11. To Be Closer with You!

1721 Kata
Pernah aku berpikir untuk menghabiskan waktu dan bekerja bersama Bu Laura di yayasan yang ia bangun. Menjadi saksi pertumbuhan sebuah instansi pendidikan, tentu merupakan sebuah pengalaman berharga tak terlupakan. Tapi terkadang, rencana dan takdir tak selalu harus selaras. Ada Tuhan juga yang Maha Membolak-balikkan Hati manusia. Termasuk hati ini, yang tiba-tiba tak mampu lagi untuk berada di sini. “Bu Shanum!” Sebuah teriakan terdengar mendekat ke arahku. Langkah kakinya tampak terburu-buru, ketukan sepatunya terdengar gusar walau masih membentuk irama. Aku menoleh menatap pada sosok tersebut. Di balik hijab kuningnya, dia memasang wajah cemberut. Lalu tanpa aba-aba, tangannya meraih leherku dan ia menarik diri ini dalam pelukannya. “Kenapa tiba-tiba?” Dia bertanya sambil terdengar isak tangisnya. Tangannya memeluk leherku dengan erat. Aku sedikit sesak dan kewalahan, tapi aku mengerti, para guru lain pasti kaget. “Bu Shanum!” Kali ini seorang guru lain datang lagi ke ruang guru. Dia dengan kacamata dan wajah teduhnya hanya menepuk pundakku dengan lembut. Tidak seagresif Bu Anita yang masih menangis tersedu sambil menarik leherku. “Saya pikir Bu Shanum hanya cuti,” tuturnya lagi. Aku tersenyum dan mencoba melepas Bu Anita yang semakin membuat leherku merasa kaku. “Loh, Bu Shanum!” Suara terkejut juga datang dari orang yang baru saja masuk ruangan ini. Seorang guru perempuan berambut pendek. Saat aku memasuki ruang guru untuk mengambil barang-barang milikku, di sini sama sekali tidak ada orang. Mungkin karena semua guru sedang sibuk dengan kelas dan urusan mereka. Tapi saat aku baru saja masuk, beberapa orang guru tiba-tiba ikut masuk dan kebetulannya lagi mereka adalah orang-orang yang sering berinteraksi denganku. “Saya pikir Bu Shanum hanya cuti,” tutur guru matematika yang duduk di sampingku. “Saya juga berpikir seperti itu, makanya kaget saat pak kepsek berkata Bu Shanum mengajukan resign.” Kali ini ibu kurikulum juga bicara. Sementara rekan sejawat yang mengajar mata pelajaran PAI sama denganku ini tak mengeluarkan kata-kata. Dia sibuk mengelap air mata disertai dengan bibirnya yang masih manyun saja. “Awalnya memang hanya cuti, Bu. Tapi saya merasa kondisi kesehatan akan mempengaruhi kualitas kerja saya dan berdampak juga terhadap anak-anak. Maka dari itu, saya berpikir untuk resign saja.” Jawabanku pasti tidak membuat mereka puas. Bahkan Bu Anita masih saja menggigit bibir bawah dan menunjukkan wajah kecewanya terhadapku. “Maaf, karena semua ini begitu mendadak.” Aku melanjutkan sesi beres-beres yang sempat tertunda karena perpisahan dramatis ini. “Kalau aku tidak ke sini kau pasti tidak akan berpamitan padaku!” Kali ini wajah Bu Anita berubah dan menatapku kesal. Wajahnya yang dikenal jutek oleh para siswa ternyata benar adanya. Di saat seperti ini, dia tampak seperti antagonis yang sangat membenciku. “Maaf,” ucapku sekali lagi. “Kamu mau pulang kampung atau tetap di Bandung, Bu?” Bu Paulina bertanya padaku dengan nada yang tenang. Aku pun sedikit berpikir untuk menjawabnya. “Entah! Masa kontrak saya belum habis, mungkin saya akan di sini dahulu sementara waktu.” Ketiga guru yang menemuiku ini bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Karena kedekatan kami berbeda, maka cara mengungkapkannya juga berbeda. Ada rasa senang karena ternyata selama ini aku memiliki teman yang sangat peduli seperti Bu Anita. Dia seakan menjadi pengganti Nia setelah aku dan dia berjauhan. Tapi ternyata, rasa sedih adalah perasaan yang mendominasi di dalamnya. Nyatanya, begitu sulit melepaskan orang-orang yang mendukungku selama ini. Begitu sulit untuk lepas dari tempat yang selama ini membesarkanku. Bu Anita dan Bu Paulina membantuku untuk memasukkan barang-barang milikku dalam sebuah kardus agar aku mudah membawanya. “Nanti pulangnya sama siapa? Kayaknya susah kalau sambil bawa ini,” tutur Bu Anita dengan tangannya yang sibuk. “Kontrakanku dekat ini, kok! Jalan juga enggak masalah!” Memang, aku sengaja memilih kontrakan yang tidak jauh dengan yayasan ini. Sehingga hal tersebut memudahkan aku untuk bekerja. “Biar saya antar nanti naik motor.” Bu Paulina menawarkan diri yang kujawab dengan geleng kepala. “Saya tidak mau merepotkan.” “Merepotkan bagaimana? Selama ini saya tidak pernah mengantar Bu Shanum ke mana-mana! Sudah, biar sama saya diantarnya!” Aku hanya bisa menghela napas di sini. “Nanti di sini diganti sama guru baru itu, ya?” Bu Paulina menunjuk pada bangkuku yang bersebelahan dengan bangkunya. “Jadi sobat Bu Paulina!” ujar Bu Anita. “Pak Kepala bisa aja ya, cari orang! Saking dia takutnya kalau ada yang cuti lama!” timpal Bu Paulina. Itu adalah tujuanku. Kenapa aku tidak langsung mengajukan pengunduran saja, kenapa aku harus cuti dulu? Karena jika aku langsung mengundurkan diri, pak kepala akan marah besar! Dia tidak mau mencari pengganti dengan begitu mendadak. Tapi jika aku mengatakan hendak cuti, dia tidak akan marah, meski pada akhirnya sama saja karena dia tetap mencari pengganti dadakan. Hanya saja, saat dia mencari pengganti, dia berpikir saya akan kembali. Lalu surat rujukan dari Dokter Kalila, juga memperlancar jalanku untuk mengambil cuti. Karena hal tersebut menunjukkan betapa urgensi kondisiku saat ini sehingga aku harus cuti. Kepala sekolah botak dengan kumis tebal itu pasti tidak akan marah dan memaklumi kondisiku, walau tetap saja dia harus mendadak mencari guru pengganti. Setelah guru pengganti ‘sementara’ itu datang, maka aku bisa langsung mengajukan surat pengunduran diriku. Dia tentu tidak akan merasa marah atau kesal padaku, karena guru penggantiku sudah ada. “Bu Shanum belum sempat pamitan sama siswa,” tutur Bu Paulina lagi. Aku mengangguk dengan sedih. Memang aku belum berpamitan dengan mereka. Tapi ... aku tidak sempat karena tidak ada waktu. Selain itu, aku juga merasa malu untuk masuk pada salah satu kelas yang menyaksikan saat aku pingsan dan bagaimana traumaku kambuh saat itu. “Padahal pas upacara, agar bisa langsung menjangkau seluruh kelas.” “Tapi masih tidak rela walau dia mengucapkan pamit sekalipun.” Keduanya benar-benar memberatkan kepergianku. Tapi sayang, sekarang semua barangku yang ada di ruang guru telah masuk dalam kardus. Jadi aku sudah waktunya untuk pergi. “Saya pamit, ya, Bu!” ucapku. Bu Paulina langsung merogoh tasnya. “Saya antar, pokoknya, Bu Shanum!” ujarnya sambil membawa kunci motor. “Ya sudah, hati-hati!” Kami meninggalkan Bu Anita dengan wajah murungnya. Bu Paulina berjalan lebih dulu di depanku dan tiba-tiba, guru matematika dengan rambut pendek sebahu itu berhenti di dekat pintu. Kemunculan seseorang, membuat kami tidak bisa melanjutkan langkah kaki. “Ada yang bisa dibantu, Pak?” Bu Anita mencoba mengalihkan. Dia bahkan mengibaskan tangan memberi isyarat agar aku dan Bu Paulina segera meninggalkan ruangan ini. “Bu Shanum!” Ternyata pak kumis kepala botak itu malah memanggilku. “I ... iya, Pak! Kenapa?” Aku dan Bu Paulina berpandangan. Kami urung keluar dari ruang guru. “Peraturan baru dari Ketua Yayasan pusat melarang guru yang mendapat beasiswa dari yayasan untuk keluar tanpa mengganti biaya beasiswa yang ia gunakan. Jadi ... Bu Shanum, harus membayar uang ganti yang dulu Anda pakai sebelum keluar dari yayasan ini!” Baik aku, Bu Anita dan Bu Paulina menganga mendengar hal tersebut. “Tidak mungkin! Dulu tidak ada perjanjian seperti itu!” Aku jelas ingat, bahkan ada beberapa alumni beasiswa yang menjadi pegawai negeri sipil. Mereka tidak mengabdi di yayasan ini. “Ya, saya hanya menyampaikan pesan dari Bu Laura saja!” Lututku langsung melemas dan aku duduk di bangku terdekat. “Tapi ... guru barunya sudah ada, kan, Pak? Tidak mungkin kalau dia harus dikeluarkan lagi karena saya yang tidak jadi mengundurkan diri.” Aku berucap dengan lirih dan tatapan kosong. Kenapa tiba-tiba peraturan ini ada? Sejak kapan Bu Laura mengubah aturan tersebut? “Kalau untuk itu, Anda bisa bicarakan dengan ketua yayasan kita di sini. Karena sudah tidak ada lowongan guru di SMA ini!” Bu Anita langsung melotot mendengar ucapan pak kepala sekolah. “Kenapa bapak tega sekali? Bagaimanapun juga, Bu Shanum itu guru pertama di sini loh! Seenaknya saja main ganti. Kalau harus ada yang pergi, justru dialah!” Benar-benar Bu Anita, kalau marah dan kesal dia tidak pandang bulu. Bahkan di depan pak kumis ini saja, dia berani mengomel! “Silakan Bu Shanum datang ke gedung sekretariat yayasan dan bicarakan masalah ini dengan Pak Rasya, ya! Kalau ibu tidak diterima di yayasan ini lagi, ibu harus mengembalikan uang beasiswa itu!” Suara ketukan sepatu pantofel terdengar dari luar. Begitu nyaring sampai membuat Pak Kepala di depanku ini menoleh. Bu Paulina yang sedang berdiri di tengah pintu langsung berlari masuk menghampiriku dan berdiri di belakangku. Aku pun ikut kaget dengan reaksinya. “Ada apa?” tanya. “Pak Rasya, ke sini lagi! Sendiri!” Deg! Jantungku rasanya berhenti seketika. Kenapa tiba-tiba dia jadi ikut ke sini. “Oh, Pak Rasya! Ayo duduk di sini, Pak! Baru saja saya meminta Bu Shanum untuk ke ruangan bapak guna membicarakan posisinya.” Pak Kepala Sekolah menyambut kedatangan pria itu dengan hangat. Dia adalah penyebab aku melakukan semua ini. Kenapa dia malah muncul lagi di hadapanku setelah aku berkata ingin pergi? Tidak puaskah dia selama ini. “Jadi ... Bu Shanum tidak mendapat tempat lagi, karena guru PAI telah terlanjur diisi oleh guru baru?” tanyanya dengan bariton yang sialnya sangat terngiang di kepalaku. “Betul, Pak Rasya! Tapi Bu Laura sekarang memberlakukan peraturan bila alumni beasiswa dari yayasan semuanya terikat dan tak bisa mengundurkan diri sebelum mengembalikan uang yang mereka gunakan untuk sekolah!” Lagi-lagi aku memperhatikan kumis pak kepsek yang ikut bergerak-gerak setiap dia bicara. Aku sama sekali tak mau menatap pria itu! Kuharap dia sadar, bahwa aku melakukan hal sejauh ini untuk menghindarinya. Aku benar-benar tak mau bertemu dengannya lagi! “Kalau dia tidak bisa bekerja lagi sebagai guru, sekarang kamu bekerja di yayasan. Aku akan menempatkanmu di posisi sekretaris II. Kebetulan sekarang Bu Bella hanya bekerja sendiri, dia butuh seseorang yang membantu!” Otomatis aku langsung menoleh dan tak percaya. Inginku mencoba untuk protes, tapi Bu Anita dan Bu Paulina malah tersenyum dengan lebar. “Wah, selamat, Bu Shanum!” Ucapan selamat yang tak pernah aku inginkan. “Mulai besok, tempat kerjamu di gedung sekretariat!” titah pria itu dengan seenaknya. Tubuh ini mematung dan mengabaikan reaksi orang sekitar. Apakah aku sanggup? Bagaimana jika itu terjadi lagi? Aku tak mampu membayangkan jika sesuatu yang buruk akan kualami lagi bila sering bertemu dengannya. Ini ... sungguh ide yang sangat buru. Bahkan aku tidak menyadari, jika kini pria itu berjalan mendekat dan mencondongkan kepalanya hingga berada tepat di samping telingaku. Lalu dengan bariton yang sang aku kenal, dia pun berbisik, “Bagaimana? Semakin kau berusaha menjauh, semakin aku tarik untuk mendekat.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN