7. Denial!

1100 Kata
“Sudah lama, ya? Padahal saya tidak berharap untuk melihatmu lagi.” Dengan hijabnya, wanita berkulit sawo matang di depanku mengucapkan kalimat yang kasar, tapi itu merupakan doa yang baik untukku. Bahkan dia sampai tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putih yang begitu kontras dengan warna pipi mulusnya. Aku hanya bisa menghela napas sambil duduk bersandar di atas kursi santai yang selalu disediakan dalam ruangan ini untuk bicara dengannya. “Apa kau tidak bisa tidur nyenyak lagi?” tanyanya dengan memberi tebakan hampir tepat. Kuanggukkan kepala dua kali dengan perlahan. “Tapi ... kali ini sedikit berbeda.” Dia adalah Dokter Kalila, seorang psikiater yang menangani trauma pasca kebakaranku saat itu. Dulu aku rutin menemuinya, sampai akhirnya jadwal pertemuan kami semakin lama semakin renggang, hingga konsultasiku pun mencapai tahap di mana aku dinyatakan benar-benar sembuh. Tepatnya lima tahun lalu, aku sudah tidak pernah menemuinya lagi. “Coba ceritakan.” Tanpa nada memerintah, dia ingin mendengar ceritaku. Aku masih melamun, menatap ke arah pot yang berisi tanaman hias di sudut ruang. Sementara dokter Kalila dengan sabar menanti aku bicara. Kedatanganku kemari memang ditujukan untuk mendapatkan solusi dari kondisi saat ini. Tapi aku bingung harus cerita dari mana. “Dia kembali, Dok!” Dari sekian banyak yang aku alami akhir-akhir ini, hal itulah yang keluar pertama kali dari mulutku. Seakan hal tersebut merupakan akar dari masalah yang aku hadapi saat ini. “Siapa? Wanita itu? Atau ... mantan suamimu?” “Pria itu!” Aku menegaskan pilihan. Dokter Kalila mengangguk sambil memegangi catatan dengan pulpennya. Dia sudah mengerti dengan siapa yang aku maksud sebagai pria itu. “Apa yang terjadi saat kau bertemu dengannya? Kau tidak mungkin ada di sini jika tidak terjadi sesuatu setiap kali melihat dia, kan?” Lagi-lagi tebakan yang dia ucap selalu benar. Memang benar, sesuatu kerap terjadi setiap kali aku bertemu dengannya apalagi saat kami berinteraksi dengan begitu dekat. “Kenangan atas kejadian itu selalu datang lagi.” Sepatah demi sepatah, aku menceritakan bagaimana kejadian yang menimpaku. Beruntungnya, Dokter Kalila adalah psikiater yang sangat memahami pasiennya. Dia bahkan masih menyimpan catatan medis tentang kejiwaanku bahkan mengingat beberapa detail masalah yang terjadi padaku masa lalu. “Kali ini apa saja yang kaurasakan setiap hal itu muncul kembali ke hadapanmu?” Detak jam analog mengubah fokusku. Aku mencoba mengingat dengan kejadian beberapa hari lalu, di malam pertama hal tersebut datang padaku. “Aku selalu melihat dia dalam bayanganku terlebih dahulu. Lalu semuanya berubah, tiba-tiba dia pergi dan berkata ingin meninggalkanku.” Bahkan ketika hanya sekedar bercerita saja, hal tersebut masih terasa membayangiku. “Aku merasakan semuanya tiba-tiba menjadi gelap. Lalu perlahan asap memenuhi sekitar dan ... aku tak bisa bernapas.” Kini aku mulai merasakan bulu kudukku sejenak berdiri. Kecemasan itu datang dan aku hanya bisa memeluk diri sendiri dengan merapatkan kedua tangan serta kaki. Punggung ini tak lagi bersandar, aku merunduk. “Aku ... terjebak dan tak bisa bernapas.” Kalimat itu menjadi kalimat terakhir sambil aku menggelengkan kepala dengan kencang. “Baiklah, cukup! Tak perlu kau teruskan!” Dokter Kalila memegangi salah satu lenganku. Dia mengusap bagian itu, hingga hangat dari telapaknya mengalir memasuki pori-pori kulit ini. Dia menggeser gelas berisi air mineral yang ada di depan kami dan memintaku untuk meminumnya. Entah aku butuh atau tidak dengan air ini, tapi aku merasa sedikit lebih baik setelah menelan beberapa teguk air. Detak jantungku mulai berjalan normal, seiring dengan merebahnya kembali rambut-rambut halus yang ada di atas lenganku. “Shanum.” Dia memanggil namaku sambil menatap hangat. Kini aku telah kembali menyandarkan punggung dan mengambil posisi nyaman seperti semula. “Apakah kenangan itu langsung muncul saat kau bertemu dengannya?” Dia menanyakan hal berkaitan dengan mantan suamiku lagi. Aku pun menggeleng. “Tidak! Aku mulai teringat lagi setelah beberapa waktu kemudian. Saat aku sedang tidur atau ketika aku tak sadarkan diri.” Dengan wajahnya yang datar, tanpa senyum dan ekspresi apa pun, Dokter Kalila mengangguk seakan mengerti dengan apa yang aku ucapkan. “Lantas, kalau begitu ... apa yang kamu lakukan setiap bertemu dengan dia? Ada interaksi apa di antara kalian sehingga membuatmu teringat lagi pada momen saat itu?” Aku mengerti dengan apa yang sedang digali oleh Dokter Kalila, tapi aku ragu jika jawaban yang kuberi akan memberi titik terang. “Tidak ada! Interaksi kami sangat biasa. Tidak ada pembicaraan yang intens karena aku selalu mencoba untuk pergi. Sementara itu ... dia juga ... berpura-pura tak mengenalku. Entah! Atau mungkin dia memang tak mengenalku lagi! Aku ... juga tidak tahu!” Sambil menggeleng, itulah jawabanku. Dokter Kalila mengangguk. Dengan kaki yang terlipat, dia menopang dagu dan menatap ke arahku. Tapi kali ini ... dia tersenyum. “Cobalah berinteraksi dengannya kalau begitu!” Sebuah ungkapan yang tidak terduga. Aku harap itu bukan solusi yang dia berikan dalam konsultasi kali ini. Sontak aku menggeleng kali ini. “Tidak mungkin!” tolakku mentah-mentah. “Kenapa? Kamu belum menyelesaikan masalahmu dengan dia, mungkin dengan bicara lebih dekat dengan mantan suami kamu itu, solusi dari semua masalah ini juga ditemukan.” Matanya membulat untuk mencoba meyakinkanku. Dia bicara sambil mengangguk-angguk tanpa memasang senyum sebagai tanda jika dirinya sedang serius. “Aku ragu. Bahkan aku berpikir dialah yang membawa memori itu datang lagi padaku.” Entah ilmu dari mana, tapi aku menyanggah dokterku sendiri. Aku bukan mengajaknya berdebat, hanya tidak yakin dengan pendapatnya. “Bisa jadi karena ada hal yang belum terselesaikan dengan orang yang bersangkutan. Memori itu datang agar kamu bisa menggali lagi apa yang terjadi hari itu bersama orang-orang terdekatmu di waktu itu. Karena jika aku merujuk pada kejadian tempo hari, dari yang aku ketahui, mantan suamimu bukanlah orang yang menyebabkan trauma itu. Dia hanya pergi di saat kau sedang membutuhkan dia dan alam bawah sadarmu telah mengatakan jika kau sangat merasa kehilangan. Ini adalah reaksi yang wajar saat kau bertemu dengan dia lagi setelah waktu yang lama.” Aku berharap salah mendengar. Aku tak percaya. “Tidak mungkin! Aku mampu hidup tanpanya selama bertahun-tahun, aku baik-baik saja!” “Tapi kau merasa kehilangan dia!” “Hanya sekedar merasa kehilangan, bukan berarti aku membutuhkan.” Kuambil tas yang tersimpan di bawah, lantas aku memakainya di bahu. Dokter Kalila sendiri menutup buku catatannya. “Kau akan mengerti jika kau melakukan apa yang kusarankan!” Tak bisa dipercaya! Aku pun berdiri dan meninggalkan ruangan ini. “Aku tak bisa melanjutkan lagi sesi kali ini, terima kasih untuk waktunya, Dok!” pamitku. Meski aku tidak puas dengan konsultasi dan solusi yang dia berikan, aku masih punya sopan santun untuk tidak langsung meninggalkan ruangan tanpa mengucap terima kasih. Aku tidak pernah membutuhkan dia! Aku tidak pernah mencarinya, jadi aku tidak pernah sekalipun merasa kehilangan dia!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN