakan kalau wanita ini baru saja mati. Luka ringan di telapak kakinya juga belum membiru. Selain itu darahnya masih segar." "Berapa lama waktu yang dibutuhkan tim medis untuk mendeteksi penyakit dalam yang mungkin dialaminya?" "Mungkin itu akan memakan waktu sekitar satu sampai dua hari. Aku bisa menjamin hasilnya akan keluar sebelum proses autopsi selesai." Peter mengangguk. Ia menunggu ketika George mengeluarkan secarik kertas yang telah dibungkus dengan plastik bening kecil. George langsung menyerahkannya pada Peter. "Mungkin kau ingin melihat ini. Kertas itu diletakkan di salah satu tangan korban ketika aku memeriksanya." Peter menerima kertas itu, membuka dan membaca isinya dengan cepat. Dalam catatan itu tertulis: BERISTIRAHAT DALAM TENANG J.D. HOLLY "J.D. Holly," ulang Peter. "Mungkinkah wanita ini bernama J.D. Holly?" George menggelengkan kepalanya. "Mungkin ya, mungkin tidak. Segera setelah kau selesai, kami akan membawa mayat ini untuk diidentifikasi." Gerard O'Neill saat itu hadir lima belas menit setelah Peter. Sang sheriff langsung mengambil tempatnya di seberang Peter sembari memandangi jasad di dalam peti. Pria berusia lima puluh tahun itu mengumpat kasar begitu melihat korban. "Sial! Apa kita dapat satu korban pembunuhan?" "Aku belum dapat memastikan kalau jasad ini adalah korban pembunuhan. Tapi Hale mengatakan kalau wanita ini mati karena kehabisan nafas." "Dicekik? Atau.." "Mungkin dibekap." O'Neill mengangguk. "Aku sudah meminta Duncan untuk mengumpulkan data orang hilang. Wanita ini mungkin menempati salah satu nama dalam daftar itu." "Bagaimana dengan pesan ini.." Peter menyerahkan secarik kertas yang ditemukan bersama korban itu pada O'Neill. Ia menunggu reaksi O'Neill ketika membaca pesan itu dengan cepat. "Siapa J.D. Holly?" Tanya O'Neill. "Pertanyaannya apa nama J.D. Holly tercantum dalam daftar orang hilang yang kau dapat?" "Kau bisa menghubungi Duncan untuk memastikannya." O'Neill berpaling ke arah George Hale. "Apa ada bukti kekerasan di tubuh korban?" "Tidak." "Bukti penyiksaan fisik atau pelecehan seksual?" "Tidak. Tubuh korban bersih. Kulitnya masih berbau wewangian semacam.. lili. Jasad ini telah dimandikan, dan didandani. Selain itu tidak ada tanda-tanda formalin di tubuhnya. Bola matanya masih tampak normal. Tidak ada tanda-tanda penguningan. Gusinya sedikit memutih dan giginya masih utuh. Tidak ada yang hilang dalam tubuh korban." "Artinya wanita ini belum lama meninggal," simpul O'Neill. "Tidakkah kau berpikir dia tampak seperti jasad yang siap untuk dikuburkan?" "Kelihatannya seperti itu." "Dan kenapa seseorang mengirim jasad wanita ini pada seorang pendeta?" "Seseorang hanya akan mendatangi pendeta untuk dua hal.. meminta nasihat dan.. penebusan dosa." Peter mengangguk. "Ini menarik. Korban dimandikan, didandani seperti seorang pengantin. Sebuah buket bunga lili di letakkan di tangan korban dan korban memakai sebuah cincin. Aku akan mengambilnya untuk penyelidikan." "Dan jangan lupakan untuk menuliskan ciri identik korban dalam catatanmu!" Pinta O'Neill. Peter mengangguk. "Seorang wanita berambut pirang, memiliki bola mata berwarna biru terang, berkulit pucat dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima sampai seratus tujuh puluh sentimeter. Dan.. berapa usianya?" "Sekitar dua puluh hingga awal tiga puluhan." Peter mengangguk. "Menurutmu wanita ini seorang penduduk lokal?" O'Neill mengernyitkan dahinya kebingungan. "Aku tidak yakin. Aku tidak pernah melihat wanita ini sebelumnya." "Aku akan menghubungi Duncan sekarang." Peter beranjak keluar sembari merogoh ponsel di sakunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN