Bukan karena menatap langit aku mendongak, tapi aku sedang mempertanyakan takdir. Bukan juga karena melihat tapak kaki saat aku menunduk, melainkan karena aku sedang merenungkan jalan hidup. ** "Mama baik-baik saja, kamu tak perlu merasa bersalah?" Mendengar suara saudara kembarku yang sedang menghampiri, sama sekali tak menjadikan suasana hati lebih baik. Apa pun yang dia katakan, rasa berdosa terhadap mama masih bercokol dengan kuat di jantungku. "Sekarang kau harus turun, waktunya untuk makan!" "Tinggalkan aku saja, Arsy!" pintaku tanpa menggubris perintahnya. "Kalau begini, lebih baik orang lain saja yang menjadi doktermu! Mungkin kau akan lebih mendengarkan jika orang lain yang memberi peringatan." Arsya mengomel sembari meninggalkan kamar ini. Aku benar-benar tidak sadar
Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari