“Am I too late? I miss you!”
Suara bisikannya begitu dekat di telinga, bahkan embus napas hangat ini berhasil mendebarkan jantungku.
Rasa hangat ini menjalar dari ceruk leher, berjalan menuju ke seluruh tubuh. Aku sungguh menikmati sensasi ini, lebih mendebarkan dari naik wahana halilintar yang pernah ada. Perasaan terguncang-guncang, hingga jantung serasa ingin lepas.
“I miss ....” Tenggorokan ini rasanya tercekat saat hendak membalas kalimat tersebut.
Perasaan hangat berubah menjadi sangat panas. Rasanya bagai dipeluk oleh api dan melepuhkan sebagian kulitku.
Ah, tidak!
Api itu kini membesar dan mengejarku.
Di sini sungguh sesak.
Tidak adakah oksigen yang bisa kuhirup di tempat ini?
Kenapa ruangan ini menjadi semakin gelap?
Aku tidak bisa melihat apa-apa! Di sini penuh dengan asap dan bau hangus yang membuat aku begitu sulit bernapas. Belum lagi api yang semakin lama semakin membesar dan menghabiskan kadar oksigen di sini. Udara yang masuk ke lewat hidung ini tercampur dengan hal lain yang tak dapat diterima oleh paru-paruku. Napasku ... tersengal.
Api itu mengejarku, tapi ... ruangan ini begitu sempit.
“Aw! Awh! Iyaakh!”
Sulit sekali menggerakkan kaki dengan tangan terikat. Bahkan merelakan tubuh harus bergesek dengan lantai yang kotor. Aku merayap, mencari udara yang bisa kuhirup. Di sini terlalu pengap. Bahkan aku tak bisa menghirup napas dengan panjang.
Sebuah siluet datang dan membuka pintu dari luar. Dia berjalan menghampiri, spontan aku memanggil pemilik bayangan yang aku kenal dengan baik tersebut.
“Rasya, to ... long ... aku ....” Sekuat tenaga mengeluarkan suara, meski sepertinya mulutku hanya terbuka tanpa ada kalimat yang bisa didengar oleh manusia.
Dia mendekat padaku lalu berjalan semakin dekat dan berjongkok untuk melihat ke arahku yang sedang tersungkur di atas lantai.
“Maaf sebenarnya aku ... tak mau melihatmu lagi!”
Aku tak bisa membalas ucapannya. Mulutku terbuka lagi tapi aku tak tahu akan berkata apa. Hingga rahangku terasa kebas. Dia malah menghilang meninggalkan aku dalam kegelapan yang membuatku semakin tersiksa.
Tak sanggup lagi aku di sini. Dengan api yang menjilat-jilat di depanku dan rasa panas yang melepuhkan sebagian kulit di kaki ini. Tak ada lagi ruang udara yang bisa aku hirup, selain gas beracun hasil dari pembakaran di tempat ini.
“TOLONG!”
Akhirnya berhasil keluar dari ruangan itu sembari menjerit.
Duduk dengan keringat yang membasahi tubuh. Aku masih terengah-engah, lalu kini aku mulai sadar dengan keberadaanku setelah membuka mata dan melihat sekitar.
Kuhirup napas dalam-dalam serta panjang, rasanya oksigen telah memenuhi paru-paru ini lagi. Tanganku meraba dahi, penuh dengan peluh hingga membuat jejak-jejak basah di atas bantal.
Sambil menyadarkan pikiran dan kembali menyelaraskan napas. Aku masih duduk dan menatap pada jendela kamar yang tertutup oleh tirai. Di saat detak jantung ini telah berjalan dengan ritme yang normal lagi, aku pun memutuskan untuk turun dari pembaringan.
Kakiku menapaki ubin, lalu melangkah gontai. Jalan dengan bahu yang menurun, kuraih kulkas berukuran kecil untuk mengambil minum.
Aku tak bisa meneguk minuman langsung dari botol tanpa menggunakan sedotan atau dituang dalam gelas terlebih dahulu, tapi kali ini aku tak sesabar itu. Kutenggak saja hingga air mineral ini memenuhi lambung. Aliran air yang melewati kerongkongan seakan mengobati rasa panas yang kurasakan selama dalam mimpi.
Sudah sekian tahun aku tak pernah mengalami mimpi seperti demikian lagi. Hari-hariku dalam tiga tahun terakhir perkuliahan, saat aku menyelesaikan sarjana, dipenuhi dengan perjuangan. Perjuanganku dalam mengalahkan trauma. Beberapa kali datang ke psikiater, sambil tetap kuliah, dan tetap bekerja.
Mentalku benar-benar diuji, kejadian malam itu sangat membuat aku trauma hingga ketakutan setengah mati.
Kembali aku ke kamar dan melihat jam di atas nakas. Waktu masih menunjukkan tengah malam dan aku terbangun karena mimpi buruk lagi.
Mimpi ini datang kembali setelah aku berinteraksi dengan orang dari masa lalu. Orang yang ada dalam kejadian itu, lalu kemudian dia pergi meninggalkanku.
Hanya karena aku berinteraksi sedekat itu dengan Rasya, membuat aku kembali bermimpi hal mengerikan tersebut. Aku tidak mau lagi berurusan dengannya, tidak mau!
**
“Wey, trauma terlambat, si nona paling rajin datang paling pagi.”
Pak Samsul, dia adalah salah seorang guru TU yang sedang piket dan sepertinya menginap semalam bersama beberapa penjaga. Dia menyapaku saat berada di lobi.
“Tidak pernah ada kata terlambat lagi,” jawabku seraya menempelkan ibu jari pada pemindai.
“Kemarin poinnya dikurangi enggak, Bu?” tanya guru piket tersebut.
Aku menggeleng. “Entah! Biar saja, dikurangi juga tak apa-apa.”
Jujur aku memang tak peduli, masih bisa bekerja dengan tenang saja kini aku bersyukur. Tak perlu muluk-muluk untuk mengharapkan kenaikan gaji lagi.
Setelah memindai sidik jari, aku pun melakukan pemindaian iris mata menggunakan mesin yang sama.
“Padahal Bu Shanum bertahun-tahun di sini tidak pernah terlambat. Performanya selalu bagus, kemarin mendadak eror.”
Aku belum bisa menimpali ucapannya karena masih fokus dengan absensi.
“Bu Shanum sengaja biar dipanggil ketua yayasan yang baru. Ketemu orang ganteng, ibu guru yang dari SMP juga kemarin bilang, aji mumpung saja, enggak apa-apa dihukum yang penting cuci mata.”
Segera aku mengalihkan pandangan pada Pak Samsul yang masih tersenyum memperlihatkan giginya yang tidak rapi dalam bibir hitam nan tebalnya. Untungnya aku sudah selesai melakukan pemindaian iris mata.
“Benar, kan, Bu Shanum?” Dia masih cengar-cengir tak berdosa.
Mungkin guru lain akan tersenyum bangga jika ditanya seperti itu, tapi aku tidak! Maaf-maaf saja!
“Saya masuk dulu, Pak!” Lebih baik aku menghindar daripada harus meladeni. Entah kenapa ditanya seperti itu saja sudah membuat kesal.
Jam masih menunjukkan pukul enam kurang. Meja guru sudah jelas masih kosong karena aku yang paling dulu datang kemari. Sebenarnya aku bukan termotivasi karena takut terlambat dan semacamnya. Aku hanya tak bisa tidur akibat mimpi buruk semalam, sehingga bangun sangat awal dan bisa bersiap lebih pagi.
Satu per satu guru pun datang, hal ini menunjukkan jika hari juga sudah semakin siang.
“Bu Shanum, Assalamualaikum!” sapa Bu Anita yang langsung memeluk begitu mereka bertemu. Tidak lupa dengan cium pipi kanan dan kiri sebagai ritual apabila bertemu dengan besti.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
“Aku kesiangan, Say! Untung saja tadi pas masuk masih belum setengah tujuh, kurang lima menit. Bisa metong aku kalau dihukum.” Bu Anita mengetuk-ngetuk kepala dan meja bergantian saat ia menunjukkan perasaan ‘amit-amit’-nya.
Aku hanya tersenyum dan tepat setelah Bu Anita menggerutu, bel masuk pun berbunyi.
“Huuft! Siap tempur ibu guru!” sahut guru lain yang lewat di depan bangkuku.
“Absen dari jam pagi, Bu,” timpalku sambil terkekeh.
“Eh, Bu Shanum enak, jam paginya cuma di hari Senin doang!” ujar Bu Anita yang masih membetulkan kerudung menggunakan cermin yang ia bawa.
“Padahal kalau hari Senin, semua orang juga kena jam pagi karena upacara.” Aku menimpali sambil tertawa.
Bu Anita memonyongkan bibirnya ke arahku. “Sekali-kali telat, ah! Biar dipanggil sama Pak Ketua yayasan. Lumayan biar cuci mata daripada ngeliat pak botak terus,” gurau Bu Anita sambil berbisik ke arahku.
Kini aku jadi semakin merinding. Sudah dua kali aku mendengar kalimat seperti yang diucapkan oleh Bu Anita tadi. Di mana para guru ingin terlambat saja agar bertemu dengan sang ketua yayasan. Ada-ada saja!
“Langsung ke kelas ini, kan? Tidak ada briefing dari Pak Kepala dulu?” tanya beberapa guru yang sedang bersiap membawa buku mereka.
“Tidak sepertinya. Bapak tidak mengabari sama sekali,” ujar guru yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah bagian kurikulum.
Para guru yang mendengar itu pun bernapas lega dan mereka langsung menuju ke kelas masing-masing. Sementara aku menunggu jam pelajaran sambil membaca-baca buku.
“Bu Shanum!” Guru penanggung jawab urusan kurikulum itu memanggilku, tapi tatapannya masih tertuju pada ponsel.
“Ya, Bu. Ada apa?” jawabku.
Dia mengarahkan telapaknya padaku, sebagai isyarat untuk berkata ‘tunggu dulu’ sementara bibirnya bergerak-gerak kecil saat membaca sesuatu dari ponselnya tanpa suara.
“Bu Shanum, katanya diminta ke sana lagi!” ujarnya setelah ia menyimpan kembali gawai pipih dalam tas.
“Ke sana ke mana, Bu?”
“Ke gedung sekretariat, ruangan ketua yayasan.”
Aku masih berusaha menyelaraskan pendengaran. “Ke tempat ketua yayasan, untuk apa?” tanyaku mencoba memastikan.
“Katanya Pak Ketua mau memberi reward pada guru yang datang paling pagi. Dia bilang dari semua guru yang di TK sampai SMA, Bu Shanum yang absen paling awal. Memang Bu Shanum datang jam berapa?”
Pertanyaan dari guru tersebut malah membuat otakku lambat berpikir. “Setengah enam kurang ...,” timpalku lirih.
“Wah pantes! Hebat Bu Shanum! Kemarin dipanggil karena dihukum, sekarang mau diberi hadiah! Selamat, ya! Kebetulan tidak ada jam pagi, kan, Bu? Datang saja sekarang.”
Telingaku seakan tuli dan tak mau mendengar lagi perintah itu.
Manusia itu? Kenapa dia malah memanggil-manggil lagi padaku.
Alasan macam apa lagi?
Terlambat salah! Terlalu pagi pun salah!