8. Your Problem Both

1100 Kata
Meski aku menolak solusi yang diberikan oleh sang dokter. Tapi pada kenyataannya ... aku terpikirkan dengan ucapan Dokter Kalila. Sampai-sampai, aku menjadi tidak fokus saat mencoba untuk menyusun bahan ajar esok hari. Konsentrasiku terbelah, pikiranku amat berisik, ditambah bunyi itu! Ah, itu dering ponselku! “Siapa yang menelepon malam-malam?” Aku mengomel sembari menyambar benda pipih yang tergeletak di tepi kasur. “Halo, Nia? Assalamualaikum.” Mungkin beberapa detik yang lalu aku mengomel, tapi kali ini aku sungguh tersenyum dengan lebar dan bahagia begitu menyadari sahabat lamaku melakukan panggilan video denganku. “Assalamualaikum, Bu Shanum. Apa kabar?” Dia mengulang salam yang sudah kuucapkan. “Waalaikumsalam, Bu Nia. Aku baik-baik. Kamu bagaimana? Tumben malam-malam menelepon,” pungkasku sambil berpindah tempat menuju ke dekat jendela. “Aku juga baik kok, alhamdulillah. Aku kangen, kapan main lagi ke Jakarta, nih?” Diberi pertanyaan seperti itu, tentu jawabannya .... “Aku sangat ingin! Tapi sekarang sedang sibuk!” timpalku. “Ma, puding coklat punya dede mana?” Terdengar teriakan anak kecil dari seberang sana. “Sebentar, ya!” “Iya, tenang aja!” Layar ponselku bergerak-gerak menunjukkan jika Nia sedang membawa ponselnya berlarian. “Ini Tante Shanum, say hello!” Kali ini dia mengarahkan kameranya pada seorang anak kecil perempuan dengan gigi ompong dan rambut pendek. “Hello tante!” “Halo, dede sayangnya bunda Nia sedang makan apa?” Belum sempat pertanyaanku dijawab, anak kecil tersebut langsung berlari meninggalkan sang bunda. Hal itu terlihat dalam layar ponselku. “Ah, biasa dia mah!” Kali ini Nia yang menyahut lagi. Dia pun kembali ke tempatnya semula dan mulai mengobrol lagi denganku. “Itu anak kamu yang nomor dua, kan?” “Iya, itu si Cinta!” Nia menyebutkan nama anak keduanya. “Nah, iya! Makanya aku pangling! Sudah besar aja, ya, itu anak!” “Buat yang enggak pernah ikut ngasuh mah pasti enggak kerasa. Makanya sini Tante Shanum yang paling cantik, bantuin kita ngasuh!” Dia terkekeh sambil bergurau menggodaku pasal punya anak. Bahkan Nia saja sudah memiliki dua orang anak. Tidak hanya Nia, tapi teman yang lain juga. Mungkin hanya aku, perempuan di angkatan kami yang belum menikah dan belum memiliki anak. “Ah, kamu tuh, selalu ke sana! Makanya, cariin jodoh, dong!” gurauku juga sebagai balasannya. Tampak Nia kali ini memonyongkan bibirnya ke arah layar. Mungkin dia sedang ingin meledek padaku. “Kamu itu, udah aku jodohin sama teman suamiku. Sama teman kerjaku, juga enggak ada yang nyantol. Susah! Standarnya kamu mah yang kayak Mas Rasya!” Ucapannya benar-benar membuat aku merasa tertohok. “Enggak, eh, ya!” elakku dengan spontan. Nia masih senantiasa mencibir dengan ekspresinya yang terlihat menyebalkan. “Memang belum ada yang cocok saja! Aku enggak cari yang kayak dia, kok!” Kali ini Nia mengubah raut wajahnya. Dia tersenyum sambil menggeliat, lalu tampak kali ini temanku itu malah berbaring di atas sofanya. “Ada tahu, kalau kamu mau!” “Serius? Mana?” Walau aku selalu berkata untuk meminta dikenalkan, jujur saja aku tak pernah serius menjalani hal tersebut. “Ada, tuh Mas Arsya! Spek 99 persen mirip dengan Rasya Nareswara! Dia sekarang punya klinik lumayan besar! Dokter dia, jauh lebih keren dari Mas Rasyamu itu!” Aku pikir dia serius! “Dasar enggak waras!” tuturku mengata-ngatai dia tapi dia malah menunjukkan gelak tawa. “Ah, Shanum. Kamu akan tahu sendiri, yang mana ibu dengan dua anak balita dan toddler, pasti kewarasannya pada miring semua!” Jawabannya kali ini membuat aku terkekeh. “Shanum! Ngomong-ngomong aku dengar Rasya sekarang sudah kembali ke Indonesia. Suamiku yang ngasih tahu!” Nia pasti mendapat kabar dari sang suami. Karena suaminya bekerja sebagai karyawan di yayasan pusat milik Bu Laura. “Iya!” jawabku dengan singkat sambil mengangkat kedua alis. “Ke Bandung, ya?” tebak Nia yang pastinya dia sudah tahu sebelum menelepon aku. Aku memberinya anggukkan. “Pas banget! Kamu cecar tuh dia habis-habisan!” Nia tahu pasal trauma yang aku alami. Tapi Nia belum tahu tentang hal itu yang kambuh pada akhir-akhir ini. Akhirnya aku menggeleng. “Kenapa? Enggak usah sok profesional karena di lingkungan kerja, deh! Sebal banget! Aku kalau jadi kamu pasti sudah kuikat di tiang gantung! Laki-laki macam apa yang meninggalkan pasangannya seperti itu tanpa bertanggung jawab!” Ini yang aku rindukan dari dia. Omelan panjang kali lebar dari Nia yang bisa ia ucapkan dalam satu tarikan napas. Jadi aku hanya bisa tersenyum melihat dia begitu berapi-api di seberang sana. “Kamu sudah pernah bicara langsung dengannya, belum?” Aku menggeleng memberikan jawaban. Lalu dia mengomel lagi. “Sudah kuduga, kamu pasti akan seperti itu. Giliran aku kenalkan dengan pria lain, kau menolak. Giliran pangerannya pulang malah didiamkan saja!” Entah, aku menolak dan tidak serius pada pria lain bukan karena memikirkan Rasya dan berharap untuk kembali dengannya. Sama sekali tidak! Bahkan untuk berpikir ke arah sana pun aku tak mau. Tak mau lagi merasa sakit hati dan terluka begitu dalam. Begitu pula untuk menjalin cinta dengan pria lain, yang menurutku juga sama sulitnya. “Jadi kamu menelepon aku hanya untuk membicarakan pasal Rasya saja? Kamu tidak penasaran dengan aku?” singgungku yang membuat dia kembali fokus sampai matanya berkedip-kedip. “Apa? Apa?” Kuputar bola atas reaksi dari sikap anehnya. Dasar, memang benar ibu dengan dua balita yang satu ini sedang tidak waras. “Kamu harus bicara dengannya, Shanum. Masalah kalian itu sebenarnya belum selesai. Aku yakin, Rasya kembali dan langsung menuju ke Bandung juga karena dia ingin bertemu dengan kamu.” Kali ini aku terdiam. Aku tidak yakin dia punya niat seperti itu. “Aku menelepon kamu sekarang juga karena aku mendengar kabar kepulangan Rasya, aku jadi khawatir dengan kamu. Takutnya kamu kenapa-apa saat bertemu lagi dengannya. Tapi sekarang aku melihat kamu baik-baik saja, jadi aku bisa sedikit agak tenang.” Dia memang sahabat terbaik yang selalu ada di saat aku susah dan senang dulu. Padahal kami baru saling mengenal setelah dewasa. Sungguh sebuah rezeki yang tak ternilai harganya karena aku memiliki Nia. “Aku baik-baik saja. Mau dia kembali atau tidak juga sama sekali tak berpengaruh padaku, Nia!” Hanya ingin menegaskan, setidaknya agar dia berhenti mengkhawatirkan hal yang tidak perlu. “Berjanjilah padaku, kalau ada apa-apa, kau telepon aku, ya!” Lagi-lagi kujawab dengan anggukan saja. Wajahnya benar-benar khawatir. “Ma, kacamata papa ada di mana?” “Di dekat TV, kan? Bentar, ya!” Nia kembali membawa ponselnya berlari sehingga tampilan di layar tampak tidak stabil. Jika melihat Nia atau teman yang lainnya bersama keluarga kecil mereka, apa aku tidak memiliki keinginan terhadap hal yang sama? Mungkin jawabannya iya, keinginan itu ada. Tapi sekarang sudah tidak lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN