“Aku hamil.” Naina tak tahu haruskah itu menjadi berita baik, atau buruk karena kini, dia menanggung tanggung jawab sebelum pernikahannya. Terburu dia mengambil ponsel, menghubungi Ferry untuk menyampaikan kabar itu. Jam dinding masih menunjukkan pukul enam. Hanya tersisa empat jam lagi menuju akad. Pun sebentar lagi akan ada yang mengetuk untuk membantunya persiapan. “Ha-halo, Bang Ferry!” sahutnya ketika Ferry mengangkat panggilannya. “Iya, Sayang. Ada apa?” “Bang Ferry, aku hamil.” Hening mengisi beberapa detik. Belum ada sahutan dari seberang sana. “Bang, kita akan menikah, kan?” tegur Naina lagi. “Iya, Nai. Ini tadi abang kaget, nggak nyangka bakal jadi ayah secepat ini. Jaga bayi kita baik-baik, ya, Sayang! Abang siap-siap dulu.” Naina menunduk haru, memegang sisi perutnya. “