8. Jalan-Jalan

1019 Kata
"Hai, akhirnya bangun juga. Aku udah sejak tadi pagi tungguin kamu. Ya, ampun, Anggi apa kabar? Aku kangen," kata Syafira sambil beranjak dari duduknya dan menghampiri calon adik iparnya itu. Seperti biasanya, Syafira akan memeluk calon adik iparnya dengan hangat layaknya pelukan seorang kakak pada sang adik. Pemandangan seperti ini sukses membuat Ayudia iri. Ia bahkan belum pernah dipeluk oleh anak sambungnya itu. "Kabarku masih sama, Mbak. Ya, gini-gini aja. Nggak ada yang berubah sama sekali." Ucapan Kenanga membuat Syafira prihatin. Syafira sedikit prihatin saat melihat tubuh kurus Kenanga. Wajah cantik dan manis saat tersenyum itu kini hanya tampak tulang dibungkus kulit saja. Mata Kenanga tidak bisa berbohong jika mentalnya mengalami depresi. Waktu pasti akan menyembuhkan Kenanga. "Nggi, mau makan dulu atau kita makan di luar?" tanya Syafira yang tidak ingin membuang waktu lagi dengan semua rencananya yang sudah dibicarakan dengan Prabu semalam. Kenanga tampak mengernyitkan dahi. Syafira bahkan langsung mengajaknya jalan-jalan. Memang mereka sudah biasa dengan hal itu, tetapi biasanya akan pergi saat sore atau malam. Ini bahkan masih tengah hari. "Kita mau ke mana emangnya, Mbak?" tanya Kenanga yang merasa sangat heran saat ini. Syafira terkikik geli saat mendengar pertanyaan Kenanga yang seolah curiga padanya. Wajar, karena memang ada hal penting yang akan dibicarakan oleh Syafira. Kekasih Prabu itu berusaha tenang agar Kenanga tidak curiga. Ia tidak mau jika adik Prabu itu mendadak curiga padanya. "Aku pengan ajak kamu jalan-jalan. Ya, tapi, kita naik taksi aja, ya?" tanya Syafira yang saat ini berharap Kenanga mau. Cuaca Kota Yogyakarta siang ini sangatlah panas. Rasanya tidak mungkin membawa Kenanga pergi naik motor. Kenanga pun pasti semakin tidak mau jika tahu di luar sangat terik. Syafira kini harap-harap cemas. "Jalan-jalan? Aku lagi nggak pengen keluar, Mbak. Nggak pede, aku. Wajah aku kusam dan yah, penampilan gini," kata Kenanga yang mulai sadar jika tubuhnya jauh dari kata normal. "Fix, nggak terima bantahan, kita ke salon!" Syafira langsung mengajak Kenanga ganti baju. Lima belas menit, Kenanga sudah siap dengan baju yang saat ini tampak kebesaran. Padahal baju itu dulu sangat bagus melekat di tubuh Kenanga. Sudahlah, adik Prabu itu memang sudah lama kehilangan selera makan. Syafira tidak banyak berkomentar tentang pakaian yang dipakai calon adik iparnya itu. "Kita makan siang di tempat warunf gudeg dekat Pasar Bringharjo itu, ya. Aku dadakan pengen makan gudeg," kata Syafira yang memang menyukai cita rasa makanan khas Yogyakarta itu. "Oke." Kenanga tidak menolak ajakan Syafira. Kenanga hanya berpamitan pada sang papa tidak dengan Ayudia. Padahal mama sambungnya itu sudah mengulurkan tangan. Kenanga sengaja langsung meninggalkan rumah itu setelah memeluk Padmi. Ayudia sering kali merasa iri dengan sosok pengasuh Kenanga itu. Seno paham dengan apa yang dirasakan sang istri. Penolakan kedua anaknya membuat laki-laki berusia setengah abad lebih itu berpikir keras. Ternyata, kedua anaknya tidak mau kedudukan Arsyanti tergantikan. Padahal, Ayudia bukan wanita jahat. "Sabarlah, dia hanya butuh waktu saja. Nanti dia juga akan menyayangimu," hibur Seno pada sang istri yang saat ini mendadak muram. "Iya, Mas. Andai aku tidak berada di sini, mungkin Anggi tidak akan seperti itu." Lagi dan lagi, Ayudia menyalahkan keberadaannya. "Tidak. Dia memang butuh waktu. Anggi pada dasarnya adalah gadis yang baik dan periang," kata Seno menenangkan sang istri. Benarkah seperti itu? Ayudia ragu jika kedua anak Seno bisa menerima keberadaannya saat ini. Sikap yang ditunjukkan mereka sudah sangat jelas. Penolakan dan kebencian tampak jelas pada mata kedua anak Seno untuk Ayudia. Dua tahun lalu, saat menghadiri pernikahan salah satu kolega bisnisnya, Seno menyadari jika yang menjadi menantu mereka adalah sosok Sabiantama yang tak lain kekasih Kenanga. Seno memang belum mengenal dekat Sabian, hanya sebatas tahu saja dari Padmi dan Solihin. Tentu hal ini akan menjadi akibat buruk bagi Kenanga. Benar saja, Kenanga semakin jauh dari keluarga besarnya. "Pa, aku pergi dulu. Aku pengen ke rumah teman lamaku di Gunung Kidul. Nanti nggak usah nunggu kami makan malam. Anggi rencananya mau dibawa ke Gunung Kidul juga sama Syafira," kata Prabu dan bersiap untuk meninggalkan rumah ini. Tidak menunggu jawaban dari sang papa, Prabu sudah terlebih dulu keluar rumah. Bukan tidak boleh keluar rumah, hanya saja bagaimana dengan Kenanga. Anak keduanya itu selalu tidak nyaman ketika berada di luar rumah. Rasa khawatir itu jelas dirasakan oleh Seno saat ini. Sementara itu, Mala kini berada di apartemen baru. Apartemen mewah dan ia hanya tinggal menempatinya saja. Tidak susah kerja keras dan kini bisa mendapatkan pekerjaan di kantor Megantara. Hidup Mala seperti dalam dunia dongeng. 'Aku tidak perlu lagi bekerja keras untuk mendapatkan gaji bulanan. Ada pekerjaan di Megantara,' batin Mala sambil menyesap segelas kecil minuman keras yang menjadi kesukaannya. Sementara itu, Siska kali ini merasa sangat bosan di rumah. Tidak ada kuliah hari ini karena kosong. Dosen tidak memberikan kabar terlebih dahulu. Sudah pukul tiga sore dan tidak ada orang di rumah ini. Siska pun bersiap keluar rumah. "Mbok, kalo Mas Bian tanya, bilang aja aku ke rumah, Papa." Siska titip pesan pada salah satu asisten rumah tangganya. "Ya, Non. Nanti kalo Pak Bian datang saya sampaikan," jawab salah satu asisten rumah tangga Siska itu. Siska pun mengambil kunci mobil dan bersiap hendak ke garasi. Ia justru mendapatkan kejutan dari orang yang tidak diharapkan. Mood Siska langsung turun seketika. Ia mengembuskan napas panjang saat ini. "Mau ke mana?" tanya Ibu mertua Siska yang memang hendak datang menjenguk anak dan menantunya itu. "Ibu? Kok nggak ngabarin dulu?" Siska tampak tidak suka dengan kedatangan sang mertua. Marni--ibunda Sabian itu menelisik wajah Siska. Siska tampak sedang bersiap hendak bepergian. Kedua mertua Siska pun saling tatap. Mereka seperti sedang curiga pada sang menantu. "Kamu merasa terganggu saat kami berdua datang?" tanya Marni yang saat ini menatap tajam pada Siska. "Bukan gitu, Bu. Takutnya kalo di rumah nggak ada orang. Bukan masalah suka dan tidak suka. Ini rumah milik Mas Bian. Nggak ada alasan buat saya nggak suka kalo Ibu dan Bapak datang." Siska menjawab dengan ketus ucapan sang mertua. "Saya ini mau ke rumah Mama karena merasa di rumah sepi. Setidaknya di rumah kedua orang tua, saya bisa mengobrol," kata Siska yang merasa risih dengan tatapan kedua mertuanya. "Oh. Saya pikir kamu mau bertemu dengan ...." Ucapan Marni tidak dilanjutkan karena lengannya disenggol dengan keras oleh ayah Sabian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN