10. Resign?

1208 Kata
“Tampaknya, kau memang benar-benar tak bisa bertemu dengannya.” Saat ini aku berada di ruangan ini lagi, dengan pot berisi tanaman hias yang menjadi titik utama pandanganku, lalu kursi santai dengan sandaran empuk yang membuat nyaman. “Kemarin itu ... benar-benar kacau.” Aku mengungkapkan apa yang terjadi kemarin pada Dokter Kalila. Meski pada konsultasi sebelumnya, solusi yang diberikan oleh Dokter Kalila tidak aku sukai, tapi saat ini aku datang lagi untuk berkonsultasi. Dengan wajah teduhnya, dia yang berkulit sawo matang itu tersenyum. “Dari cerita kamu tadi, saya menangkap bahwa kamu tidak sedang tertidur atau pingsan. Gejala trauma kamu kali ini dialami ketika kamu sedang sadar, kan?” Aku menjawab dengan anggukkan. “Pada saat itu dia sedang berkunjung ke ruanganku,” tambahku. Dia mengangguk mengerti. “Jadi kau sedang bertemu dengannya dan gejala itu tiba-tiba muncul dengan sendirinya.” “Benar!” Aroma lavender yang keluar dari mesin pembersih udara menenangkan sesi konsultasi kali ini. Berbeda dengan rumah sakit pada umunya yang selalu berbau obat, ruang yang digunakan oleh Dokter Kalila ini memiliki harum lavender yang khas, sejak aku sering kemari bertahun-tahun lalu. “Tapi ...,” ucapku yang tertahan. Dokter Kalila langsung mengangkat alis sambil sedikit memiringkan kepalanya, sebagai isyarat dia siap mendengar kelanjutanku bicara. “Aku mendapat ingatan lain saat kejadian tersebut.” “Ingatan lain?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Coba ceritakan!” Aku menghela napas sejenak, sampai akhirnya aku pun membuka mulut untuk bercerita lagi. “Dalam bayanganku kali ini, saat aku sedang benar-benar merasa sesak dan terjatuh ke atas lantai, aku melihat ... dia. Dia menyelimuti aku dengan jaket hitamnya.” “Mantan suamimu?” Kuanggukkan kepala lagi. “Lalu ....” Aku menunduk untuk mengambil sesuatu dari dalam tas. “Punya siapa jas itu?” Dia menunjuk pada jas abu tua yang ada di pangkuanku. Kusimpan lagi jas ini kembali dalam tasku, lalu aku duduk lagi dengan bersandar. “Orang yang ada di ruangan guru pada saat itu mengatakan, jika jas ini miliknya.” Dokter Kalila kembali mengangguk. “Sepertinya mantan suami kamu langsung menyelimutkan jas yang sedang ia pakai saat melihatmu kemarin.” Dokter Kalila membuat kesimpulan yang benar kali ini. “Tapi aku merasa itu adalah ... De Javu.” “Iya aku mengerti, dalam bayanganmu dia datang sambil membawa jaketnya dan memberikannya untukmu.” “Benar, Dok!” Dokter Kalila menyarankan aku untuk melakukan meditasi. Dia juga mengarahkan aku pada seorang instruktur yoga, lalu kita membuat janji jika konsultasi berikutnya adalah sambil kita melakukan meditasi. ** Kembali pulang dan datang pada rumah kontrakan yang aku sewa. Sembari merenungkan apa yang dibicarakan dengan Dokter Kalila tadi, aku meneguk satu botol air infus yang telah aku buat semalam mengenakan buah lemon. Sehingga rasa segarnya benar-benar membuat pikiranku sedikit jernih sekarang. Mungkin efek dari konsultasi juga, sehingga aku merasa sedikit plong. Kutatap pada benda yang muncul dari dalam tasku. Sebuah jas yang terlipat rapi dan telah dibungkus plastik. Sebenarnya aku baru mengambilnya dari penatu, kemarin malam aku mencucikan jas ini di sana. Besok adalah hari Senin dan aku harus ikut upacara pagi, sekaligus mengembalikan jas ini. Sekali lagi, aku harus bertemu dengannya. Kubawa tasku dan masuk ke kamar. Kali ini aku menyimpannya di atas meja, sementara aku duduk di tepi ranjang sembari menatap lurus ke arah jendela. Ponselku bergetar saat aku sedang melamun, aku mendapatkan pesan baru. [Kau bisa mengajukan cuti selama kita melakukan sesi terapi yang intensif. Biar aku yang membuat surat rujukan untuk diberikan pada kepala sekolah.] ~ Dokter Kalila. “Apa aku harus cuti?” gumamku bertanya pada diri sendiri. Bimbang ini berasal dari hatiku sendiri. Gawai pipih itu kuletakkan begitu saja di atas ranjang di dekatku. Pikiranku dilema bukan karena aku bingung harus mengambil cuti atau tidak? Tapi karena, aku ragu ... apakah bila sudah usai sesi terapi aku masih bisa berhadapan dengannya? Lalu ... jika aku mengajukan cuti dengan alasan seperti ini, akan ada banyak orang yang tahu tentang kondisi dan masa laluku. Terutama bila aku membawa surat rujukan dari seorang psikiater. Di tengah kebimbangan, suara motor yang lewat depan rumah begitu berisik. Aku terpaksa berjalan menutup jendela dan juga tirainya, meski itu sama sekali mengobati kebisingan tersebut. Setidaknya tidak ada debu yang masuk ke kamar. “Haaaah!” Kembali aku merebahkan diri, menatap langit-langit dan mencari solusi sendiri dari semua masalah yang kuhadapi. Sampai aku terpejam beberapa saat dan .... “Baiklah! Sebaiknya aku melakukannya!” Ponselku kembali bergetar dan aku memeriksa pesan dari orang yang sama dengan sebelumnya. [Akan aku kirimkan surat rujukan melalui Go-Send nanti!] ~ Dokter Kalila. [Baik] Aku hanya membalas pesan tersebut dengan satu kata. Lalu aku melanjutkan niat yang sebelumnya ingin kulakukan. Kubuka laptop dan juga halaman baru dari microsoft word. Baik aku siap melakukannya. Aku akan mengantar surat untuk cutiku dalam satu minggu, esok hari. Lalu di hari terakhir cuti, aku akan memberikan sendiri surat yang aku buat hari ini. ** Satu minggu kemudian, di hari Sabtu. Hari Senin di awal minggu ini adalah hari terakhirku datang ke sekolah sebelum mengajukan cuti. Benar saja, Kepala Sekolah botak sudah membawa guru pengganti walau aku hanya cuti dalam satu minggu. Dia memang tidak suka ada kekosongan guru di sekolah, beruntungnya ada guru baru yang langsung siap menggantikan posisiku. Apakah ini hanya sementara? Tidak! Surat yang kuberikan hari ini, akan membuat guru tersebut menjadi pekerja tetap di sini. “Bukankah kau sedang cuti?” tanya pria yang menjadi Ketua Yayasan Nareswara cabang Jawa Barat ini. Aku sengaja menghampiri tempatnya untuk menyerahkan jas yang dia pinjamkan padaku, karena pada hari Senin waktu itu aku belum sempat memberikannya. “Terima kasih.” Kuletakkan bungkusan jas beserta tas jinjingnya di atas meja. “Shanum, katakan padaku. Kau mengalami trauma atas kejadian itu?” Dia mencekal pergelangan tanganku saat aku hendak pergi. Dengan segera aku menepis tangannya dan berkata, “Kita bukan suami – istri, jangan sembarangan menyentuh.” “Maaf,” ucapnya sembari melepas tanganku dan mundur perlahan. “Katakan padaku, apa yang terjadi padamu di hari Sabtu, minggu lalu?” Dia menatapku dengan lekat, tapi aku dengan sengaja membuang pandangan. Aku tak mau darahku semakin berdesir dengan cepat karena kami bertatapan. “Shanum.” Kali ini dia menyebut namaku dengan lantang. Sepertinya apa yang dia lakukan kemarin hanya berpura-pura. “Saya sudah baik-baik saja, terima kasih atas pertolongannya. Saya permisi!” Kali ini giliranku yang mencoba untuk bersikap sangat formal. Kubalikkan badan dan melangkah menjauhi posisinya untuk menuju ke arah pintu. “Shanum! Aku datang kemari karena ingin bertemu denganmu!” Kalimat yang entah jujur atau tidak, keluar dari mulutnya dan berhasil menghentikan langkahku. Tapi aku masih membelakanginya. “Apa kamu tidak sadar, aku selalu mencari alasan agar bisa melihatmu?” Dia berkata lagi, tapi kali ini aku mendengar dia semakin mendekat padaku. “Aku ... minta maaf karena sudah pergi tanpa berpamitan padamu. Aku ....” Segera aku menyela kalimatnya dengan kalimatku. “Maaf, Pak. Anda tidak perlu melakukan itu lagi, saya sudah mengajukan surat pengunduran diri pada kepala sekolah, dia juga sudah mendapatkan pengganti saya. Sebentar lagi, pasti dia akan membuat laporan kepada Anda. Terima kasih!” Dia benar-benar tak menimpali lagi ucapanku dan membiarkan aku melangkah pergi. Mungkin dia merasa tak percaya atau tidak terima, itu bukan urusanku tentunya. Tapi beginilah kenyataannya. Aku telah resmi ... mengundurkan diri!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN