6. Why are You Just Coming Back?

1325 Kata
Bahkan daun pintu pun terasa dingin ketika diketuk, entah ini hanya perasaanku saja, mungkin! “Masuk!” Bariton itu memerintah dengan nada arogan dari dalam ruangan. Pintu kudorong pelan sampai akhirnya terbuka setengah dan cukup untuk tubuhku lewat. Terlihat pria yang mengenakan kacamata di dalam sedang serius menatap ke arah layar laptop. Kakiku masih enggan melangkah. “Oh, Bu ... Shanum, ya? Silakan!” Tiba-tiba dia mendongak dan menatap ke arah pintu sambil melepas kacamatanya. Aku langsung mengalihkan pandangan, lalu berjalan tanpa menatap ke arah matanya. “Silakan duduk!” ujarnya lagi. Kubiarkan pintu dalam keadaan terbuka agar aku bisa duduk di sofa ini dengan tenang. Dia berdiri dan berjalan keluar dari bangku. Suara sepatu pentofel miliknya begitu tegas mengetuk-ngetuk lantai. “Setelah terlambat, hari ini Anda langsung menjadi guru yang paling rajin. Sungguh perubahan yang drastis dalam sehari saja, ya?” Apa dia sedang memuji saat ini? Tak aku jawab dengan kata-kata, hanya senyum tipis yang kuberikan padanya sekejap, lalu setelah itu aku mengalihkan pandangan lagi. Kedua tanganku memegang tepian sofa, sesekali aku meremas pelan benda empuk ini untuk mengalihkan perhatianku. Aku tak bisa berlama-lama menatap wajahnya. Tak sanggup! Bahkan saat ini! “Anda ingin reward berupa apa?” tanyanya padaku yang kujawab dengan geleng kepala. “Saya tidak ingin apa-apa.” Perkataan itu adalah ungkapan halus sebagai pengganti dari kalimat ‘Aku ingin segera pergi’. Aku harap dia paham. “Baiklah kalau begitu saya menambah poin untuk Anda.” Dia tiba-tiba memilih sendiri, meski aku sudah menolaknya. “Terserah Bapak saja!” Kuharap dia mengerti jika kita memiliki kesenjangan posisi di sini. Maka dari itu aku sengaja menyebut dia dengan sebutan ‘Bapak’ agar semakin terlihat bagaimana seharusnya interaksi di antara kami. Tidak, aku bukan terlalu percaya diri dan berpikir Rasya akan menggodaku suatu hari nanti. Tapi setidaknya jika aku bersikap seperti ini, hal ini menegaskan jika aku sudah berusaha untuk menerapkan sikap profesional dalam bekerja. “Baiklah, kalau begitu akan saya beri poin sebagai hadiahnya!” tuturnya. “Kalau begitu, seharusnya bapak menerapkan hal yang sama pada guru lain yang juga datang paling awal. Termasuk hari kemarin,” ujarku menimpali. Padahal jika dipikir-pikir, hari kemarin tidak ada reward untuk guru yang datang paling awal. Kenapa sekarang mendadak aku dipanggil begini? Apa dia sengaja? Kalau sampai dia sengaja melakukannya, fix, dia buaya! “Oh begitu, ya? Anda benar! Saya juga harus memberi poin pada guru yang kemarin datang paling awal!” Dia tampak mengingat-ingat lagi. “Jadi, sudah, kan, Pak? Tidak ada hal lain lagi, kan?” Aku langsung berdiri tanpa menunggu jawabannya. Dia hanya mengangguk sambil menatapku. Bibirnya mungkin hendak mengatakan sesuatu, tapi aku terlanjur berdiri dan meninggalkan sofa. Aku melangkah dengan cepat dan pasti untuk keluar dari ruangan. Berbeda dengan ketika hendak masuk tadi, di mana aku melangkah pelan dan ragu. Tanganku segera meraih gagang pintu dan berniat untuk kulebarkan. Meski sebenarnya sejak tadi tak tertutup rapat. Akan tetapi, sebuah tangan malah mendorong daun pintu tersebut lebih dulu. Blam! Suara pintu yang terdorong dengan keras. Aku terkejut dan langsung melepas gagang pintu. Tampak sebuah tangan kekar berada di atasku dan sedang menahan daun pintu ini kuat-kuat. “Pak ...,” lirihku sambil menatap pada orang tersebut. Pria tersebut tampak terengah-engah sambil menatapku. Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari mulut kami berdua. Hanya saling tatap tanpa interaksi apa-apa. Dia masih terdiam, menatapku dalam sunyi dengan mata tajamnya. Tangannya masih mendorong pintu, tapi kali ini aku mencoba meraih kembali gagangnya. Akhirnya aku mengalihkan pandangan, dengan sekuat tenaga, kutarik gagang pintu tersebut. Tangan kekar itu pun mengalah, dia mengurangi tenaganya dan melepas daun pintu yang sejak tadi ia tahan sebagaimana dia menahan mulutnya untuk bicara. Aku tak mau terjebak terlalu lama dalam sunyi dengan tatap yang semakin dalam sementara mulut enggan bicara, tapi di hati penuh dengan riak. Ya, benar! Hati dan pikiranku sungguh berisik saat kami bertatapan sejenak tadi. Apa saja yang aku pikirkan? Banyak hal! Aku tak mau membahasnya. ** “Jadi ... bagaimana cara kita menghindar dari sifat hasad?” Membuka mulut lebar-lebar saat mengajar adalah hal yang penting. Aku menjamin suara ini akan sampai pada semut yang sedang berjajar di sudut kelas sekalipun. “Allah Subhanahu wa Ta’ala, memerintahkan kita agar selalu berdoa kepadanya. Kita meminta agar kita dijauhkan dari sifat hasad atau iri dan dengki. Walaupun kita sudah melakukan usaha, sudah bersikap baik, sifat-sifat buruk manusia sudah menjadi fitrah yang menempel. Maka dari itu, kita harus senantiasa berdoa pada yang Maha Membolak-balikkan Hati agar menjaga hati dan iman kita selama hidup di dunia ini.” Kutunjukkan beberapa slide dari laptop yang ditampilkan melalui proyektor. “Ada yang tahu, apa saja sikap yang harus kita lakukan agar terjauh dari iri dan dengki?” Kubuka pertanyaan dengan suara menggelegar. Sebenarnya semua jawaban sudah kujelaskan sebelum ini, bahkan juga ada dalam buku yang dimiliki oleh para siswa. Salah seorang siswa pun mengacungkan tangan. “Ya, kamu silakan!” “Belajar menghargai orang lain dan senantiasa bersikap rendah hati.” “Bagus!” ucapku seraya mengacungkan ibu jari. “Ada lagi?” Kuedarkan pandangan untuk mengamati siswa yang lain. Lalu seseorang mengacungkan jari telunjuk dari bagian tengah kelas. “Ok, kamu! Ayo!” “Kita harus bersyukur, Bu! Dengan bersyukur maka kita tidak akan mudah untuk iri terhadap apa yang didapatkan oleh orang lain.” “Bagus!” “Iya, Bu! Bersyukur, sudah dapat poin dari ketua yayasan jangan malah sombong! Ibu sudah membuat guru-guru yang lain pun iri!” Mendadak pandanganku buram dan para siswa membuat celetuk-celetukan yang tidak masuk akal. Hingga siluet Bu Anita datang dan menghampiri. “Bu Shanum, kamu baik-baik saja?” Mungkin dia menghampiri karena melihat aku yang berjalan limbung. “Kamu baik-baik saja, Bu?” Dia bertanya lagi sambil membopong bahuku. Lalu membawaku keluar dari ruang kelas yang mulai gaduh. “Bukannya tadi kamu mendapat poin dari Pak Rasya? Orang lain sampai iri kepadamu!” ujar Bu Anita yang ikut membahas hal itu juga. “Iya, kamu mengajarkan siswamu agar terhindar dari sifat hasad, padahal dirimu sendiri yang menyebabkan orang lain iri. Kamu tahu, orang yang sengaja menebar kebaikan dengan tujuan membuat orang lain iri bisa terkena penyakit ‘ain!” “Sebaiknya kamu pergi saja!” “Sebaiknya kamu mati saja!” Suara di sekitarku mendadak riuh dengan orang yang melontarkan sumpah serapah. “Biar kamu yang terbakar di neraka!” “Harusnya kamu terbakar saja waktu itu!” “Harusnya kamu terbakar saja!” Telingaku semakin berdenging dan begitu ramai. Perasaan itu kembali begitu aku melihat kepulan asap. Sesak dan tak ada udara untuk dihirup. Aku mencium bau hangus lagi. “DAR!” Sebuah ledakan dan jeritan lalu lalang di kepala. Aku tak bisa bergerak. Orang-orang berlarian, tapi tanganku terikat. Tubuh ini kembali terseok di atas lantai untuk mencoba kabur. Tapi aku terjebak dalam kepungan api yang berkobar. “Bu Shanum!” “Bu Shanum!” Bau menyengat terhirup melalui hidung. Bayangan wajah Bu Anita tampak berada di depanku, begitu kelopak mataku terbuka. Oh, bukan! Lebih tepatnya di atasku. Dia menatapku yang sedang berbaring karena aku juga dapat melihat langit-langit dari posisi ini. Masih dengan terengah-engah dan peluh yang membasahi dahi. “Alhamdulillah sudah sadar!” ucap beberapa orang yang ada di sana. “Bu, pusing, enggak?” tanya Bu Anita yang ada di sampingku. Aku mencoba membangkitkan tubuh. Kutatap sekitar dan tampak beberapa ranjang yang diisi oleh pasien di tempat ini. “Kita di UGD, Bu. Tadinya ibu hanya dibawa ke UKS. Tapi, pak ketua yayasan meminta agar Anda dibawa ke UGD.” “Terima kasih, Bu. Maaf merepotkan!” ucapku pada Bu Anita. “Ibunya sudah sadar?” Seorang perawat menghampiri. “Iya, Sus. Barusan sadar.” “Saya panggil dokter dulu, ya! Ibunya jangan banyak bergerak!” Aku tak mengindahkan imbauan dari tenaga kesehatan tersebut. Yang ada aku hanya mengingat bagaimana mimpi yang kualami saat pingsan tadi. Setiap usai bertemu dengan Rasya, aku selalu bermimpi tentang kebakaran itu lagi. Padahal aku sudah sembuh sejak lama, tapi trauma itu kembali? Kenapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN